Menguji Kemampuan Membaca Peserta Didik

Notification

×

Iklan

Iklan

Menguji Kemampuan Membaca Peserta Didik

Selasa, 07 Juni 2022 | 18:41 WIB Last Updated 2022-06-07T11:41:51Z


Oleh: Ace Somantri,
Dosen Universitas Muhammadiyah Bandung


NUBANDUNG.ID — Pendidikan adalah sebuah usaha sadar untuk mendewasakan manusia dalam berpikir dan berbuat. ‘Pendidikan’, asal katanya ‘didik’. Maknanya adalah proses saling memberi dan menerima satu sama lainnya dengan tujuan untuk  memberi tahu berbagai hal yang dibutuhkan.


Pendidikan juga bukan proses interaksi sepihak yang menekankan pada satu titik, misalnya pendidik mengharuskan peserta didik untuk mengikuti semua arahannya tanpa rasionalitas yang objektif.


Proses tersebut berlangsung lama. Peserta didik, baik itu pelajar, siswa, murid, santri, dan mahasiswa atau siapapun yang berperan terdidik. Pengalaman kebanyakan orang, pembelajaran formal dan informal yang selama ini dijalani belum dilakukan maksimal.


Wahyu pertama yang diturunkan, sangat tegas dan jelas memberi isyarat akan pentingnya pendidikan, “Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu”. Kata kunci dalam dunia pendidikan sudah menjadi konsensus universal adalah membaca.


Persoalan mendasar, memahami makna membaca masih bersifat tekstual dan literal. Sehingga dalam implementasinya cenderung kaku dan seperti menara gading. Kiranya tidak salah, bagi penggerak pendidikan melakukan terobosan unik yang di luar pendidikan mainstream pada umumnya. 


Indikatornya disesuaikan kebutuhan kekinian. Ketercapaian belajar dalam dunia pendidikan perlu perubahan pandangan dari para praktisi pendidikan, bahwa untuk mengukur ketercapaian akhlak mulia membutuhkan tahapan yang sesuai perkembangan psikologis peserta didik.


Namun, sejak perkembangan teknologi digital ada pengaruh besar terhadap sikap dan perilaku anak usia sekolah yang cukup signifikan.


Hendaknya pengelola atau para manajer sekolah benar-benar cermat dan jeli melihat perkembangan perilaku manusia pada umumnya. Sekolah yang dikembangkan dengan cara konvensional lambat laun ditinggalkan peminatnya.


Di antara ratusan ribu sekolah di berbagai level satuan pendidikan, mungkin hanya ada beberapa sekolah yang pengelolaannya di luar pada umumnya. Sistem yang diadopsi berbagai macam sistem, tergantung capaian khusus yang diharapkan.


Model pembelajaran yang dikembangkan tidak lagi pendekatan model usang yang tidak banyak diminati anak-anak. Pembelajaran monologis, penekanan tugas rumahan, mengisi lembar kerja sekolah, dan pengadaan buku paket.


Berbagai jenis ujian,  harian, tengah, dan akhir semester termasuk juga ujian akhir studi dengan cara tertulis yang membuat boring anak milenial dan subjektivitas hasilnya cenderung tidak adil, termasuk ujian masuk perguruan tinggi. Dan yang bisa tembus masuk perguruan tinggi adalah mereka yang tepat mengisi soal SBMPTN.


Sementara kecerdasan seseorang tidak bisa diukur dengan hasil ujian tulis, tapi harus ada ujian yang mengukur kemampuan lain, yaitu kemampuan membaca fenomena yang terjadi masa lalu, hari ini, dan esok.


Dengan model merdeka belajar, harusnya berbagai ujian harus menggunakan pendekatan merdeka. Pun seleksi masuk Perguruan Tinggi memakai pendekatan kemerdekaan.


Terlebih untuk belajar di Perguruan Tinggi, pendekatan belajarnya andragogis yaitu model pembelajaran orang dewasa yang menekankan kemampuan analitis.


Untuk menguji kemampuan para pembelajar sebaiknya harus mengedepankan kemampuan membaca persoalan atau masalah yang dihadapi yang berkaitan dengan keilmuan yang dipelajari, atau ilmu yang diminati. Pendekatan kemampuan membaca masalah rata-rata masih rendah, termasuk yang memiliki intelegensi yang cerdas!