Pertarungan Sains Versus Agama

Notification

×

Iklan

Iklan

Pertarungan Sains Versus Agama

Senin, 13 September 2021 | 07:25 WIB Last Updated 2022-09-09T01:42:10Z


Oleh: Rafi Tajdidul Haq,
Aktivis IMM Bandung Timur.

Untuk menguraikan lebih jauh tentang sains dan agama ini, lebih baik kita definisikan dulu apa itu agama dan sains. Berdasarkan keterangan Nasyrudin Syarief (2013:103) dalam bukunya yang berjudul, "Menangkal Virus Islam Liberal", kata agama berasal dari kata "gam" yang berarti pergi. Ketika memakai awalan "a", "I" atau "u" yang panjang dan berakhiran "a", maka artinya menjadi jalan.

Maksud tepatnya, yakni jalan kehidupan; jalan agar sampai kepada Tuhan. Jadi agama bukan berasal dari kata "a" + "gama" yang berarti tidak kacau. Ini yang sering orang-orang keliru. Karena dalam Bahasa sanskerta yang merupakan asalnya, agama terbentuk dari susunan "a + gam + a" yang berarti jalan kehidupan, bukan tidak kacau.

Dalam Islam, agama diungkapkan dengan "din" dan "millah". Menurut ar-Raghib Al-Ashfahani, "din", makna asalnya ialah "taat dan balasan". Artinya, agama menuntut ketaatan dan menyediakan balasan. Secara khusus definisi "din" adalah, “Nama sesuatu yang disyari’atkan Allah kepada hamba-hambanya, melalui lisan para Nabi untuk menghampirkan mereka kehadirat Allah”

Sedangkan menurut Majlis Tarjih dan Tabligh PP Muhammadiyah dalam Buku Himpunan Putusan Tarjih Agama adalah: “Agama yakni agama islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW ialah apa yang diturunkan di dalam Al-Qur’an dan yang tersebut dalam Sunnah yang shahih, berupa perintah-perintah dan larangan-larangan serta petunjuk untuk kebaikan manusia di dunia dan akhirat”

Agama adalah jalan kehidupan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT secara lebih sederhana.

Sedangkan Sains, menurut Ahmad Tafsir (1998:14) dalam bukunya yang berjudul Filsafat Umum pengetahuan sains adalah pengetahuan yang logis dan didukung oleh bukti empiris. Namun, pada dasarnya, pengetahuan saiins tetaplah suatu pengetahuan berdasarkan bukti nyata (empiris). Dalam bentuknya yang telah baku sains mempunyai paradigma dan metode tertentu. Paradigmanya disebut paradigma positivistik dan metodenya adalah metode ilmiah (scientific methode).

Dalam Buku bertajuk, "Materialisme, Dialekika dan Logika (MADILOG)", Tan Malaka (2018:64) mengatakan, sains harus memenuhi tiga aspek berikut:

Accurate Thought, yaitu cara berpikir yang tepat.

Organization of fact, Penyusunan bukti-bukti.

Simplycation by generalization, Penggampangan dengan meng-umum-kan.

Berdasarkan definisi di atas, maka dapat ditarik beberapa informasi terkait agama dan sains. Agama dan sains adalah dua entitas yang berbeda. Jadi, tidak sepadan jika agama dibanding-bandingkan dengan sains. Ibarat dua benda yang berbeda, yang satu laptop yang satu HP, maka sampai kapanpun tak akan layak untuk diperbandingkan.

Agama merupakan pengetahuan yang intuisionis, artinya pengetahuan yang didapat berupa intusi, yaitu penalaran dan wahyu. Sedangkan sains adalah pengetahuan yang positivis yang bertumpu pada rasio dan pengalaman. Agama akan menjelaskan apa yang sains tidak bisa jelaskan. Misalkan menyoal kematian, agama akan menjelaskan bahwa kematian akan datang, dan manusia akan dipersembahkan surga dan neraka. Sementara itu, karena sains bertumpu pada rasionalitas dan empirisisme maka setelah kematian sains tidak bisa menjawab dan tidak bisa berkutik serta berbuat apa-apa. Karena, tak pernah ada orang yang telah mati lalu menjelaskan pada orang hidup tentang konidisi surga dan neraka.

Lalu, bagaimana dengan pertanyaan apakah agama dan sains tidak bisa bersatu? Pertanyaan ini sangat sering dilontarkan terutama mahasiswa yang bergelut di bidang sains. Maka muncullah konsep integrasi sains dan islam. Jika dilihat dari kacamata ilmu pengetahuan, maka secara epistemologis antara agama dan sains tidak akan menemukan titik temu. Karena yang satu paradigmanya positivistic dan satunya lagi mistis (gaib).

Namun, secara ontologi, agama adalah penentu dari apa niat awal dan sejauh mana manfaat sains untuk kebaikan manusia. Misalkan, karena dasar ontologi dari pembuatan bom atom oleh Albert Enstein adalah kepentingan perang, maka bom atom akhirnya bukan jadi maslahat, namun merugikan banyak orang. Hal itu berbeda, jika dasar ontologisnya bermotif agama. Jika dasar pembuatan bom atom itu adalah agama, maka manusia tak akan sembarangan menembakan bom atom dan akan berfikir ulang soal nyawa yang hilang. Karena agama mengajarkan nilai-nilai tasawuf yang menuntut manusia untuk berprilaku baik pada manusia lain.

Perbedaan ontologies tersebut akan menuai aspek aksiologis yang berkaitan dengan nilai. Aksiologis dalam ilmu filsafat berbicara tentang baik dan buruk, jelek dan bagus, dan segala sesuatu yang berkaitan dengan nilai. Sehingga, jika sain didasari dengan agama, maka ranah aksiologisnya akan bermanfaat. Seperti al-jazari yang secara epistemologis melakukan metode sains untuk membuat jam gajah, namun secara ontologies, niat dia membuat jam gajah tersebut adalah untuk menentukan waktu shalat, yang berarti bermotif keagamaan.

Sehingga, agama dalam sains berfungsi sebagai pengawal moral. Bukan berarti agama terpisah dengan sains. Agama terpisah hanya dari aspek epistemologisnya yaitu cara bagaimana mendapatkan pengetahuannya. Sedangkan agama bisa berperan dan masuk dalam ranah sains ketika berada pada wilayah ontologisnya. Sehingga agama akan terintegrasi dengan sains. Oleh karena itu, agama dan sains tidak bisa dipisahkan. Selain itu, ini pun yang jadi pembeda antara sains islam dan sains barat yang bebeda motif.