Menyoal Transformasi Digital Pendidikan

Notification

×

Iklan

Iklan

Menyoal Transformasi Digital Pendidikan

Selasa, 03 Januari 2023 | 09:12 WIB Last Updated 2023-01-03T02:12:10Z


Oleh: Budhiana Kartawijaya
(budhiana.id)


Pagi hari membuka media sosial, saya menemukan gambar-gambar lucu ini. Namanya di medsos, tidak ada nama pemilik  foto ini. Tapi memang ini potret pendidikan di era pandemi ini. 


Belajar tidak lagi di ruang kelas, tapi di rumah, ya di ruangan juga. Materi pelajaran sama. Guru mengajarnya sama, cuma sekarang tidak di papan tulis atau whiteboard, tapi pakai power point. Anak harus pakai seragam. Mulai belajar, jam 7.00, sama seperti waktu belajar di kelas. Secara kultur, tidak berubah. Hanya medianya saja berubah.


Lalu, kalau hanya pindah media, sementara proses belajar mengajarnya tetap, bisakah kita sebut transformasi digital dunia pendidikan?


Saya mencoba mendekatinya dengan cara membedakan tiga konsep: digitisasi, digitalisasi dan transformasi digital. Semuanya pernah saya tuliskan di sini.


Di era disrupsi ini, para pakar Teknologi Informasi melempar tiga konsep utama tentang perkembangan dunia usaha di era digital. Ketiga hal tersebut adalah digitisasi, digitalisasi, dan transformasi digital.


Kita coba terapkan kategorisasi ini dalam bidang pendidikan.


Menurut IT Glossary Gartner, Digititasi adalah proses perubahan dari bentuk analog ke digital. Digitisasi dalam dunia rekaman, mengubah rekaman kaset menjadi mp3, atau mengubah video VHS menjadi file mp4. Dalam bidang pendidikan, buku cetak menjadi e-book; guru mengajar di depan kelas menjadi di layar komputer; anak-anak tetap berseragam dan tampil di video, kemudian diabsen satu persatu, papan tulis menjadi power point, dan sebagainya.


Sedangkan digitalisasi merujuk pada perubahan proses bisnis konvensional ke proses digital. Dalam perusahaan, sebuah perusahaan dikatakan sudah melakukan digitalisasi bila proses bisnisnya sudah paperless, dan mengurangi tatap muka. Interaksi dan komunikasi internal perusahaan misalnya, sudah paperless. Juga transaksi dengan pelanggan dan vendor juga sudah melalui transaksi daring. Dalam dunia pendidikan, proses jalannya juga  sudah digital. Uang SPP sudah via akun virtual bank. Kehadiran tercatat melalui melalui mesin absensi sidik jari (fingerprint), menggunakan aplikasi spreadsheet dan lain-lain.


Istilah ketiga adalah transformasi digital. Sebuah perusahaan atau dikatakan mengalami transformasi digital jika dia menggunakan kemajuan teknologi IT ini tidak sebatas digitisasi dan digitalisasi, tetapi sudah bertransformasi  membuat model bisnis baru. Model bisnis baru inilah yang menciptakan sumber-sumber revenue baru dan nilai-nilai baru yang berkembang atau berbeda dari model  bisnis awal.


Dalam dunia pendidikan, transformasi digital adalah melahirkan kultur dan model pembelajaran baru yang berbeda dari pemahaman klasik tentang sekolah. Pendidikan berubah, tidak hanya sekolah, akan tetapi belajar (learning, not only schooling).


Acer for Education Foundation menegaskan:


Digital Transformation in schools is not about innovation or technology, it’s more a matter of culture. Through a digitalization of the learning experience, both teachers and students are able to improve their skills, with a common goal: to create a more engaging and effective education process.


(Transformasi digital di sekolah, bukan persoalan inovasi teknologi, tapi persoalan budaya. Melalui digitalisasi pengalaman belajar, guru dan murid mampu meningkatkan kemampuan mereka, dengan tujuan bersama: menciptakan proses pendidikan yang saling berperanserta dan efektif)


Acer menguraikan lima hal penting dalam transformasi digital untuk pendidikan di antaranya kustomisasi (personalisasi) pengalaman belajar, pemerataan hak digital (digital equity), pentingnya luar ruang kelas, dan peningkatan mutu guru.


Alcatel, perusahaan telekomunkasi Prancis melukiskan transformasi digital pendidikan sebagai:


It is NOT a basic hardware or software upgrade (although that can play a part). Digital transformation is a physical AND philosophical change designed to meet the ever growing demands of your students, faculty and campus to create a learning environment where everything connects. This is an ecosystem that combines technology, services and security to bridge the digital gap to create collaborative, interactive and personalized learning experiences.


