Menulis di Era Revolusi Industri 4.0

Notification

×

Iklan

Iklan

Menulis di Era Revolusi Industri 4.0

Sabtu, 25 September 2021 | 10:18 WIB Last Updated 2021-09-25T04:16:40Z


Oleh: Eben E. Siadari 
(Tulisan ini dimuat di Kolom Opini Lampung Post, 8 Februari 2020)


Revolusi Industri 4.0 membawa kita pada tata hidup  yang diwarnai oleh meluasnya peran kecerdasan buatan (artificial intelligence).  Banyak pekerjaan harus didefinisikan ulang. Termasuk di dalamnya profesi di dunia kepenulisan. 


Penulis Jennie M. Xue, dalam sebuah esainya, mengetengahkan bunga rampai fakta yang menarik. Harian terkemuka Amerika Serikat, The Washington Post, pada tahun 2017 menghasilkan 850 artikel yang dibuat bersama robot Heliograf.  Pada saat yang hampir bersamaan, kantor berita  The Associated Press mempergunakan sebuah ‘mesin pembelajar’ yang dapat menulis 12 kali jumlah tulisan yang dikerjakan oleh manusia.  Di Jepang sebuah novel yang dihasilkan oleh robot berhasil lolos pada putaran pertama seleksi Hoshi Shinichi Literary Award pada tahun 2016.


Masifnya pergeseran dan perubahan di dunia kerja oleh kehadiran kecerdasan buatan sebelumnya telah dimunculkan oleh dua peneliti dari Oxford Martin School, Ekonom Carl Benedikt Freuy dan ahli pembelajar mesin, Michael Osborne.  Studi mereka  yang berjudul  Technology at Work – The Future of Employment (2015), menunjukkan setidaknya  47 persen dari 700-an jenis pekerjaan di Amerika Serikat yang disurvei, berisiko digantikan sepenuhnya oleh komputerisasi dalam satu atau dua dekade depan.


Responden yang disurvai meyakini profesi seperti technical writer akan dapat sepenuhnya digantikan oleh robot pada tahun 2025. Penulis Inggris, Ewan Morrison, bahkan lebih pesimistis. Ia meramalkan 15 tahun lagi penulis tidak lagi dapat disebut sebagai profesi karena tak sanggup memberi nafkah kepada pelakunya. Dengan maraknya ebook dan e-publishing,  semua orang menjadi ‘penulis,’ dan semua bacaan nyaris gratis. Ia meramalkan penulis tidak dapat lagi dikategorikan sebagai profesi.


The Committed Writer


Bagaimana orang-orang yang mendedikasikan hidupnya kepada dunia menulis akan dapat sintas melewati era ini? Ini menjadi pertanyaan yang semakin mengemuka dewasa ini.


Pada tahun 1986, Harry H. Crosby dan Duncan A. Carter menciptakan terma committed writer.   (The Committed Writers, Mastering Nonfiction Genres (McGraw Hills, 1986).  Mereka memaknai committed writer sebagai orang yang mendedikasikan hidupnya untuk menulis, mengikatkan diri melalui komitmen penuh kepada pekerjaan itu.


Komitmen kepenulisan itu, oleh penulis Amerika Serikat, Henry Louis Mencken (1880-1956) diutarakan sebagai berikut: “Saya  bekerja (menulis)  dengan alasan yang sama pada ayam betina untuk terus bertelur. Dalam setiap makhluk ada dorongan tanpa sadar yang sangat kuat untuk selalu berfungsi aktif. Hidup menuntut untuk dijalani. Hanya orang mati yang berhenti.”  Hidup bagi Mencken, yang di AS dinobatkan sebagai salah seorang sosok sukses, tidak ada artinya tanpa menulis.


Kini ketika era revolusi industri 4.0 menghadirkan banyak kemudahan untuk menulis –karena hadirnya era digital dan apa yang dikenali saat ini sebagai internet of things – komitmen kepenulisan dihadapkan pada tantangan baru. Anugerah kecanggihan gawai teknologi membuat berbagai tembok menulis baik yang instrumental maupun yang psikis runtuh. Siapa pun dapat menulis. Aktivitas menulis menjadi demikian terbuka sehingga kepenulisan berpotensi terjerembab pada pekerjaan murahan, bahkan tidak bernilai. Pada titik ini, para committed writer harus merasa terpanggil dan bertanggungjawab untuk  merawat esensi menulis sebagai panggilan hidup yang sangat berharga (precious).


Peran Tulisan dalam Sejarah


Bila berkaca kepada sejarah, peran penulis sangat menentukan peradaban. Salah salah satu kesuksesan Homo Sapiens (baca: manusia) sintas memelihara peradabannya ialah karena kemampuan menciptakan narasi kolektif untuk memaknai keberadaan mereka. Dan itu dapat tercapai berkat tulisan.


Dalam Homo Deus, A Brief History of Tomorrow (2016)  Yuval Noah Harari menggambarkan bahwa  sejak 170.000 tahun lalu  revolusi kognitif Sapiens telah memungkinkan manusia membicarakan imajinasi mereka dan menciptakan narasi-narasi kolektif. Narasi ini menjadi pengerak manusia bekerjasama dalam skala yang lebih besar, yang tidak mampu dilakukan spesies lainnya semasif Sapiens.


