Ulama dan Buku

Notification

×

Iklan

Iklan

Ulama dan Buku

Jumat, 22 Maret 2024 | 22:30 WIB Last Updated 2024-03-22T22:37:53Z

 




Oleh: Sudarman Supriyadi, Peminat literasi dan sosial keagamaan. 

NUBANDUNG.ID — Saya berpendapat bahwa ulama klasik zaman dulu telah memberikan contoh yang sempurna bagaimana literasi itu harus melekat pada diri ulama sebagai penerang umat dari kegelapan peradaban.

Jadi, kalau ada yang mengatakan bahwa ulama identik dengan buku, tidak berlebihan adanya. Pendapat itu wajar karena fakta-fakta historis ulama masa lalu seperti itu: mereka banyak menghasilkan karya tulis.

Meskipun pada sisi lain ada juga ulama yang jago dalam ilmu agama tetapi minim menghasilkan karya tulis berupa buku. Itu juga tidak salah karena ulama tidak menulis buku punya alasan tersendiri yang bisa diterima. Namun, saya hanya menyoroti ulama yang berkarya tulis buku.

Fakta historis demikian semata-mata untuk memudahkan kita bahwa ulama itu pencerah umat. Bentuk pencerahannya salah satunya melalui buku. Itu fakta yang tidak bisa dibantah hingga detik ini.

Bahkan buku-buku (atau kitab) karya ulama terdahulu masih dikaji sampai detik ini, khususnya di pesantren-pesantren Indonesia, termasuk sebagian di pesantren-pesantren milik Muhammadiyah. Itu menandakan bahwa manfaat menulis buku sangat luar biasa.

Apakah ulama saat ini tidak produktif menulis buku? Sebagian iya, mereka kurang produktif menulis buku. Namun sebagian lagi memang tetap produktif menulis buku sehingga karya tulisnya itu banyak dikaji dan jadi bahan diskusi di kalangan umat.

Ambil contoh ulama jago debat Ahmad Hassan (A. Hassan atau Hassan Bandung) yang terbilang produktif dalam berkarya. Berdasarkan catatan, A. Hassan telah menulis puluhan buku mengenai masalah keagamaan, terutama fikih, tafsir, hadis, dan ilmu kalam.

Ahmad Hassan merupakan ulama yang produktif dengan kurang lebih 81 karya tulis. Beberapa karyanya yang cukup populer ialah “Soal-Jawab” (empat jilid kalau terbitan Penerbit Diponegoro Bandung), “Tafsir Al-Furqan”, “Pengajaran Shalat”, “Islam dan Kebangsaan”, dan “Adakah Tuhan?”

Baca Juga:  Emosi dan Kebaikan bersama

Selain menerbitkan buku-buku, ulama yang belasan tahun tinggal di Kota Kembang ini juga rajin menulis dalam majalah dan selebaran yang cukup luas penyebarannya.

Selain tokoh Persatuan Islam (Persis), di Indonesia juga ada ulama Muhammadiyah yang terbilang sangat produktif dalam berkarya tulis, yakni Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka).

Tokoh, ulama, dan sastrawan ini terbilang produktif karena kurang lebih sudah menghasilkan 81 karya tulis hingga akhir hayatnya. Sebagian besar bukunya masih diterbitkan dan dicetak hingga sekarang.

Di antaranya buku “Dari Perbendaharaan Lama”, “Tasawuf Modern”, “Sejarah Umat Islam,” “Tafsir Al-Azhar”, “Falsafah Hidup”, “Lembaga Budi”, dan “Lembaga Hidup”.

Belum lagi karya semisal “Di Bawah Lindungan Ka’bah”, “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck”, “Merantau ke Deli”, dan karya sastra yang lainnya.

Kedua ulama yang saya contohkan di atas berkarya pada saat kondisi teknologi belum secanggih saat ini, dimana peralatan dan media promosi buku yang sangat luar biasa. Sangat memudahkan. Namun, ulama zaman dulu cakap berkarya tulis walaupun di tengah keterbatasan peralatan.

Pertanyaan adalah kenapa ulama zaman dulu sangat produktif menulis buku/kitab hingga usia buku itu mencapai ratusan tahun, tetapi ulama kontemporer saat ini tidak sehebat para pendahulunya? Wallahu’alam.

Andai saja A. Hassan dan Hamka masih hidup di era digital saat ini, mungkin saja karya tulis mereka semakin menggila banyaknya. Tidak dapat terbayangkan bagaimana proses kreatif mereka dalam menulis buku ditunjang kecanggihan teknologi saat ini.

Apa pasal? Zaman dahulu saja ketika peralatan dan teknologi belum maju mereka sudah produktif menulis, apalagi zaman sekarang, wah tidak terbayangkan bagaimana derasnya mereka menulis buku.

