Radea Juli A. Hambali, Wakil Dekan III Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
NUBANDUNG.ID -- Senyatanya, hidup adalah pergumulan tak kenal henti tentang pergantian. Tidak ada siang abadi, tak juga malam yang kekal selamanya. Pergantian menjadi diktum niscaya untuk setiap yang ada di dunia. Pergantian seumpama roda yang menggerakan kehidupan tetap berlangsung. Berkelanjutan.
2023. Ada banyak jejak yang kita tinggalkan. Tentang prestasi yang kita torehkan, atau mahkota yang disematkan di atas kepala, atau juga medali yang dikalungkan di dada. Tapi juga kegagalan yang menerbitkan luka dan kecewa. Tentang impian yang belum mewujud dalam kenyataan. Tentang keinginan yang entah bagaimana menjelmakannya. Sungguh, ada banyak kisah yang tak seluruhnya bisa direngkuh menjadi keberhasilan dan pencapaian.
2024 mungkin (masih) ada harapan untuk memperbaiki sekalipun tantangan juga jebakan mengintai di setiap sudutnya. "Harapan itu sesuatu yang bersayap yang hinggap di jiwa, menyanyikan nada tanpa kata dan tanpa pernah henti sama sekali", begitu kata Emily Dickinson seorang penyair Amerika Serikat.
Seumpama nyanyian, begitu kata Emily melanjutkan, pada harapan ada nada mayor yang memantik "harapan positif" yang merangsang setiap orang untuk terus aktif tanpa menyerah dan mengaku kalah. Nada mayor adalah titik lenting untuk tak lelah memperbaiki diri dan mempersembahkan tindakan-tindakan "summum bonum" yang mendatangkan kemanfaatan untuk kehidupan.
2024, mungkin masih menyuguhkan ketidakpastian, entah karena persoalan politik, rumitnya menyuling pemimpin yang otentik, atau kekhawatiran kekuasaan yang dikangkangi oleh keserakahan, ketidakadilan dan kesewenang-wenangan. Tapi manusia bukanlah sekadar ciptaan yang dituntun raga, senyatanya ada jiwa yang menguatkan dan memendarkan cahaya di dalamnya. Menuntun raga adalah menunaikan kewajiban yang dititahkan Tuhan. "Tuhan tak akan merubah nasib suatu kaum sehingga kaum itu mau melakukan perubahan pada dirinya sendiri".
Lalu jiwa, ia menuntun manusia untuk berkhidmat dengan ajakan untuk mengetuk pintu rumah Tuhan melalui puja dan doa. Jiwa adalah sayap yang bisa melambungkan manusia mengarungi ufuk tertinggi, melampaui dimensi ruang dan waktu. Kata Rumi, "engkau terlahir dengan sayap mengapa memilih merangkak melewati hidup?"
Lagi-lagi. Ketidakpastian di depan sana bisa saja jadi hadangan yang mungkin menunda keberhasilan. Air mata tumpah lagi. Kekesalan tiba kembali. Kekecewaan terbit lagi. Tak apa. Tapi seperti kata Rumi lagi, "ketika engkau melambung ke angkasa ataupun terpuruk ke dalam jurang, ingatlah kepada-Ku, karena Akulah jalan itu". Allahu a'lam[].