Oleh: Prof. KH. Dadang Kahmad, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah
NUBANDUNG.ID – Al-Quran dalam pandangan dan keyakinan umat Islam adalah wahyu Allah SWT sebagai sumber kebenaran dan mutlak benarnya.
Namun, kebenaran mutlak itu tidak akan tampak manakala ia tidak berinteraksi dengan realitas sosial atau Al-Quran tidak akan tampak kebenarannya jika tidak dibumikan yaitu dibaca, dipahami, dan diamalkan oleh para penganutnya.
Ketika kebenaran mutlak Al-Quran itu disikapi dan dipahami oleh para pemeluknya dengan latar belakang budaya serta tingkat pengetahuan yang berbeda maka akan muncul kebenaran yang berbeda beda, bersifatnya parsial, sehingga kebenaran yang diperoleh manusia menjadi relatif, sedangkan kebenaran yang mutlak hanyalah milik Allah.
Sebagai gambaran pada hal-hal tertentu, misalnya, kebenaran agama versi Nahdhatul Ulama tidak akan sama dengan kebenaran agama versi Muhammadiyah, begitu pula sebaliknya. Bahkan bisa dikatakan kebenaran tafsir Al-Quran itu akan dipandang sebagai tidak sempurna ketika yang satu menyalahkan yang lain atau saling menyalahkan satu sama lain sesuai dengan keyakinan masing-masing.
Di dalam Al-Quran ada rambu-rambu agar tiap kelompok tidak saling menyalahkan kelompok lain. Seperti dilarangnya kaum muslimin saling mengolok-olok di antara mereka (Al-Hujurat: 11). Termasuk yang dilarang adalah berprasangka buruk terhadap kelompok lain.
Demikian pula dilarang kaum muslimin menganggap dirinya paling benar dari kelompok muslim yang lain. Sebagaimana tertulis dalam surah An-Najm: 32, “Jangan engkau merasa suci, Dialah siapa orang yang bertakwa.”
Sikap seperti itu tidak berarti kita harus berdiam diri terhadap kemungkinan kesalahan orang atau lingkungan sekitarnya. Umat Islam harus bersikap kritis dan melakukan koreksi terhadap segala bentuk patologi sosial dalam doktrin Islam sikap korektif ini disebut amar makruf nahi munkar.
Al-Quran dalam surah Al-Baqarah: 148 mengakui masyarakat terdiri dari berbagai macam komunitas yang memiliki orientasi kehidupan sendiri- sendiri. Setiap orang harus menerima kenyataan keragaman budaya dan agama. Setiap manusia harus bersikap toleran kepada komunitas yang berbeda dalam menjalankan ibadahnya.
Oleh karena itu, tuduhan bahwa Islam yang anti-pluralitas sangat tidak beralasan dari segi ideologis. Setiap muslim pasti sangat memahami secara mendalam etika pluralitas yang terdapat dalam Al-Quran.
Oleh karena itu, tidak perlu lagi ada ketegangan permusuhan dan konflik dengan agama lain atau kelompok muslim yang lain sejauh mereka tidak sedang memaksakan keyakinan satu sama lainnya.
Pluralisme dalam bermasyarakat pernah diteladankan oleh Rasulullah SAW di Madinah. Dari Rasulullah SAW dilanjutkan oleh Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan diteruskan kepada khalifah yang lainnya.
Bukti-bukti empiris Islam tercatat di zaman pemerintahan Andalusia, Spanyol, yakni pada masa pemerintahan Khilafah Umayyah telah mengakhiri politik satu agama secara paksa oleh penguasa sebelumnya.
Pemerintah Islam berkuasa selama 700 tahun lebih telah menciptakan masyarakat Spanyol yang pluralistik dan multi-agama yaitu Islam, Katolik, Kristen, dan Yahudi dapat hidup bersama. Mereka berdampingan dan rukun. Mereka hidup saling menghargai eksistensi kebudayaan masing-masing.
Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa era pemerintahan Umayyah di Spanyol dapat dipandang sebagai rahmat yang mengakhiri diskriminasi dan hegemoni suatu agama.***
Sumber: diolah dari “SM” edisi 04 tahun 2023
Editor: FA