Tidak bisa dipaksakan

Menulis buku itu memang gampang-gampang susah. Gampang karena tinggal menulis saja tanpa harus melihat bagus atau jelek. Itu urusan belakangan. Bisa dikoreksi dan diedit di lain waktu ketika pikiran sudah kembali normal.

Sementara soal kata “susah” ini karena menulis buku butuh ketekunan dan kesabaran luar biasa untuk mewujudkannya. Kadang-kadang ada orang–bukan ulama–yang semangat di awal-awal, tetapi di pertengahan malah mogok tidak mau melanjutkan lagi menulis bukunya.

Oleh karena itu, tidak semua ulama sempat menuliskan ilmu-ilmunya ke dalam bentuk buku. Alasannya bisa saja seperti saya kemukakan di atas. Bahkan banyak ulama yang sampai akhir hayatnya tidak sempat menulis buku karena sibuk berdakwah dan dahulu ada sebagian ulama yang ditindak oleh penguasa zalim dan akhirnya dipenjara.

Melihat hal tersebut, maka wajar kalau menulis buku itu tidak bisa dipaksakan. Ada beberapa alasan dan kondisi yang memaksa seorang ulama atau cendekiawan tetap menyampaikan ilmu dengan lisan tanpa harus menuliskannya dengan buku.

Menulis buku butuh waktu khusus, walaupun bisa juga dilakukan di sela-sela kesibukan. Namun hal yang harus dipahami bahwa menulis buku idealnya bisa dilakukan oleh para ulama atau cendekia agar ilmu dan nasihat-nasih mereka bisa terabadikan dalam bentuk kata-kata.

Manusia tempatnya lupa dan pendek ingatan. Untuk menyiasati hal tersebut, membaca kembali ilmu yang telah lama bisa dilakukan dengan membacanya di buku. Oleh karena itu, di sinilah pentingnya menulis buku agar ilmu tidak menguap.

Mengabadikan ilmu

Seperti disinggung sedikit di atas, ilmu para ulama perlu diabadikan. Tidak boleh menghilang seiring dengan wafatnya para ulama tersebut. Di samping melalui teknologi video, saat ini mengabadikan ilmu para ulama dengan cara klasik berbentuk buku juga tidak kalah pentingnya.

Buku tidak akan pernah hilang sampai kiamat datang selama manusia membutuhkan kata-kata. Hanya mungkin bentuk dan platformnya yang agak menyesuaikan dengan kondisi perkembangan zaman.

Mengapa mengabadikan ilmu dalam bentuk buku, misalnya, itu penting? Ketika ada satu ulama meninggal, susah sekali kita mencari gantinya yang minimal keilmuan dan kealimannya setara. Berbeda halnya dengan sarjana yang tiap tahun diluluskan perguruan tinggi, ulama tidak demikian, perlu waktu bertahun-tahun lamanya untuk bisa menghasilkan ulama yang alim.

Kalaupun ada ulama gantinya, sekali lagi perlu waktu lama karena jadi ulama itu tidak bisa instan satu bulan dua bulan. Apalagi hanya belajar dari media sosial dan youtube. Perlu waktu bertahun-tahun lamanya mereka belajar di pesantren untuk menjadi ulama.

Oleh karena itu, di sinilah pentingnya ulama menulis buku untuk mengikat dan mengabadikan ilmu para alim tersebut agar tidak menguap begitu saja, apalagi ingatan manusia terkenal sangat pendek.

Sekali lagi–minimal menurut hemat saya–karena para ulama itu juga manusia, ada kalanya mereka sakit, ada halangan yang sangat berat, bahkan sampai wafat. Kalau ilmu mereka tidak diikat dalam bentuk buku, sayang sekali, bisa-bisa kita sebagai umatnya bisa berjalan di lorong gelap. Apa pasal? Ilmu dan nasihat ulama merupakan cahaya penerangan jalan umat.

Dari mana kita mengenal Imam Al-Ghazali, Imam Al-Bukhari, Imam Syafii, Ibnu Hajar Al-Asqalani, Al-Kindi, Al-Farabi? Dari mana kita mengenal KH Ahmad Dahlan, Hasyim Al-Asyari, Ahmad Hassan? Selain dari lisan para ulama setelahnya, tentu saja kita mengenal mereka dari buku-buku karya mereka sendiri–dan buku yang ditulis ulama lain.

Semoga para ulama kita dilindungi oleh Allah, dipanjangkan umurnya, diluaskan ilmunya, tetap semangat membimbing kita yang awam ini, dan diluangkan waktunya untuk menulis buku. Amin.***