Prof Bambang: Piagam Surabaya, Menegaskan Posisi UIN di Tengah Persoalan Bangsa! Ini 3 Agendanya

Notification

×

Iklan

Iklan

Prof Bambang: Piagam Surabaya, Menegaskan Posisi UIN di Tengah Persoalan Bangsa! Ini 3 Agendanya

Sabtu, 06 Mei 2023 | 18:30 WIB Last Updated 2023-05-09T03:45:42Z



NUBANDUNG.ID-Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) ke-22 yang digelar di UIN Sunan Ampel Surabaya menghasilkan rumusan Surabaya Charter atau Piagam Surabaya. 


Salah satu hasil AICIS ini adalah penolakan terhadap politik identitas, yang merupakan rumusan kelima dari enam rumusan Surabaya Charter. Penolakan ini dibutuhkan pada saat NKRI menghadapi tahun politik yang berdasarkan pengalaman sebelumnya, “digoreng” dengan politik identitas.


Ketua Lakpesdam PWNU Jawa Barat, Prof Dr. H. Bambang Qomaruzzaman, M.Ag, mendukung Piagam Surabaya untuk menegaskan posisi UIN di tengah persoalan bangsa.


"Rekomendasi ini tidak bisa lewat begitu saja sebagai wacana teoretikal belaka, melainkan harus menjadi dasar kebijakan pengelolaan Perguruan Tinggi Keagamaan seperti UIN," tegasnya, Jumat (5/5/2023).


Prof Bq, sapaan akrabnya  menyampaikan paling tidak ada 3 agenda yang harus dilakukan UIN.

 

Pertama, revitalisasi mata kuliah agama yang diajarkan agar didasarkan pada prinsip martabat manusia, kedamaian, dan keadilan, dengan pendekatan maqashid al-syariah untuk mengatasi masalah kontemporer. 


“Agenda ini berarti mata kuliah agama yang diajarkan di UIN, tidak sekedar hafalan, namun sebentuk metode berpikir yang arif dan cerdas berdasarkan pembelaan terhadap nyawa, harta, agama, akal sehat, jiwa, dan masa depan bangsa,” paparnya. 


Konsekuensi lain, mata kuliah agama tidak hanya mengulang doktrin lama melainkan harus dihadapkan dengan masalah kontemporer, tak sekadar untuk memahami, namun juga untuk memberikan jawaban dan rancangan antisipasi masa depan. 


Kedua, revitalisasi mata kuliah dasar yang dapat memberikan critical thinking “sehingga menghasilkan mahasiswa dan lulusan yang tidak berpikiran deskriminatif, dan tidak menjadikan agama sebagai politik identitas,” tuturnya.


Ketiga, reorientasi proses perkuliahan tidak sekadar cakap dalam teori namun mampu berkhidmat di tengah masyarakat untuk memelihara keberagaman dalam hidup berdampingan yang toleran dan damai didasarkan prinsip moderasi, kesetaraan, dan keadilan beragama. 


“Mahasiswa dan lulusan UIN, memiliki tanggungjawab yang besar untuk menjadi agen pelaksana Fiqih Peradaban. Hanya dengan itu, rekomendasi Muktamar Internasional Fiqih peradaban I dan AICIS ke-22, dapat terdesiminiasi di tengah masyarakat,” tandasnya.  


Guru Besar Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung ini memberikan caranya, dengan Khidmat atau spirit melayani dapat menjadi metode pengabdian masyarakat yang  tidak ada paksaan di dalamnya, “melainkan lahir dari keinginan tulus untuk melayani umat atas nama posisi diri sebagai abdullah (pelayan Allah),” ujarnya.


Menurutnya, Perguruan Tinggi Keagamaan seperti UIN harus menunjukkan jati dirinya sebagai pusat pengembangan dan penyebaran Fiqih Peradaban di negeri ini. UIN tak bisa sekadar menyelenggarakan pendidikan biasa-biasa saja, melainkan harus proaktif menghasilkan alumni-alumni yang siap-hadap bahkan siap-inovasi bentuk peradaban umat di masa depan. 


“Jika selama ini ada banyak yang mencemaskan Industry 4.0, UIN berdasarkan dua rekomendasi ini harus dapat mewujudkan umat 5.0 bagi masa depan yang lebih bermartabat,” pungkasnya.