Irfan Amalee Berbagi Tips Jadi Pendidik Sukses di Era Digital

Notification

×

Iklan

Iklan

Irfan Amalee Berbagi Tips Jadi Pendidik Sukses di Era Digital

Kamis, 15 Desember 2022 | 08:42 WIB Last Updated 2022-12-15T01:43:19Z


NUBANDUNG.ID
– Menjadi pendidik tidaklah mudah. Dengan kata lain, tak semua orang mampu menjadi pendidik, apalagi di era digital. Lalu, bagaimana seharusnya menjadi pendidik di era digital? 


Irfan Amalee, founder Peace Generation membagikan tips menjadi pendidik di era digital. Menurut mudir pesantren Welas Asih, Garut, itu ada 3 aspek yang harus dimiliki oleh seorang pendidik di era digital. 


Arus informasi di era digital, ungkap Irfan, seperti air bah. Sebab itu, seorang pendidik harus memiliki mindset atau pola pikir.


“Kita berpikir, bahwa informasi itu tak semua kita gunakan, sebab di sana ada sampah,” kata Irfan ketika memberikan materi dalam kegiatan “Semarak Literasi Digital” yang diadakan PK IMM PAI UM Bandung, Rabu 14 Desember 2022, di Auditorium KH Ahmad Dahlan, UM Bandung.


Untuk memilih sebuah informasi, ungkap alumnus Tafsir Hadis UIN Sunan Gunung Djati Bandung, itu seorang pendidik perlu kemampuan lain.


“Namanya skill set atau kemampuan untuk berpikir kritis terhadap informasi yang kita dapat. Di sanalah kita mengolah, menganalisis, dan mengevaluasi informasi,” terang Irfan.


Tak hanya itu, seorang pendidik pun harus memiliki skill set creativity atau kemampuan untuk menjadi produsen informasi.


“Mereka bisa membuat counter narasi. Intinya memproduksi sesuatu, bergeser dari konsumen, prosumen, lalu menjadi  produsen informasi,” papar jebolan pesantren Darul Arqam, Garut, itu.


Kemampuan itu, tambah Irfan, merupakan kemampuan yang harus dilatih para pendidik di abad globalisasi.


“Itu adalah puncak paling tinggi dari high order thinking skill dan kemampuan abad 21 atau skill set-nya,” sebut Irfan.


Lalu, kemampuan apa lagi yang harus dimiliki oleh para pendidik di era digital ini?


“Yang terakhir adalah tool set atau alat bantu untuk berpikir kritis untuk cek fakta. Misalnya Kominfo, Mafindo, tular nalar, dan masih banyak lagi,” ucap Irfan.


Alat bantu tersebut, saran Irfan, harus diajarkan kepada anak didik di sekolah oleh para guru.


“Tool set atau pembelajaran itu untuk mengajarkan literasi kepada anak,” ucapnya.


Kode etik hidup di era digital


Di acara yang sama, pegiat literasi digital, Fahd Pahdepie, mengungkapkan hidup di era digital harus memahami kode etik.


“Hidup kita hari ini sudah terdigitalisasi, maka cara hidup kita harus sesuai dengan cara hidup di dunia digital,” jelas CEO inilah.com itu.


Secara sederhana, Fahd mengilustrasikan bahwa untuk menjadi mahasiswa UM Bandung, seseorang harus tahu aturan di kampus tersebut.


“Dia harus tahu bagaimana cara menjadi mahasiswa UM Bandung yang berhasil, lalu apa yang harus dilakukan,” ucap penulis buku Hijrah Bang Tato itu.


Tak dimungkiri, hidup di era digital memudahkan orang untuk beraktivitas. Kendati begitu, generasi muda perlu menguatkannya dengan literasi digital.


Literasi digital, selain memberikan keuntungan secara pribadi juga memudahkan berkolaborasi dengan pihak lain.


“Orang akan melihat rekam jejak dari aktivitas kita di dunia digital. Misalnya, dia punya karya apa. Kalau literasi digitalnya bagus, orang tak sungkan untuk ajak kerja sama,” tutur lulusan Monash Universtity, Australia, itu.


Bila seseorang tak memiliki literasi digital, sambung Fahd, justru akan merugikan orang tersebut.


“Ia tidak akan ke mana-mana dan tidak akan diajak orang lain untuk kolaborasi,” tutup pria berkacamata itu.***(CH)