Namun, lompatan terbesar narasi  kolektif itu adalah ketika Sapiens berhasil menciptakan tulisan. Sebelum tulisan tercipta, narasi kolektif itu terkurung dalam kapasitas terbatas otak manusia. Ketika tulisan hadir, Sapiens  dapat menciptakan cerita-cerita yang lebih rumit dan panjang serta dapat disimpan di luar kepala. Dengan imajinasi yang ditulis,  manusia berbagi inspirasi dan cita-cita yang lebih besar dan lebih kompleks, misalnya, tentang bangsa, korporasi, hukum, bahkan tentang dunia pascakematian.


Di antara pertarungan berbagai narasi kolektif, Humanisme muncul sebagai pemenang sekaligus penyelamat manusia modern. Ketika manusia bertendensi kehilangan makna atas hidupnya dalam perlombaan  mengorganisasikan diri secara masif, Humanisme memberikan jawaban yang mengesankan.  Humanisme membawa manusia pada kesadaran bahwa manusia sendirilah  yang  harus menarik pengalaman dari dirinya untuk memberi makna bagi kehidupan dan seluruh jagat raya.  Humanisme memberi penghormatan yang tinggi kepada manusia termasuk  dengan menyepakati bahwa tiap-tiap individu adalah unik, dan pada saat yang sama, juga setara. Penghargaan hak asasi manusia merupakan hadiah terbesar dari humanisme yang membawa Sapiens memiliki peradaban yang langgeng sampai saat ini.


Sayangnya, di era Revolusi Industri 4.0 Humanisme  terancam oleh suksesnya sendiri. Tragedi besar sangat mungkin terjadi ketika  manusia melihat dirinya sedemikian ‘agung’ dan menjadi manusia dewa (homo deus) yang serbabisa oleh  masifikasi penggunaan artificial intelligence. Pada masyarakat yang kehidupannya serba ditopang oleh kecerdasan buatan, perlombaan manusia sangat mungkin bukan lagi tentang bagaimana mengatasi kemiskinan, mencegah penyakit dan menciptakan perdamaian, melainkan perlombaan mencapai keabadian  dan menjadi dewa-dewa pencipta mahluk cerdas tiada tara.


Pada titik inilah tragedi  dapat terjadi.  Tatkala Humanisme  dipergunakan untuk menjadikan manusia itu  dewa-dewa pencipta, akan tiba masa dimana manusia dan kemanusiaan  tereduksi dan tersingkir oleh kecerdasan buatan ciptaannya. Akhirnya manusia terpental menjadi hanya komponen dari sistem yang diciptakannya sendiri. Homo deus disingkirkan oleh mahluk ciptaannya.


Penulis sebagai Penjaga Kemanusiaan


Dihadapkan pada tantangan berbahaya ini, adalah tanggung jawab para committed writer untuk menjadi pengawal dan penjaga kemanusiaan agar tidak tereduksi dari peradaban yang dibangunnya.  Menurut E. B. White, penulis termasyhur AS, peran  penulis di tengah masyarakat terdiri dari tiga hal penting. Pertama, mereka adalah pencatat yang teliti sekaligus penerjemah kehidupan yang kemudian mengkomunikasikannya.  Kedua,  para penulis  juga mengemban tanggung jawab untuk turut membentuk atau mencipta kehidupan masyarakat. Mereka harus memberi inspirasi. Dan ketiga,  peran penulis yang paling mendesak dewasa ini,  menjadi pemberi peringatan, pembunyi alarm.


Di era Disrupsi ini, lebih dari yang sudah-sudah, committed writer  bertanggung jawab membawa manusia  untuk terus-menerus mengenali dirinya dan menempatkan kemanusiaan sebagai perekat peradaban. Tulisan-tulisan yang menggali sisi kemanusian manusia semakin diperlukan.  Hal ini semakin urgen saat semakin kuatnya tendensi manusia menjauh dari pengenalan akan dirinya.


Klaus Schwab dalam bukunya The Fourth Industrial Revolution (2016), mengutip sebuah studi yang mengatakan ketika revolusi industri 4.0 semakin memperdalam hubungan kolektif dan individu manusia dengan teknologi,  revolusi tersebut justru berdampak negatif pada kecakapan sosial dan kemampuan manusia dalam berempati. Studi pada tahun 2010 oleh Universitas Michigan menemukan terjadi penurunan 40 persen terhadap rasa empati di kalangan mahasiswa kampus (dibandingkan 20 hingga 30 tahun lalu).


Inilah yang oleh para committed writer, harus disambut sebagai  tanggung jawab sekaligus peluang. Ketika manusia semakin kesulitan mengenali dirinya, adalah tugas para penulis untuk mencegahnya. Para penulis harus semakin menekuni karya-karya yang mengungkapkan sisi terdalam dari manusia dan kemanusiaan, yang tidak dapat digali oleh para robot dengan kecerdasan buatan.


Eben E. Siadari adalah Alumnus Advanced Course for Practical Journalism, Thomson Foundation, Cardiff Wales, penulis dan trainer kepenulisan, salah satu buku karyanya adalah Esensi Praktik Menulis (2019).