Umberto Eco, Buku Digital dan Literasi Membaca

Notification

×

Iklan

Iklan

Umberto Eco, Buku Digital dan Literasi Membaca

Selasa, 21 Desember 2021 | 13:35 WIB Last Updated 2022-09-09T01:42:03Z

Oleh: Pungkit Wijaya,
Esais.

Umberto Eco dalam sebuah wawancara mengatakan bahwa buku cetak tidak bisa disamakan dengan datangnya buku digital (E-book). Buku cetak sudah tua usianya dari buku digital dan yang menarik, Eco memilih untuk membaca buku cetak dibandingkan buku digital. 

Bagi Eco bisa saja berujar seperti itu. Mungkin kita bisa mengamininya atau boleh untuk memilih abai pada pernyataan tersebut.

Tradisi cetak tetap saja tidak bisa tergantikan dengan tradisi digital merujuk pada istilahnya populernya digitalisasi buku. 

Uniknya, buku di sadari atau tidak; sebagai bahan bacaan, esensinya tetap saja harus dibaca. Peletakan tersebut menjadi dasar bagi kita untuk memahami dua tradisi yang kini mulai menjadi pilihan.

Mungkin, bagi sebagian orang, boleh tidak merasa betah membaca buku digital (E-book) sebab sudah terbiasa membaca dalam wujud cetak. 

Contohnya, seorang teman di kampus, dia enggan membaca buku versi digital; katanya lebih baik dia cetak kembali wujud buku digital tersebut kemudian dibacanya. Namun, untuk sebagian orang buku digital memudahkan untuk membaca. Tergantung kebiasaan dan kebutuhan.

Menarik mencermati ketika perusahaan buku cetak kini sudah mulai membuka toko buku online. Terlalu naïf jika kita tidak mengakui bahwa perkembangan zaman sudah berhijrah ke arah digital. Bahkan, segala bentuk realtias sosial sangat terasa peralihannya. Terutama dalam lahan ekonomi.

Digitalisasi gencar menggerus berbagai sendi-sendi kehidupan kita. Kini, bahkan, jasa pemesanan ojek pun bisa dipesan secara online. Digitalisasi itu, tentunya juga menggerus buku-buku cetak dan menggantikannya dengan buku digital (E-book).

Kemajuan zaman selalu menjanjikan kelebihan. Sebab, jika tidak, mustahil ia disebut kemajuan dan mustahil pula ia diterima oleh manusia. Hukum ini berlaku pula bagi E-book yang diprediksi akan menggantikan zaman buku cetak.


Semenjak proyek Gutenberg, perkembangan digitalisasi buku menjadi lebih cepat. Seperti halnya perkembangan perpustakaan digital. 

Coba kita tengok di Universitas baik di Indonesia maupun diluar negeri sudah menggunggah buku digital secara gratis. Ya, kini buku cetak sudah tersimpan dan berjejer di lemari digital.

Ada lima kelebihan buku digital (E-Book) dibandingkan dengan buku cetak. 

Pertama, E-book dinilai lebih simpel untuk dibawa dan disimpan, ketimbang buku cetak. Kedua, E-book juga tergolong jauh lebih murah ketimbang buku cetak. Ketiga, usia E-book lebih tahan lama dan abadi. Keempat, E-book itu lebih mudah untuk dicari dan didapatkan. Dan, kelima, karena mudah diproduksi, E-book banyak tersedia dalam banyak pilihan bahasa.

Terlepas dari semua perkembangan yang terjadi tersebut, kita bisa membeli buku digital atau buku cetak. Yang jelas, esensinya buku itu harus tetap dibaca. 

Sebagaimana galibnya manusia berpikir, bahwa kegiatan membaca tidak bisa kita tinggalkan -- dalam filsafat Aristoteles disebut dengan esensial dan desensial, yakni buku ialah sebuah bahan bacaan. Ini mengindikasikan mau tak mau, manusia mesti membudayakan kegiatan membaca, baik yang berwujud digital maupun cetak.