Keimanan dan Keshalehan Sosial

Notification

×

Iklan

Iklan

Keimanan dan Keshalehan Sosial

Jumat, 23 September 2022 | 20:46 WIB Last Updated 2022-09-24T03:33:40Z



Mamat Muhammad Bajri, M.Ag. Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Muhajirin Purwakarta.


NUBANDUNG.ID - Semakin orang religius, maka akan semakin tidak mengetahui apa-apa tentang ilmu Allah yang tak terbatas dan hanya memahami sedikit saja ilmu Allah serta semakin tawadhu dan menganggap dirinya hanya sebuah butiran debu yang menempel di sandal orang lain serta tertutup oleh ribuan planet di alam semesta. 


Hidupnya akan hati-hati, lisannya akan dijaga supaya tidak menyakiti hati saudarannya, mengerjakan amal kebaikan dan kemanusian tanpa mengharapkan pujian dan popularitas di ruang publik. 


Tidak sedikit orang mengaku beriman dan membaca Al-Quran tetapi tindakan dan prilakunya jauh dari Al-Qur'an. Begitu banyak orang memahami tentang hadist Rasulullah tetapi prilakunya jauh dari akhlak Rasulullah.


Keimanannya hanya dipahami oleh pikiran tetapi tidak ditransformasikan dalam kehidupan sosial dan memberikan kebermanfaatan bagi umat manusia. Dalam prespektif sosiologi islam " Keimanan yang tidak melahirkan keshalehan sosial adalah keimanan yang tidak bermakna sama sekali, sebab ayat tentang keimanan akan bersinergi dengan amal shaleh.


Semakin orang mengklaim dirinya orang paling religius, hakekatnya tidak religius. Orang religius itu tidak dibentuk dengan pemahaman semata,  rajin datang ke pengajian, pulang pergi ke tanah haramain, itu hanya ciri-ciri orang beriman, belum disebutkan orang beriman selama keimanannya belum dibuktikan dengan tindakan nyata di ruang publik serta memberikan kemaslahatan bagi orang lain.


Keimanan yang hanya dikerongkongan dan tidak diresapi melalui penghayatan jiwa yang tulus, serta tidak diperkuat dengan akhlak mulia hanya akan melahirkan manusia monster di kemudian hari dengan cara menyesatkan orang lain yang berbeda dengan dirinya serta gampang menghakimi orang bid'ah, sesat. 


Tidak sedikit orang teriak-teriak kembali kepada Al-Quran dan hadist, tetapi jangan sampai kembali kepada Al-Quran dan hadist hanya mengandalkan terjemahan semata, secara memahami ilmu Al-Quran memerlukkan pendekatan ilmu tafsir, metodologi tafsir serta ilmu Alat seperti nahwu, sharof, balaghah serta harus mengacu kepada kaidah tafsir seperti ilmu asbabul Nuzul, makkiyah, madaniyah, muhkam dan mutasyabihat, qathi dan dzini, sebab ada ayat Al-Quran yang ayatnya umum tetapi maknanya khusus, ada ayatnya khusus tetapi maknanya umum, disinilah perlu belajar kepada para ulama yang sanad keilmuaannya bersumber kepada Rasulullah SAW. Tidak sedikit orang mengharamkan bermadzhab, bahkan harus langsung kepada Rasulullah serta mengaku paling Salaf.


Bagaimana bisa belajar langsung kepada Rasulullah secara kita tidak hidup di zaman Rasulullah, Imam Syafie, Imam Malik, Imam Ahmad Bin Hambal,  Imam Nafi  saja tidak ketemu Rasululluh, mereka perawi hadist saja belajar ke para sahabat, Yang ketemu dengan Rasulullah hanya sahabat, itulah sanad keilmuaan yang bersambung kepada Rasulullah, begitulah yang diajarkan oleh para ulama, para habaib kepada umatnya. 


Lantas kita siapa? secara keilmuaan saja belum ada, tetapi masih tidak mau bermadzhab dan gampang menyesatkan orang lain secara masuk surga belum ada jaminan sama sekali.


Ulama-ulama tidak pernah mendeklarasikan dirinya orang yang dekat dengan Allah, padahal hakekatnya mereka dekat dengan Allah.