Jangan Ajari Saya Toleransi Agama

Notification

×

Iklan

Iklan

Jangan Ajari Saya Toleransi Agama

Jumat, 18 November 2022 | 09:12 WIB Last Updated 2022-11-18T02:12:57Z

 


Oleh: 
Moeflich HasbullahDosen Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) UIN Sunan Gunung Djati, Bandung 


NUBANDUNG.ID - Di samping rumah, adalah keluarga Kristen. Di rumah tetangga nempel ini, rutin kumpulan jamaahnya beribadah dengan nyanyi lagu-lagu gereja. Lagu-lagunya menekankan harmoni suara dan gak pake speaker. Jujur, saya suka mendengarnya, tentu sebagai seni. Secara irama, lagu-lagu itu terdengar teduh dan damai. Saya tak mendengar apa isi lagunya, gak jelas dan tak ingin tahu.


Saya berpikir, kenapa saya menyukainya paduan suara lagu-lagu gereja itu? Refleksi saya ke belakang, menemukan jawabannya. Alm. Bapak saya dulu, tentara dan seniman pemain orkes di kesatuannya. Penyuka berat lagu-lagu oldies tahun 1960-an. Lagu-lagu lawas Barat yang abadi menempel kuat pada memori saya dan kakak saya karena memang enak dinikmati. Saya penyuka lagu-lagu memories dan oldies.


Ketika saya SMP-an, bapak saya di rumah rutin bertahun-tahun menyetel lagu-lagu country dan slow oldies. Kasetnya dulu lengkap. Kesan yang kemudian nama-nama penyanyinya menempel kuat dalam ingatan saya hingga sekarang dan saya banyak hapal lagu-lagunya: Andy William, Jim Reeves, Perry Como, Matt Monro, Angelbert Humperdinck, Connie Francis, Nat King Cole, Elvis Presley dll.


Diantara lagu-lagu mereka, terutama dari Matt Monro, lagu-lagu yang enak didengarkan itu, tanpa sadar, adalah lagu-lagu gereja, seperti Ave Maria dan Mary's Boy Child, lagu tentang kelahiran Yesus di Betlehem. Yang lainnya adalah lagu² pop biasa yang sering saya nyanyikan dan banyak digemari masyarakat Indonesia seperti Walk Away, Born Free, From Russia With Love, The Music Played dll.


Saya menemukan, kesan tak sadar itu yang rupanya membuat saya suka irama lagu-lagu gereja (lagu-lagu shalawat dan kasidah jangan ditanya 😊). Tetapi, penghayatan saya tak sampai seperti Ahmad Wahib, wartawan Tempo dan pemikir liberal sezaman dengan Nurcholish Madjid, Johan Effendi dan Dawam Rahardjo dll, yang dalam bukunya "Pergolakan Pemikiran Islam," katanya merasa teduh kalau menatap wajah Bunda Maria di gereja. Ahmad Wahib mungkin menghayati kekristenan sampai ke ajarannya. Saya tidak, hanya seninya saja.


Tapi saya sering bertanya juga pada diri sendiri, kenapa saya tak jadi seorang liberal ya? Atau saya ini seorang liberal? Anda bisa menilainya. 


Tulisan ini, saya mengetiknya sekarang, saat lagu-lagu gereja di rumah sebelah itu masih terus berkumandang dalam harmoni. Saya merasa tidak ada yang salah dengan kemusliman saya, malah banyak yang menilai saya ideologis. Aneh juga. Tapi dua hal saja yang ingin saya katakan: Pertama, jangan mengajari saya toleransi agama!! Kedua, jangan lupa ngopdud!! Takbiirrr ...!!! 😊💪☕🚬🚬🚬