Bukan sekadar peningkatan perangkat keras dan perangkat lunak (meski ini pun merupakan bagian penting). Transformasi digital adalah perubahan fisik DAN filosofi yang bertujuan memenuhi tuntutan siswa, fakultas maupun kampus dalam menciptakan lingkungan belajar di mana segala sesuatunya terhubungkan. Ini adalah ekosistem yang mengombinasikan teknlogi, jasa, kemanan siber untuk menjembatani kesenjangan digital menuju pengalaman belajar yang kolaboratif, interaktif dan personal.


Maka dari beberapa pandangan lembaga di atas, transformasi digital bukan sekadar digitisasi dan digitalisasi, akan tetapi perubahan fundamental kultur pendidikan. Baru sebatas digitisasi dan digitalisasi. Yang terjadi baru memindahkan cara belajar mengajar lama ke dunia digital. Maka jangan heran, kalau ada keluhan dari siswa, mulai keluhan tak punya pulsa, jenuh, cape dan lain-lain. Foto di atas sebetulnya melukiskan bahwa apa yang terjadi belum memasuki transformasi digital. Kita masih memandang transformasi digital sebagai semata-mata memindahkan konten analog ke digital.


Transformasi digital pendidikan juga diartikan sebagai pendidikan yang tidak menyentuh realitas. Padahal, transformasi digital justru mendorong pendidikan luar kelas. Ini kesempatan baik untuk lebih mendorong anak-anak mengenal lingkungan alam dan lingkungan sosial. Artinya pendidikan lebih kontekstual dan terkostumisasi/personalisasi (costumized/personalized). Kontekstualisasi artinya dia belajar dari teks dan melihat realitas di sekelilingnya. Kostumisasi personalisasi adalah sesuai dengan minat dan perhatian anak.


Teman saya, Farid Gaban, seorang wartawan yang juga pemerhati pendidikan menulis dalam statusnya:  sebaiknya sekolah diliburkan saja. Ketimbang sekolah daring yang tidak efektif atau tidak berempati kepada yang tidak punya HP dan pulsa. Kembali sekolah dari alam dan kehidupan sehari-hari. Anak-anak diajak bertani, beternak, memelihara dan menangkap ikan; belajar mengolah pangan atau membuat kerajinan dari bahan baku alam; wirausaha kecil-kecilan. Alam dan kehidupan menawarkan pelajaran yang sangat kaya dan tidak cuma teori.


Farid yang kini fokus pada kegiatan pertanian menulis apa yang saya maksud dengan kontekstualisasi pendidikan. Dia  menyebut beberapa saja:


Botani: yaitu bertani dan berkebun, baik sayur maupun buah; Membuat daftar tanaman pangan di desa-desa; meneliti tumbuhnya kecambah.


Biologi: Beternak ayam atau maggot (larva lalat hitam untuk pakan lele), jangkrik atau ikan nila.


Mikrobiologi:  Fermentasi tape, membuat tempe dan tahu.


Matematika:  Menghitung bulir padi dari setiap malai dan rumpun, untuk memprediksi jumlah panen. Menghitung jumlah telur yang diproduksi dari 100 ayam.


Ekonomi/Wirausaha: Jualan singkong goreng; pergi ke pasar, ngobrol dengan pedagang kaki lima.


Teknik Mesin: Membongkar sepeda atau motor; kulkas atau kipas angin.


Fisika/Aerodinamika:  Bikin kincir air di sungai atau kincir angin di sawah. Bikin layang-layang.


Elektronika: Mengolah air hujan menjadi air asam dan basa dengan elektrolisa.


Biomaterial:  Membuat kulit dari fermentasi teh atau air kelapa. Membuat papan dari jerami padai dan miselium jamur.


Sosiologi/Antropologi:  Keliling desa-desa, merekam sejarah desa dan kearifan tradisional.


Inovasi Pangan:  Membuat tepung kulit pisang; dendeng kulit singkong. Bikin pizza dari singkong dan ketela.


Farid mengatakan, masih banyak lagi. Alam dan kehidupan menawarkan pengetahuan yang hampir tiada batas. Hanya perlu sedikit kreativitas dan imajinasi dari para guru. Sekolah di alam dan kebun lebih dimungkinkan sambil menjaga jarak dan mematuhi protokol kesehatan.


Di sini, internet menjadi sumber pengetahuan yang tak berbatas. Meski tema besar belajar satu cabang ilmu, anak-anak bisa bebas mengeskplorasi alam. Kemudian mereka bisa mencari sumber rujukan dari internet. Hasil-hasil eksplorasi mereka bisa didokumentasikan secara digital, dan audiens-nya tidak cuma guru atau teman-teman sekolahnya, melainkan pemirsa di seluruh dunia.


Transformasi digital pendidikan, bukan cuma memindahkan kultur lama ke dunia maya. Dan juga bukan memisahkan anak dari dunia sekitar. Justru transformasi ini menjadikan ilmu lebih konstekstual, anak-anak berkembang sesuai dengan minatnya, dan semakin dekat dengan manusia sekelilingnya, tidak berbatas tembok kelas.***