Teologi Kebencanaan Ciptakan Kesadaran Ekologis

Notification

×

Iklan

Iklan

Teologi Kebencanaan Ciptakan Kesadaran Ekologis

Senin, 01 November 2021 | 19:59 WIB Last Updated 2022-09-09T01:42:07Z
 

Beberapa hari ini, guyuran hujan lebat dibarengi kilatan petir dan gemuruh angin juga, sejatinya tak membuat kita dipenuhi kegelisahan dan putus asa. Bencana, dalam doktrin ajaran Islam, ialah ”kiamat shugra” yang dapat menyadarkan kita ikhwal substansi kehidupan yang kerap kita abaikan.

Bencana dalam kehidupan dapat berfungsi sebagai pemantik kesadaran ekologis sekaligus kesadaran teologis dalam diri umat manusia. Kesadaran yang sempat mengendap menjadi reflika tak tersentuh refleksi itu, ketika bencana ujug-ujug muncul ke alam sadar tanpa kendali. Adakah perilaku destruktif umat manusia yang mengakibatkan alam kembali menyemburkan aneka bencana?

Pakar sufisme, Seyyed Hossein Nasr, dalam buku “The Garden of Truth; Mereguk Sari Tasawuf” (Mizan, 2010) mengetengahkan penafsiran maknawi terhadap surah al-Fatihah. Surah Al-Quran yang sering dibaca minimal 17 kali oleh umat Islam tersebut, katanya, mengandung konsep tauhid yang bersifat ekologis. Manusia yang menyadari bahwa Tuhan pencipta alam raya, ia akan memahami hubungan yang dibina dengan alam haruslah bersifat keilahiyan. Ini artinya, memosisikan alam sejajar dengan eksistensi dirinya sebagai makhluk Tuhan yang perlu dihormati.

Kesadaran eco(teo)logis


Pendapat Seyyed Hossein Nasr itu berpijak pada kalimat “alhamdulillahi rabbi al-alamin” dalam surah al-Fatihah sebagai inti pentingnya kesadaran ekologis yang bersifat ilahiyah (eco-teologis). Kalimat pujian “alhamdulillah” kemudian dilanjutkan dengan kalimat “rabbi al-alamin” menunjukkan umat manusia sejatinya menempatkan alam sebagai bagian dari-Nya. Sebab “rabbi al-alamin” secara etimologis berarti: pemelihara, penjaga, atau laiknya ibu yang melahirkan alam ini. Menghormati alam berarti menghormati sang pemelihara, sang pemilik atau sang penjaga alam (Allah).

Namun, keserakahan umat manusia menyebabkan alam ini mulai mengidap kesakitan di setiap rusuk, sehingga ekosistem tidak berjalan seimbang. Ketika musim hujan tiba, tumpukan sampah mengakibatkan aliran air tak mengalir di tempat semestinya. Alhasil, banjir dan longsor tentunya merebak pada musim ini sebagai pemantik kesadaran kita bahwa mesti mewaspadai labilitas topografi alam. Seandainya surah al-Fatihah dipahami secara maknawi oleh ratusan juta umat Islam Indonesia. Entah itu oleh pejabat, tokoh masyarakat, rakyat, agamawan, dan yang lainnya. Di dalamnya ada pemantik yang siap menyalakan kesadaran umat manusia: membina hubungan yang harmonis dengan alam adalah misi suci ajaran Islam.

Di kedalaman jiwa umat manusia tersimpan reflika kesadaran yang terpendam. Tuhan, sang pemilik alam raya, sebelum umat manusia lahir ke muka bumi meniupkan ruh “kesadaran” untuk berelasi seharmonis mungkin dengan alam sekitar. Namun, karena syahwat atau nafsu keserakahan sedemikian kuat dalam diri manusia akhirnya kesadaran tersebut terpendam, kemudian menghilang. Manusia, pada posisi ini, mengagungkan peradaban material sehingga alam menjadi objek eksploitasi “seksis” yang berujung pada kerusakan ekologis.

Tugas suci kita, sebagai makluk-Nya adalah memperjuangkan ide, harapan, cita-cita, resolusi diri, dan imajinasi kesejahteraan bangsa agar mewujud dalam bentuk nyata. Dalam bahasa lain, memungut kembali ”reflika kesadaran” sebagai manusia berkesadaran ekologis harus mulai dicamkan tanpa henti di sanubari. Bukan lantas menjadi angan yang bersifat fana dan tiada. Apalagi di tengah ketidakseimbangan ekosistem, cuaca yang tak terprediksi, bencana alam terjadi di hampir setiap daerah; kita sejatinya bahu membahu membenahi ”relasi tak seimbang” untuk menghormati saudara kita (alam sekitar).

Peradaban


Indonesia memiliki potensi besar menjadi negara hebat di dunia kalau ditopang dengan konstruksi peradaban utama. Tentunya tanpa mengabaikan tradisi ketimuran (misalnya local wisdom, spiritualitas dan immaterial), peradaban yang kita bangun sejatinya tak bersifat eksploitatif dan dekonstruktif.

Dalam upaya mewujudkan peradaban utama, ormas dan tokoh Islam sepatutnya mengejawantahkan visi pembebasan. Ketika pengrusakan alam merajalela, agama sejatinya memberikan advokasi yang membebaskan alam dari tangan-tangan tak bertangungjawab manusia. Al-quran, khususnya surah Al-Fatihah, me­negaskan individu harus berterima kasih atas pemberian alam oleh Tuhan dalam kehidupan ini. ”Fatihah bencana” bagi kita ialah melakukan pendobrakan atas logika pembangunan bangsa ini dari yang mengeksploitasi alam ke arah logika pemeliharaan agar pembangunan menjadi berkelanjutan (sustainable).

Kesadaran seperti itulah yang sepatutnya kita punguti bersama. Tuhan menempatkan manusia sebagai faktor penentu kelahiran sebuah perubahan dalam se­jarah kehidupan. Hancur dan bangkitnya peradaban manusia ditentukan sikap, mental, dan paradigma yang kita bangun dalam menggulirkan pembangunan. Karena itu, sebuah keniscayaan bagi umat manusia kembali meresapi tujuan diciptakan dirinya ke muka bumi.

Selain menebarkan benih ”rahmat” bagi alam sekitar (rahmatan lil alamin), dalam surah Al-Fatihah tujuan kita diciptakan ialah bersyukur atas pemberian-Nya berupa alam (alhamdulillahi rabbi al-alamin), di mana hidup kita bergantung kepadanya. Tak heran jika Tuhan sangat mencela manusia yang melakukan pembunuhan (terhadap manusia) dan merusak (alam sekitar). Wallahua’lam