NUBANDUNG.ID -- Renungan Jumat dari Saya yang Bukan Ustad. Jumat kemarin saya diminta komunitas lembaga amil zakat (LAZ) Jawa Barat untuk membahas perencanaan zakat berbasis budaya. Latar belakang pendidikan S-2 saya memang magister keuangan mikro terpadu atau integrated microfinance management (IMM). Nah, IMM ini kira-kira sebuah studi yang lahir di Universitas Leiden yang melihat pembangunan tidak cuma dari segi ekonomi saja, tapi juga (terutama) dari segi etnografi, sosiologi dan antropologi. Metode etnografi yang dipinjam IMM misalnya konsep etic vs emic.
Etic adalah pendekatan dari luar, top down, statistical, universal, dan objektif. Misalnya dalam memandang kemiskinan, etic menyebutkan bahwa mereka yang berpendapatan kurang dari $ 1,9, dikategorikan sebagai orang miskin. Maka, pemerintah membuat kebijakan-kebijakan berdasarkan kriteria ini. Misalnya, bantuan sosial diarahkan untuk kelompok ini. Sistem administrasi negara, akuntansi mengadopsi prinsip ini. Program yang berbasis statistic dinilai bisa dipertanggunjawabkan, tepat sasaran dan terukur. Di luar itu disebut penyimpangan dan tidak akuntabel.
Sedangkan emic itu dari luar, bottom up, lokal dan subjektif. Definisi miskin tidak bisa digeneralisasi dengan statistic, karena setiap kelompok budaya atau etnik (etnos) punya definisi sendiri tentang arti miskin. Pada kelompok budaya Priangan, pengertian miskin itu tak punya sawah, tak bisa menyekolahkan anak, dan ada juga tidak bisa hajatan. Di Pantura, miskin berarti tak punya modal dagang, tak bisa ikut muludan/sedekah laut. Di pesisir selatan, miskin itu tak punya perahu atau jala. Di komunitas adat, dia bisa juga berarti tak punya huma.
Pendekatan emic juga bisa berbasis gender. Kriteria miskin antara laki-laki dan perempuan bisa berbeda. Juga dengan demikian, persepsi miskin akan berbeda antara suami dan istri. Bagi laki-laki miskin berarti tak punya sawah, perahu, motor atau modal usaha. Bagi perempuan, tidak bisa beli lauk pauk dapur, tak bisa menyekolahkan anak, tak bisa ikut hajatan/arisan/pengajian. Kalau menerima zakat, lelaki cenderung untuk modal usaha atau jadi aset jangka panjang. Kalau perempuan, untuk keperluan keluarga yang mendesak seperi makan, pendikan kesehatan.
Menurut etic, perempuan yang menikah muda itu pasti karena miskin. Studi emic tidak selalu seiring. Seorang pengurus LAZ membenarkan, bahwa dia melihat di desanya justru ada keluarga kaya di kampung yang cenderung nikah mudah, untuk mengamankan aset. Saya juga pernah membuat laporan jurnalistik bahwa di daerah tertentu perempuan kawin muda dan cepat cerai, hanya untuk mendapatkan KTP. Waktu itu KTP diberikan kepada mereka yang berusaia 17 tahun, atau sudah menikah. Jadi kalau berusia di bawah 17 tapi sudah menikah, mereka akan dapat KTP. Dengan KTP itu dia bisa bikin paspor. Dia ingin jadi pekerja migran atau TKW, bukan karena miskin tapi terbius oleh cerita kawan baya sedesa yang sudah bepergian naik pesawat, makan enak di atas pesawat, melihat negeri lain, beli parfum dan lain-lain.
Di perbukitan Bandung Utara, ada yayasan sekolah yang terpanggil untuk memberikan pendidikan gratis buat anak-anak desa. Pendekatan eticnya mengatakan, anak itu miskin sehingga tak bisa sekolah. Maka Yayasan kaya itu pun membangun sekolah di pinggir hutan, bangunannya sangat bagus. Pengurusnya keliling kampung untuk mengajak anak-anak sekolah di situ. Ternyata, selama bertahun-tahun tak ada anak yang mau sekolah di situ. Ya..karena secara emic, mereka tidak merasa sekolah sebagai pintu masa depan, Cuma beban saja. Ada juga mereka yang sangsi. “Maenya sakola sakieu agreng gratis. Ngurus KTP wae mayar ka calo! (Masak sih sekolah segini mewah, gratis! Ngurus KTP saja bayar calo!). (Yayasan Odesa punya banyak kasus lapangan yang menggambarkan gap antara etic dan emic. Dan itu mindblowing sekali).
Emic memang membutuhkan riset partisipatori. Kita hidup bersama mereka sehingga paham budaya mereka. Kalau metoda wawancara on the spot, jawabannya akan bias. Apalagi kalau mereka menjawab di bawah sorotan kamera atau alat rekam. Atau jalan lain, kita bisa tanya tokoh masyarakat, atau tokoh adat setempat. Mereka tahu karakteristik warganya satu persatu.
Menurut saya, pengeloaan zakat seharusnya menggabungkan metoda etic dan emic. Berangkat dari statistic, klusterkan kelompok target. Selanjutnya berangkatlah ke lapangan, atau tanya tokoh masyarakat. Mereka tahu kriteria miskin di daerahnya. Kita juga akan tahu, zakat ini kita berikan kepada laki-laki atau perempuan.
Penyaluran zakat bisa kita nilai dari tiga hal: 1. Tepat sasaran 2. Terukur 3. Bermakna. Kriteria 1 dan 2 bisa dengan etic, tapi bermakna atau tidak (3), itu emic.
Budhiana Kartawijaya, bukan ahli zakat, Founder Yayasan Odesa.