Puasa Multikultural

Notification

×

Iklan

Iklan

Puasa Multikultural

Sabtu, 16 Maret 2024 | 10:02 WIB Last Updated 2024-03-18T01:22:34Z

 



IJA SUNTANA, Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara UIN Sunan Gunung Djati Bandung.


NUBANDUNG.ID -- Puasa merupakan ibadah yang paling banyak diikuti oleh banyak manusia, dengan latar agama dan kepercayaan yang beragam. Bentuknya bervariasi dari satu bangsa ke bangsa lainnya, tergantung pada perbedaan budaya, aturan agama, tujuan, dan motif yang mendasarinya.


Namun, inti puasa yang disepakati oleh semua budaya dan agama, dengan berbagai karakteristiknya, adalah pengendalian diri dari kebiasaan yang diingini oleh nafsu.


Belakangan, nilai substansi puasa tidak hanya diterima oleh manusia yang beragama, tetapi puasa menjadi populer di luar kepercayaan agama sekalipun.


Ragam dan ide puasa memiliki sejarah yang panjang dan terkadang menarik dalam warisan agama manusia di dunia. Berikut ini beberapa jenis puasa.


Puasa Nabati

Banyak agama mengikuti puasa nabati, dengan cara berpuasa dari makanan hewani tanpa membatasi jenis makanan lainnya. Salah satunya adalah agama Jainisme (di kalangan masyarakat tradisional India), yang dalam upacara-upacaranya mengikuti aturan-aturan asketisme, pengendalian diri, dan penaklukan nafsu untuk mencapai koneksi ilahi.


Agama Jainisme menerapkan aturan-aturan nabati dalam puasanya yang berakar pada prinsip non-kekerasan terhadap semua makhluk hidup, sehingga penganutnya menghindari semua makanan hewani termasuk telur, namun mereka diizinkan minum susu selama tidak ada kekerasan terhadap hewan selama proses produksi susu.


Para “santri” dalam agama Jainisme tidak diizinkan untuk mengonsumsi sayuran berakar, yang akarnya menyebar di dalam tanah, karena pemetikan akar-akar tersebut dapat menyebabkan kerusakan pada makhluk-makhluk mikro yang hidup di sekitar akar dan menyebabkan cedera pada mereka.


Penganut agama ini juga menahan diri dari minum air selama puasa penuh, kecuali setelah mendidihkannya untuk memastikan tidak adanya makhluk mikro yang hidup di dalam air.


Puasa dari semua sumber makanan hewani juga dikenal dalam beberapa agama, dalam kadar tertentu, seperti dalam agama Kristen, Zoroaster, dan lain-lain. Saat ini puasa dari produk-produk hewani telah menjadi tren di kalangan banyak orang yang melakukan puasa tersebut karena alasan kesehatan atau diet, bukan karena motif keimanan agama.


Puasa dari Bersolek

Puasa dari mandi dan bersolek adalah salah satu aspek puasa dalam tradisi Yahudi. Puasa dalam agama Yahudi dibagi menjadi dua jenis, salah satunya mirip dengan puasa dalam Islam, di mana umat Yahudi berpuasa dari makanan, minuman, dan hubungan seksual mulai dari fajar hingga matahari terbenam.


Pada Yom Kippur dan Tisha B’Av, sebagai hari penuh duka dalam kalender Yahudi dan dianggap sebagai periode di mana Bait Suci di Yerusalem hancur menurut kepercayaan mereka, puasa dalam dua hari ini mencakup penahanan dari makanan, minuman, dan hubungan seksual, termasuk diharamkannya mandi, menggunakan parfum, bahkan dilarang menyikat gigi. Selain itu, mengenakan pakaian berbahan kulit (jaket atau lainnya) juga dilarang selama dua hari ini.


Puasa Berbicara

Beberapa masyarakat kebudayaan di dunia membawa jenis-jenis puasa yang berbeda dari yang kita kenal. Di antaranya puasa dari berbicara dalam segala bentuknya. Puasa semacam ini telah umum di kalangan banyak suku primitif. Misalnya, di kalangan Aborigin (penduduk asli Australia), wanita diwajibkan untuk puasa dari berbicara sama sekali jika suaminya meninggal. Bahkan, puasa ini dapat berlangsung hingga setahun. Dalam jumlah hari tertentu, sebagaimana di informasikan Alquran di Surah Maryam, terlihat bahwa jenis puasa ini juga diatur dalam agama Yahudi.


Puasa dari Kerja

Ada beberapa agama yang mengatur puasa dari pekerjaan, termasuk semua jenis pekerjaan atau sebagian besar. Agama Buddha, misalnya, mengatur puasa selama empat hari setiap bulan kalender (hari pertama, kesembilan, kelima belas, dan kedua puluh dua) sesuai dengan fase bulan, yang disebut yang disebut puasa Uposatha.


Puasa selama hari-hari tersebut melibatkan menahan diri dari segala jenis pekerjaan dan mengabdikan waktu untuk meditasi serta melepaskan energi negatif dengan menjauhi segala tindakan dunia, termasuk mengeluarkan perkataan kotor, bernyanyi, menari, dan menggunakan kosmetik. Oleh karena itu, umat agama Buddha biasanya menyiapkan makanan sejak hari sebelumnya untuk empat hari puasa karena puasa dianggap suci dan melibatkan larangan melakukan segala jenis pekerjaan.


Jenis puasa ini serupa dengan larangan yang diterapkan oleh agama Yahudi terhadap banyak jenis pekerjaan pada hari Sabtu. Dalam sejarah yang diinformasikan Alquran, dikatakan bahwa orang Yahudi dulunya diminta menahan diri dari melakukan pekerjaan tertentu, yaitu menangkap ikan .


Alhasil, puasa adalah kebajikan yang disepakati oleh hampir semua agama sebagai panggilan untuk pembaharuan ruhani dan fisik. Puasa dianggap sebagai bagian dari ritual inisiasi dewasa dalam beberapa budaya. Di masyarakat primitif tertentu, pada masa lalu puasa adalah instrumen spiritualitas kebajikan yang diinginkan oleh manusia sebelum mereka berangkat perang, sebagai upaya untuk mendapatkan berkah. Bahkan, berpuasa merupakan instrumen untuk menghindari bencana dan kelaparan seperti yang dilakukan oleh suku asli Amerika.


Walaupun begitu beragam bentuk praktik, puasa dalam setiap agama memiliki makna yang sama, yaitu jalan menuju kebersihan spiritual dan fisik, sehingga merupakan cara terdekat untuk merasakan kedekatan dengan Tuhan.