Ramadhan KH, Akrab Disapa Kang Atun, Sastrawan Penulis Biografi Soeharto

Notification

×

Iklan

Iklan

Ramadhan KH, Akrab Disapa Kang Atun, Sastrawan Penulis Biografi Soeharto

Minggu, 05 Februari 2023 | 19:12 WIB Last Updated 2023-02-05T12:12:11Z


NUBANDUNG.ID
– Ramadhan KH yang nama lengkapnya adalah Ramadan Karta Hadimadja, lahir pada 16 Maret 1927. Dia adalah seorang penulis biografi Indonesia yang akrab disapa Kang Atun.


Dikutip dari ensiklopedia bebas Wikipedia, Ramadhan KH merupakan anak ketujuh dari sepuluh bersaudara. Ayahnya, yakni Raden Edjeh Kartahadimadja, adalah seorang Patih Kabupaten Bandung pada masa kekuasaan Hindia Belanda.


Ia dilahirkan dari perkawinan ayahnya dengan Saidah. Aoh K. Hadimadja (1911 – 1972) yang juga dikenal sebagai penyair dan novelis itu, adalah kakak kandung seayah Ramadhan KH yang lahir dari rahim istri pertama ayahnya yakni Raden Djuwariah binti Martalogawa.



Ketika usia Ramadhan KH masih belum genap tiga bulan, ayahnya terpikat perempuan lain dan menceraikan Saidah yang langsung dikembalikan ke kampung. Pengalaman tersebut membuat ia dekat dengan sosok ibu dan menghayati derita kaum perempuan.


Pendidikan dan pekerjaan


Ramadhan KH pernah bekerja selama 13 tahun sebagai wartawan Antara. Lalu dia minta berhenti karena tak tahan melihat merajalelanya korupsi waktu itu. Dia tercatat sebagai mahasiswa ITB dan Akademi Dinas Luar Negeri (sekarang Sekdilu) di Jakarta. Namun sayang kedua-duanya tidak tamat. 


Dia juga pernah bertugas sebagai redaktur majalah “Kisah”, redaktur mingguan “Siasat” dan redaktur mingguan “Siasat Baru”.


Semasa hidupnya Ramadhan KH terkenal sebagai penulis yang kreatif dan produktif. Ia banyak menulis puisi, cerpen, novel, biografi, menerjemahkan, dan menyunting. Kumpulan puisinya yang diterbitkan dengan judul “Priangan Si Djelita” (1956), ditulis saat Ramadan kembali ke Indonesia dari perjalanan di Eropa pada 1954.


Kala itu, ia menyaksikan tanah kelahirannya, Jawa Barat, sedang bergejolak akibat berbagai peristiwa separatis. Kekacauan sosial politik itu mengilhaminya menulis puisi-puisi tersebut.


Kumpulan puisi terbaik


Sastrawan Sapardi Djoko Damono, menilai buku tersebut sebagai puncak prestasi Ramadhan KH di dunia sastra Indonesia. Menurut Sapardi, buku itu adalah salah satu buku kumpulan puisi terbaik yang pernah diterbitkan di Indonesia. “Dia adalah segelintir, kalau tidak satu-satunya, sastrawan yang membuat puisi dalam format tembang kinanti,” papar Sapardi.


Dikutip dari ensiklopedia.kemdikbud.go.id, Selasa 24 Mei 2022, “Priangan Si Jelita” merupakan kumpulan sajak karya Ramadhan KH yang tebalnya 42 halaman. Sajak-sajak yang dimuat ditulis oleh Ramadhan KH pada 1956, kemudian dicetak dan diterbitkan sebagai sebuah buku kumpulan sajak pada 1958.


Cetakan kedua dilakukan pada 1965 dan cetakan ketiga diterbitkan ulang oleh Penerbit Pustaka Jaya – Jakarta. Kumpulan sajak “Priangan Si Jelita” sudah diterbitkan dalam bahasa Prancis. “Priangan Si Jelita” memperoleh hadiah Sastra Nasional Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN) sebagai kumpulan sajak terbaik periode 1957—1958. Jumlah sajak yang dimuat di dalam “Priangan Si Jelita” berjumlah 21 buah.



Buku itu terdiri atas tiga bagian yang setiap bagiannya terdiri atas tujuh buah sajak. Bagian pertama berjudul “Tanah Kelahiran”, bagian kedua berjudul “Dendang Sayang”, dan bagian ketiga berjudul “Pembakaran”. Sajak-sajak yang dimuat di dalam “Priangan Si Jelita” sebagian besar merupakan ungkapan rasa kagum penulis terhadap alam Priangan (Sunda – Jawa Barat) yang indah dengan gunungnya dan pucuk-pucuk daun yang hijau.


Dalam kata pengantar “Priangan Si Jelita”, Ajip Rosidi mengatakan bahwa selama Ramadhan KH berada di Eropa, yang dilihatnya hanyalah padang es yang putih dengan udaranya yang dingin. Setelah kembali ke Indonesia, Ramadhan KH terpesona ketika melihat keindahan alam Indonesia, khususnya alam Priangan.


Ramadhan KH mengontraskan keindahan tanah Priangan dengan nasib buruk rakyat jelata yang menjadi korban pemberontak pada dasawarsa 1960-an. Hal ini terungkap dalam bagian sajak yang berjudul “Pembakaran”. Pada dasawarsa itu keamanan di tanah Priangan sering terganggu oleh gerombolan yang tidak segan-segan membakar rumah dan merampok kekayaan rakyat di desa-desa.


Kontras antara keindahan dan nasib rakyat yang ditemukan Ramadhan KH di tanah kelahirannya memperlihatkan ironi yang terjadi di tanah Priangan. Melalui beberapa sajak, terlihat juga upaya Ramadhan KH untuk menciptakan sajak dengan pola rima tembang Sunda.


