Shalawat Perdamaian di Negeri Plural

Notification

×

Iklan

Iklan

Shalawat Perdamaian di Negeri Plural

Rabu, 15 Desember 2021 | 19:00 WIB Last Updated 2022-09-09T01:42:04Z

Menjalani kehidupan di tengah perselisihan, pertengkaran, perlawanan, peperangan, dan kecamuk nafsu egois pembenaran keyakinan memang sangat menjengahkan. Pluralitas menjadi patologis dalam pandangan warga. 

Kebenaran (al-haqq) didominasi kaum mayoritas, yang kadang-kadang mengejawantahkan arogansi pikir, sikap, dan laku. Manusia yang sejatinya selalu mendamba kedamaian membumi di kehidupan sehari-hari tidak lagi memenuhi setiap ruang di kedalaman jiwa. 

Betapa mudahnya kita melontarkan kata “sesat” pada setiap pemahaman dan keyakinan di negeri ini. Kita menjadi manusia yang merasa paling benar dan paling shaleh; paling layak memonopoli ruangan mewah dan indah di alam surgawi. 

Bahkan, Tuhan yang paling berhak menunjuk apakah seorang hamba layak memasuki surga ataukah tidak; digantikan secara paksa oleh kepongahan kita. Singgasana peradilan Tuhan direbut oleh manusia yang berteriak “Akulah yang Maha benar” di medan kehidupan hingga tidak menyisakan ruangan untuk peace, shalom, shanti, dan salam, seperti yang diajarkan dalam Kekristenan, Yudaisme, Hindu, dan Islam kepada para penganutnya.

Kedamaian yang dihasilkan dari aktivitas perdamaian umat manusia merupakan Realitas Ilahi yang membumi karena memantulkan keindahan mutlak yang bermuara dari kebenaran Ilahi (al-haqq). Kedamaian, harmonitas atau ketentraman berarti wujud Tuhan di muka bumi. 

“Tiada ketentraman kecuali di dalam Kebenaran Ilahi (al-haqq)”, ujar Rumi. Karenanya, ketika seorang manusia mencoba menghancurkan kedamaian, harmonitas, dan ketentraman; maka mereka berarti telah menghancurkan realitas Tuhan di muka bumi.

Kedamaian dan perdamaian


Kedamaian dan perdamaian di negeri plural ini telah dicederai oleh sikap dan laku arogan segelintir kalangan. Buktinya, penyerangan dan pembakaran kampung yang dihuni warga Syi’ah, yang kembali mencuat seolah memperkeruh suasana damai dan tentram (al-sakinah) yang ditanamkan Tuhan pada jiwa-batiniah setiap umat manusia. 

Islam dipecah belah menjadi Suni-Syi’ah hingga menjadi dua realitas kebenaran: kebenaran Suni dan kebenaran Syi’ah. Madzhab yang seharusnya dijadikan sebagai bukti kekayaan alam pikir manusia, disudutkan pada posisi yang tak manusiawi, dengan label “sesat”.

Kedamaian ialah hasil dari upaya perdamaian yang diupayakan umat manusia. Akan tetapi, karena manusia kerap mengklaim kebenaran secara “hitam putih” akibatnya lahirlah kekerasan dan penyesatan yang mencederai kedamaian dan perdamaian. 

Kebenaran beragam wajah dan plural bentuknya. Tidak tunggal dan manunggaling kawula gusti. Bukan milik manusia yang serba terbatas, serba emosional, dan serba mendapatkan gangguan saluran ketika berkomunikasi (noise) dengan teks-teks keagamaan. 

Kebenaran merupakan potret keindahan ilahi, yang sejuk dan tenang serta damai (salam); sehingga tidak pernah menyisakan ruang untuk kebencian dan kekerasan.

Di dalam teks suci Islam dan sebuah hadis Nabi, para penghuni surga diceritakan selalu mengucapkan salam pada penduduk di akhirat. Kaum Sufi Asia Tengah menyebutnya dengan perdamaian universal (shulh-i kull), yang diraih ketika dualisme, kondisi berlawanan atau ketegangan bertemu (coincidentia oppositorum). 

Kedamaian yang dihasilkan dari berislam ini bagaikan ejawantah dari nama Allah, as-salam, yang berarti pemberi kedamaian karena Dia adalah sumber keindahan dan kebenaran. “Dialah yang telah menurunkan ketenangan (al-sakinah) ke dalam hati orang-orang mukmin” (QS. Al-Fath [48]:4), firman-Nya ini mengindikasikan seorang hamba mesti memancarkan kedamaian berbalut rahmat yang bersifat surgawi. 

