Curug Dago

Notification

×

Iklan

Iklan

Curug Dago

Rabu, 04 Januari 2023 | 18:00 WIB Last Updated 2023-01-04T11:00:46Z

Potret Curug Dago (yang diberi warna) oleh J.C. Becker sekitar tahun 1896. Sumber:  KITLV 1400231

Oleh: ATEP KURNIA,
Peminat Literasi dan Budaya Sunda


NUBANDUNG.ID - Keberadaan air terjun bisa jadi merupakan penanda utama di balik dikenalnya daerah Dago secara luas, bukan saja untuk penduduk sekitar Bandung, melainkan ke seantero Hindia Belanda maupun dunia. Soalnya, sejak kapan Curug Dago mulai dikenal, dalam arti muncul dalam publikasi? 


Berita pertama yang agaknya mengindikasikan Curug Dago adalah berita koran Java-bode edisi 10 Mei 1881. Dalam beritanya disebutkan, “Een Europeesch militair blies zich te Dago, vier paal ten Noorden van Bandong, dezer dagen hat levenslicht uit”. Artinya kira-kira, seorang militer bangsa Eropa telah menjerumuskan dirinya ke Dago. Letak Dago dikatakan berada 4 pal (6 kilometer) di sebelah utara Bandung. 


Meski tidak tersurat menyebutkan “waterval”, tetapi saya yakin kata Dago dalam berita tersebut merujuk kepada air terjun. Namun, enam tahun kemudian, dalam tulisan bersambung mengenai catatan perjalanan ke Priangan (“Uitstapjes in de Preanger” dalam Bataviaasch nieuwsblad edisi 27 Agustus 1887), seorang penulis dengan jelas menyebutkan nama “waterval van Dago” atau “waterval van den Tjikopoendoeng”.


Menurut penulis, ia mengunjungi air terjun yang dikenal sebagai “kleinen waterval” atau air terjun-air terjun kecil yang terbentuk oleh Sungai Cikapundung di Desa Dago. Ia penasaran terhadap penggunaan kata “kecil” padahal cukup dengan kata “air terjun” saja apakah mengindikasikan adanya air terjun yang besar. Nyatanya ia memang mendapat jawaban bahwa di Afdeeling Bandung memang ada air terjun yang besar, bahkan terbesar di seantero Jawa, yakni di Distrik Rajamandala, Control Afdeeling West Bandoeng


Kata penulis, Curug Dago terletak 3,5 pal atau 4 pal (5,25-6 kilometer) sebelah utara Bandung. Para pengunjung dapat mencapainya dengan menyewa kereta kuda seharga 2 hingga 3 gulden, dari Desa Merdika.


Hingga 1890, Curug Dago sudah dikatakan sebagai titik kunjung terkenal (“Een algemeen bezocht punt”) di Bandung. Ini dikatakan oleh J.W.H. Cordes dalam tulisannya “In de Preanger-regentschappen” (dalam De Indische Gids Vol. 12, No. 2, 1890). 


Kata Cordes, di sekeliling Bandung banyak pemandangan indah. Titik populernya Curug Dago yang indah (“de fraaie waterval van Dago”), yang dapat dicapai satu jam perjalanan dari kota utama. Di air terjun itu, air Sungai Cikapundung, sungai kecil yang berasal dari Bukittunggul, menjatuhkan dirinya dari ketinggian sekitar 12 meter.


Dengan kepopuleran tersebut, tidak heran bila Curug Dago termasuk salah satu destinasi yang dimasukkan dalam buku panduan wisata pertama ke Bandung dan sekitarnya. Buku panduannya disusun R. Brons Middel atas dukungan organisasi yang hendak memajukan Bandung, Het Nut van Bandoeng en Omstreken. Judulnya Reisgids voor Bandoeng en omstreken met Garoet (1898).


Oleh Brons Middel diulas dalam bahasan “Een uitstapje naar den waterval van Dago” atau perjalanan ke Curug Dago. Di situ antara lain dia menyebutkan Dago terletak 4 pal di utara Bandung. Bila sedang di jalan ke arah sana lalu berpaling ke belakang, akan tersaji pemandangan Bandung yang sangat indah, karena lahannya termasuk berbukit. Bila pengunjung mencapai titik tertinggi jalan, artinya pengunjung telah mendekati Desa Dago, tempat air terjun yang bernama sama itu berada. Sewa kereta kuda ke Dago bolak-balik sebesar 2 gulden. Di dekat Dago ada perkebunan teh Ciumbuleuit.


Justus van Maurik melalui Indrukken van een Totok: Indische typen en schetsen (1898) turut menyebut-nyebut Curug Dago. Katanya, dengan membayar 2,5 hingga 3 gulden, dengan berkendara selama setengah jam, pengunjung dapat menyambangi air terjun kecil yang tingginya 13 meter, yang disebut Curug Dago, serta merupakan spot menarik untuk piknik (“Voor ƒ 2.50 a ƒ 3.— rijdt men in een half uur naar den kleinen, 13 m. hoogen waterval (Tjoeroek-Dago), waar men een uitstekend plekje voor een picnic vindt”).


Demikian pula yang dinyatakan penulis bernama Dé-Lilah melalui karyanya, Mevrouw Klausine Klobben op Java (1899). Katanya, ia bangun pagi-pagi sekali untuk mengunjungi Curug Dago, yang sering ia dengar (“Des morgens zou ik vroeg opstaan, om eerst den waterval Dago te gaan bezoeken, waar ik zooveel van gehoord had”). Sama seperti penuturan penulis lainnya, ia menggunakan kereta kuda atau sado (“en wachtte mijn dos-à-dos voor de deur”) untuk menuju ke Curug Dago. 


Popularitas Curug Dago terus meningkat seiring kian banyaknya publikasi yang membahasnya. Pada awal abad ke-20, saya antara lain menemukan orang yang menulis mengenai Curug Dago dalam Lux-De Camera Vo. 16 (1905), Het Baghet No. 1 (1905), dan Lampahipoen Kangdjeng Pangéran Arja Koesoemadiningrat (1912). 


Apalagi dalam publikasi khusus potensi wisata di Bandung seperti Gids van Bandoeng en Omstreken (1921) oleh S.A. Reitsma dan W.H. Hoogland, Uitstapjes in den omtrek van Tjimahi (1923) oleh J.J. de Stigter, Bandoeng, de stad op de hoogvlakte (1926), Bandoeng: the Mountain city of Netherlands India (1926) susunan S.A. Reitsma, Gids van Bandoeng en Midden-Priangan (1927) oleh S.A. Reitsma dan W.H. Hoogland, Mooi Bandoeng: Gids voor Bandoeng en Omstreken (1930) karya F.B. Jantzen, Gids voor Bandoeng, Garoet en omstreken (1930) oleh J.G. Doorman, dan Handboek voor toerisme in Nederlandsch-Indië (1938).


Puncak publikasi mengenai Curug Dago, saya pikir, dihasilkan oleh perhimpunan yang memajukan pariwisata Bandung, Bandoeng Vooruit, melalui berkalanya, Mooi Bandoeng. Paling tidak sejak 1933 hingga 1940, berbagai potensi rekreasi di daerah Dago kerap disebut-sebut dan dibahas dalam Mooi Bandoeng. Selain Curug Dago, majalah tersebut kerap menyebut-nyebut adanya pembangkit listrik, theehuis, vila, hotel, dan kolam renang atau pemandian di sekitar Dago.***