Dalam bukunya yang berjudul “Sastra Indonesia Modern II” (1989), A. Teeuw mengomentari bahwa kehadiran buku “Priangan Si Jelita” itu disambut bergairah oleh rekan-rekan Ramadhan KH dari daerah Sunda.


Dick Hartoko dalam artikelnya yang berjudul “Berbagai Pencerapan terhadap Keindahan Alam” dalam HB Jassin 70 Tahun (1987) mengatakan “Priangan Si Jelita” adalah sebuah kumpulan sajak yang memperlihatkan keindahan alam. Namun, setelah itu keindahan alam kita rupanya menjadi kabur karena tidak dianggap pantas untuk diekspresikan.


Korban fitnah


Pada 1965 Ramadhan KH sempat ditahan selama 16 hari di Kebon Waru, Bandung, bersama-sama dengan Dajat Hardjakusumah–ayah kelompok pemusik Bimbo–yang saat itu menjabat pimpinan Kantor Antara Cabang Bandung.


Keduanya ditahan karena dilaporkan bertemu A. Karim DP dan Satyagraha, Ketua dan Sekretaris Jenderal PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Pusat yang masa itu dianggap berideologi kiri dan mendukung G-30-S.


Oleh karena itu, mereka juga dianggap pendukung G-30-S. Belakangan ia baru tahu bahwa mereka difitnah kelompok lain dapat menguasai kantor Antara Cabang Bandung. Sesudah enam belas hari dalam tahanan, keduanya dibebaskan dan pimpinan pusat Antara memindahkannya ke Jakarta. Ramadhan KH langsung pindah ke Jakarta.


Menulis biografi Presiden Soeharto


Pada 1982, ketika tinggal di Jenewa, Ramadhan KH dihubungi oleh Kepala Mass Media Sekretariat Negara di Jakarta, Gufran Dwipayana, yang mengajaknya untuk menulis biografi Soeharto yang masih menjabat sebagai presiden Indonesia waktu itu.


Ramadhan KH mula-mula menolak karena sebagai orang Jawa Barat merasa tak menguasai budaya Jawa, daerah asal Soeharto. Namun, ternyata Soeharto ketika sudah menjatuhkan pilihan pada Ramadhan KH. Nama Ramadhan KH dipilih lantaran bukunya, “Kuantar ke Gerbang”, biografi kisah cinta Inggit Garnasih dengan Presiden Soekarno, sangat berkesan bagi Dwipayana, orang dekat Soeharto, yang dipercayai menentukan calon penulis biografi Soeharto.


Selama penulisan biografi Soeharto hanya dua kali Kartahadimadja bertemu dengan orang terkuat pada masa Orde Baru. Pertanyaan di luar pertemuan itu diajukan Kartahadimadja dengan cara merekamnya. Lalu rekaman itu dititipkannya lewat Dwipayana, yang setiap Jumat bertemu Soeharto. Berdasarkan rekaman jawaban itulah Ramadhan KH lebih banyak bekerja.


Penulisan biografi Soeharto membuat Ramadhan KH merasa tertekan, tak sama dengan ketika dia menulis buku biografi tokoh lain. Dia merasa berat melakukannya karena takut salah tulis atau malah ditangkap. Ramadhan KH biasanya mengajak seorang atau lebih penulis lain untuk menulis biografi. Selain meringankan tugas, sekiranya dia berhalangan, sakit, atau meninggal dunia, penulisan buku itu tidak terhenti.


Tak selamanya berjalan mulus


Tidak selamanya perjalanan Ramadhan KH dalam menulis berjalan mulus. Rencana menulis biografi Ibnu Soetowo, mantan Direktur Utama Pertamina, dan Wiweko, tokoh penerbangan nasional, gagal lantaran perselisihan antara narasumber dengan rekan Kartahadimadja yang membantunya menulis. Penulisan biografi Yulia Sukamdani juga batal karena permintaan suaminya.


Setelah Tines berpulang, Ramadhan KH kembali ke Indonesia bersama kedua anaknya. Ia ingin menagih honor kepada Soeharto, tetapi Dwipayana sudah meninggal dunia. Sekretaris Militer Presiden Syaukat Banjaransari menyarankannya agar menulis surat langsung kepada Presiden. Beberapa hari kemudian datang telepon dari Kolonel Wiranto, ajudan Presiden Soeharto. Ia diminta datang ke Jl. Cendana.


Bersama Gumilang ia datang, masuk halaman, langsung diberi mobil Honda Accord warna merah. Mobil baru dengan jok terbungkus plastik. Namun, Soeharto tidak menemuinya. Mereka hanya bertemu di depan garasi dan terbatas dengan Wiranto.


Hari-hari terakhir


Pada tahun-tahun terakhir hidupnya Ramadan tinggal di Capetown mengikuti istrinya, Salfrida Nasution, yang bertugas sebagai Konsul Jenderal Republik Indonesia di kota itu. Sebelumnya ia pernah tinggal di Los Angeles, Paris, Jenewa, dan Bonn, menyertai istrinya yang terdahulu, Pruistin Atmadjasaputra, juga seorang diplomat, yang dikenal dengan panggilan “Tines”.


Tines, yang dinikahinya pada 1958, mendahuluinya pada 10 April 1990 di Bonn, Jerman. Setelah ditinggal istrinya, pada 1993 Ramadhan KH menikah kembali dengan Salfrida, seorang sahabat istrinya yang pernah menyumbangkan darahnya ketika Tines sakit.***


___


Sumber: Wikipedia & Ensiklopedia Kemdikbud


Editor: FA