Terma Al-Sakinah pada ayat ini sinonim dengan Shekinah, menurut Kabbalis, yang berarti kedamaian bersifat surgawi dan berpadu dengan rahmat, karena Allah ialah sumber langsungnya. (Seyyed Hossein Nasr, The Garden of Truth, Mizan, 2010: 105-107).

Namun, realitas berkata lain. Kebenaran seolah dijadikan ajang rebutan untuk menguasai posisi “umat paling sah” dari Nabi Muhammad. Sosok manusia mulia yang tidak menghendaki umatnya gampang menyesatkan pemahaman orang lain. 

Klaim kebenaran merupakan hak prerogatif Tuhan. Manusia, hanya mampu menafsir dan meyakini kebenaran yang dipegangnya untuk dipertanggungjawabkan di akhirat kelak. Jalan menuju kebenaran memang beragam dan kita sebagai manusia sejatinya tidak mudah mengklaim bahwa kebenaran mutlak ialah milik kita, sedangkan pemahaman orang lain sesat dan menyesatkan.

Ketika al-Hallaj berteriak dalam kondisi mabuk spiritual (ekstase), “Anaa al-Haqq”, akulah kebenaran; ulama ramai-ramai menghukum mati dirinya. Ia dicap sebagai pemikir sesat yang pantas mendapatkan hukuman mati. 

Memuji nabi


Shalawat yang dilantunkan untuk memuji kanjeng Nabi Muhammad, bagi umat Islam dipercaya dapat memancarkan berkah, keselamatan, kesejahteraan, ketentraman dan keamanann bagi seluruh umat manusia. 

Shallu dapat berarti: doa, memberikan berkah, pujian, kesejahteraan, ketentraman, ketenangan, kemuliaan, dan ibadah. Dengan demikian, shalawat nabi mestinya berfungsi memuliakan ajaran-ajaran toleransi yang digelorakan Nabi Muhammad Saw., selama beliau masih hidup.

Islam ialah agama damai, karena itu sudahkah kita ber-shalawat dengan benar, kalau masih menyisakan ruang bagi kekerasan ketika muncul perbedaan?

Shalawat kepada Nabi Muhammad selalu kita lantunkan sebanyak sembilan kali dalam shalat lima waktu per hari. Bahkan, bagi orang yang sering menunaikan shalat sunah bisa lebih banyak dari sembilan kali. 

Kalau dikalikan dalam tiga puluh hari, kita bershalawat sebanyak dua ratus tujuh puluh kali. Namun, sayangnya shalawat tidak membekas di kedalaman jiwa umat Islam. Yang terjadi ialah, umat banyak mengkhianati keberkahan Islam sebagai agama yang menebarkan rahmat bagi semesta alam (al-islam rahmatan lil alamin). 

Fundamentalisme Islam yang rigid dan kikuk dengan klaim kebenaran sepihak telah membuat suasana harmoni negara-bangsa ini berada pada ketidakstabilan sosial dengan mudah meruncingnya konflik-konflik yang bermotif agama.

Sosok Nabi, yangkerap kita peringati hari kelahirannya, dilahirkan (maulid) bukan untuk menghancurkan kedamaian; tetapi memelihara agar tetap menciptakan perdamaian dan kedamaian dengan menjunjung tinggi toleransi. 

Kalau saja, kanjeng Muhammad Saw. marah melihat sahabat-sahabatnya yang menghancurkan pepohonan, pertanian, dan peternakan non-Islam ketika dalam peperangan bukankah ini bukti kongkrit pentingnya memelihara keselarasan, kedamaian, ketentraman, dan stabilitas. 

Muhammad Saw., ialah manusia mulia yang lahir untuk memanusiawikan umat manusia yang telah terkurung oleh nafsu keserakahan dan kekerasan.

Sastrawan-filosof sekelas Muhammad Iqbal, juga merangkai kecintaannya berwujud teks sastra Rumuz-I Bekhudi pada Nabi Muhammad Saw., Dari kenabian, fondasi kami di dunia/Dari kenabian, agama kami punya ritualnya/Dari kenabian, beratus ribu kita satu/Bagian dari bagian tak terpisahkan/Dari kenabian, kita punya melodi yang sama/Napas yang sama/Tujuan yang sama//.

Bagi kita yang hidup di masa yang terbentang jauh dengan Nabi Muhammad Saw., menjadi keniscayaan kembali memaknai maulid Nabi dengan suasana yang kontekstual. 

Memaknai kelahiran Nabi yaitu berupaya secara teguh mengamalkan apa yang digariskan olehnya sebagai panduan etis dan moral bersosial. Shalawat pun mesti memantik kesadaran diri, perbedaan ialah anugrah dari Tuhan yang patut dipelihara demi terwujudnya kedamaian di negeri yang plural ini, Indonesia.