Raya, Cermin Luka Anak Bangsa

Notification

×

Iklan

Iklan

Raya, Cermin Luka Anak Bangsa

Jumat, 29 Agustus 2025 | 10:07 WIB Last Updated 2025-08-29T07:06:32Z
Affiliasi

 



NUBANDUNG.ID -- Raya. Nama yang begitu indah, seindah harapan yang biasanya disematkan orang tua pada buah hatinya. Namun kini, nama itu menggema sebagai duka yang menyesakkan. Di sebuah sudut Sukabumi, tubuh mungil seorang anak berusia empat tahun telah menyerah, dikuasai cacing gelang yang bersarang dalam dirinya. Bukan hanya sebuah kematian, tetapi kisah yang menelanjangi kita semua: tentang rapuhnya kehidupan anak-anak di tengah kemiskinan, tentang perempuan yang berjuang dalam senyap, tentang lingkungan yang diam-diam menyimpan luka.


Tubuh Raya adalah kitab kecil yang mencatat apa yang terjadi di sekelilingnya. Dalam tubuhnya tersimpan jejak tanah yang kotor, air yang tercemar, udara yang pengap, serta makanan yang tak selalu bergizi. Betapa tubuh anak-anak sering kali menjadi saksi paling jujur dari ketidakadilan sosial. Ketika kita melihat cacing merayap keluar dari hidung mungilnya, sesungguhnya kita sedang melihat potret lingkungan kita sendiri yang sedang sakit. Raya tidak memilih dilahirkan dalam kondisi itu, ia hanya mewarisi keadaan yang sudah lebih dulu rusak.


Dan di balik kisah ini, ada sosok-sosok perempuan yang tak pernah disebutkan dengan cukup. Seorang ibu yang menahan tangis, seorang bibi yang membawa Raya dari klinik ke klinik, seorang nenek yang mungkin berdoa dalam diam. Mereka adalah wajah-wajah yang terus bergerak, meski tenaga habis, meski dompet tipis, meski jarak fasilitas kesehatan terasa tak berujung. Perempuan, dalam banyak keluarga miskin, adalah tiang yang menahan robohnya rumah tangga. Namun suara mereka jarang terdengar di ruang-ruang kebijakan, langkah mereka sering tertatih sendirian di jalan sunyi.





Tragedi ini sering kali memancing amarah. Ada yang menyalahkan orang tua, ada yang menunjuk pemerintah, ada pula yang meragukan tenaga medis. Namun menyalahkan hanya akan menambah perih. Bukankah yang lebih kita butuhkan adalah keberanian untuk melihat cermin yang dihadirkan Raya? Ia bukan sekadar balita yang meninggal, ia adalah tanda, peringatan, alarm yang mengguncang tidur panjang kita.


Kita harus berani mengakui bahwa anak-anak tidak hidup sendirian. Mereka adalah bagian dari kita. Jika satu anak sakit karena tanah dan air tercemar, sesungguhnya itu adalah penyakit sosial yang mengintai kita semua. Jika satu anak mati karena cacing, itu bukan hanya tragedi keluarga, melainkan tragedi bangsa.



Raya kini telah tenang. Tubuhnya yang lemah sudah tak lagi digerogoti cacing, tak lagi menanggung infeksi yang membuatnya terkulai. Namun kepergiannya meninggalkan jejak panjang. Ia meninggalkan kita dengan pertanyaan: masihkan kita tega membiarkan anak-anak lain tumbuh di tengah lingkungan yang kotor, di tengah gizi yang terbatas, di tengah akses kesehatan yang timpang? Masihkan kita tega membiarkan perempuan berjuang sendiri menjaga kehidupan yang rapuh di pelukan mereka?


Kematian Raya harus menjadi doa yang menggugah. Doa yang mengajarkan kita untuk lebih peduli pada kebersihan sekitar rumah, untuk saling menjaga, untuk tidak menutup mata terhadap tetangga yang kesulitan. Doa yang mengingatkan negara agar tidak melupakan anak-anak di desa, di kampung-kampung, di pelosok, yang sama-sama berhak hidup sehat dan bahagia.


Raya telah pergi, tetapi kisahnya tetap tinggal bersama kita. Ia adalah cermin yang memaksa kita melihat wajah bangsa ini: apakah kita sungguh menjaga anak-anak, atau justru membiarkan mereka tumbuh dalam risiko yang bisa dicegah? Semoga dari luka ini lahir kesadaran baru, bahwa menjaga seorang anak sejatinya adalah menjaga masa depan umat manusia.


Raya, tidur nyenyaklah di surga kecilmu. Namamu kini bukan hanya milik keluargamu, tetapi juga milik kami semua, yang belajar mencintai kehidupan melalui kepergianmu.


Neng Hannah, Pegiat Isu Perempuan, Gender dan Dosen UIN Sunan Gunung Djati Bandung.