Sudahkah Menemukan Musyahadah?

Notification

×

Iklan

Iklan

Sudahkah Menemukan Musyahadah?

Kamis, 06 Juli 2023 | 20:30 WIB Last Updated 2023-07-07T04:27:08Z

 




AHMAD SAHIDIN, Penulis buku Tanda-Tanda Kiamat Mendekat.


NUBANDUNG.ID - Saya ingin menegaskan bahwa "kenyataan" dalam hidup, yang meski berbeda dengan "harapan" dan "hasrat diri", harus dihadapi dengan penuh ketenangan dan kesiapan yang total.

​Siapa pun orangnya, yang masih mengaku manusia harus tegar menghadapi rasa ngarasula jeung perkara-perkara nu matak mamala; atau kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi dengan mempersiapkan diri dan memahami bahwa dunia (dan hidup) mengandung struktur dasar,  yaitu benturan antara harapan dan kenyataan.

Karena itu, jangan disalahkan bila para filsuf menggusur persoalan filosofis ke wilayah keseharian hingga pada mukasyafah, dan akhirnya menemukan “puncak” musyahadah. Dan orang yang mencapainya, dalam keberadaannya tidak lagi merasa: Aku-Narsis-Solipsism, tapi ia akan sampai pada: Aku-Altruis-Wisdomism. Inilah realitas (haqiqiyah) dari dijadikannya manusia agar tahu bahwa ia tidak-sendirian sekaligus sendirian di antara ketidaksendiriannya itu.

Konsepsi ini pula yang kemudian melahirkan pemahaman relatif dan plural, sehingga tampak (dalam masyarakat) bahwa kehidupan, manusia, dunia, dan alam semesta tidak tunggal. Lalu, adakah yang benar-benar di luar term tersebut, kalau semuanya tunggal dalam keanekaan yang plural; sekaligus plural dalam ketunggalannya?

Aku tidak dapat langsung menjawab "ya" atau "tidak"—karena kata dan term itu semua hanya fenomena yang perlu dibongkar sampai ke akar-akarnya. Jelas di sini perlu perangkat episteme dan metodologi.

Akan tetapi, katakanlah sejak Socrates dengan dialektika-kritis induktif,  Plato dengan deduktif-spekulatif transendental,  Aristoteles dengan silogistis-deduktif, Plotinus dengan kontemplatif-mistis, Descartes dengan skeptis; atau sekarang dengan fenomenologi, hermeneutika dan semiotika (sebagai pisau-sayat yang dipakai posmodernisian dan posstrukturalisian) hanya rekayasa dan penciptaan realitas di atas realitas-haqiqiyah—dan hanya bersifat asimtotis dan after the fact (istilah Rolland Barthes) saja.

Bahkan seingatku, seorang filsuf muslim bernama Mulla Shadra (hidup di Abad 16 Masehi) yang dianggap berhasil mengungkap pengetahuan yang bukan dari pikiran manusia, tapi berasal dari “alam-lain” yang melampaui ontologi-realitas (rasional) maupun keseharian (emperis).

Namun bila direnungi, ternyata Shadra hanya mampu membahasakannya lewat asfar aqliyat al-arba`ah sebagai simbol perjalanan menuju maqamat terakhir. Sebuah pengembaraan dari keadaan kegelapan dan kepolosan dari pengetahuan (jahilun) hingga sampai pada puncak (ilmun) yang jelas-terang-bercahaya (Shadra sendiri tidak bisa menjelaskannya selain dengan metafor tersebut).

Dari proses itu Shadra memunculkan statement pengetahuan bahwa, kebenaran yang diperoleh melalui pengalaman mistis adalah kebenaran yang bersifat kognitif sekaligus rasional.

Nilai dan makna kebenaran spiritualitas dan intelektualitas yang diperoleh seseorang akan terbukti sebagai “kebenaran” jika ia mengalami, merasakan dan dapat menjelaskannya dengan bahasa yang mudah diterima. Aku sendiri tidak dapat melukiskan keyakinanku tentang “Realitas (haqiqiyah) Tuhan”; meskipun ada bahasa metafor dan simbolik.

Sebab bagiku, sejauh manusia itu menghabiskan waktu dan upayanya untuk menggali dan membahasakan “kebenaran” dengan pengetahuan apapun sebanyak-banyaknya; sejauh itu pula ia akan mengalami “kemiskinan” sekaligus merasakan “kebodohan” dalam ilmu pengetahuan yang paling-sangat-teramat banyak, dan bahkan akan berakhir pada kesaksian (disadari atau tidak) bahwa dirinya tidak pernah tahu apa pun selain ketidaktahuan, ... dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit (QS. Al-Isra : 85)  ... dan di atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu Ada Yang Maha Mengetahui (QS. Yusuf : 76).

Inilah kedahsyatan yang tidak perlu dibahasa-metafor-simbolkan dengan apapun. Karena bahasa-simbol-metafor atau apapun namanya, tidak ada sesuatu pun yang layak (diibarat-seperti-contoh-metafor-simbolkan dengan-Nya) selain Ia sendiri yang tahu sekaligus menyaksikan-Nya (Qs. al-Imran : 18 ; asy-Syura : 11 ; al-Hasyr : 22 ; al-Ikhlas : 1-4).

ampun paralun kuring parantos sesebatan
sabab kuring tagiwur jeung guligah;
tagiwurna kusabab guligah nu teu aya papadana
kusabab tagiwur nu teu aya pangawasana
ngan rasa sok rumasa yen teu aya deui jugjuggeun iwal;
nu nyumput dinu caang, nu neumbrak dinu poek
aya bari euweuh, euweuh bari aya
nu nganjang teu digeuro ngan nu dianjangna geugeuro
da saenya-enyana teu aya deui iwal nu terang kukasaksianna

Inilah yang pasti dan harus menjadi tujuan dari apa pun yang dikerjakan manusia. Sebab tanpa ada kehendak untuk menuju kepada Yang Tertinggi, hidup dan kehidupan adalah sia-sia belaka. 

Tapi sayang, sampai sekarang yang kurasakan hanya ada “misteri-misteri” yang senantiasa memunculkan perkiraan-perkiraan dalam diri, hati dan pikiranku. ***