Save Raja Ampat

Notification

×

Iklan

Iklan

Save Raja Ampat

Sabtu, 07 Juni 2025 | 09:19 WIB Last Updated 2025-06-07T02:19:57Z



 NUBANDUNG.ID -- Raja Ampat bukan sekadar gugusan pulau, ia adalah altar alam, tempat karang melafadzkan pujian dan burung cenderawasih menari dalam liturgi purba. Raja Ampat, tempat Tuhan seperti menumpahkan seluruh kemurahan-Nya dalam bentuk laut biru, hutan perawan, dan karang yang bersinar dalam keheningan. Raja Ampat, yang dalam bahasa masyarakat adat Maya berarti "Empat Raja"—telah lama menjadi tempat ziarah bagi kehidupan. Di sini, bumi memeluk laut, dan Tuhan seolah tersenyum lebih terang dari biasanya.


Raja Ampat. Sebuah mozaik karst, laut tropis, hutan hujan, dan kehidupan liar yang belum tergantikan. Di tempat ini,segala ciptaan Tuhan tidak hanya eksis, tetapi memuji. Di tempat ini, alam dan manusia hidup dalam simfoni spiritual. Namun kini, karena keserakahan. Karena ulah dan sifat rakus manusia, nada-nada surgawi itu mulai sumbang. Deru tambang nikel mengoyak sulaman keindahannya.


Atas nama "transisi energi hijau", perusahaan tambang dimuliakan dan diberi karpet merah. Pemerintah menyebut ini sebagai strategi nasional. Tapi siapa yang diuntungkan? Siapa yang dikorbankan?


Fakta ekologisnya jelas: Raja Ampat adalah rumah bagi lebih dari 553 spesies karang dan ribuan spesies laut, belum lagi masyarakat adat yang telah merawat tanah itu jauh sebelum republik ini lahir. Fakta teologisnya juga jelas: bumi bukan milik investor, tapi ciptaan Tuhan. Dan tugas manusia adalah menjaga bukan menambangnya.


Krisis ekologis sebagai “cermin dari krisis spiritual dan moral manusia,” begitu kata Paus Fransiskus.  Dan di Raja Ampat, kita menyaksikan refleksi paling telanjang dari krisis itu: negara yang tak lagi malu memihak modal; agama yang menutup mata ketika bumi dilukai; dan masyarakat adat yang terluka tanpa daya. Tanpa punya hak bicara.


Pertambangan di kawasan seperti Raja Ampat bukan sekadar salah arah. Sungguh! ini adalah penghinaan terhadap iman dan akal sehat. Ia membuktikan bahwa kemajuan hari ini dibangun di atas tanah yang diambil secara paksa, ekosistem yang dirusak, dan kebisuan publik yang disengaja.


Apakah kita akan terus berdoa dan melafadzkan pujian pada Tuhan, sementara  bumi kita dikuliti habis? Atau, kita akan mengakui bahwa iman tanpa keberpihakan ekologis adalah iman yang kosong juga bohong?


Raja Ampat bukan ladang bisnis. Ia adalah kitab alam yang kini tengah disobek-sobek dan hendak dibakar halaman demi halaman atas nama penyelamatan masa depan, atas nama kesejahteraan, dan atas nama kemajuan padahal diam-diam sedang menghancurkannya. Allahu a’lam.


Radea Juli A. Hambali, Wakil Dekan III Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung