NUBANDUNG.ID -- Tujuan program Makan Bergizi Gratis (MBG) memang dikemas dalam narasi mulia tentang investasi SDM (sumber daya manusia) dan Generasi Emas 2045. Namun, di balik retorika yang memukau, tersembunyi realitas yang mengkhawatirkan. Program ini cenderung jadi pemborosan anggaran negara yang justru mengalihkan perhatian dari solusi-solusi fundamental yang lebih efektif.
Mengapa?
1. Biaya Fantastis yang Membebani Masa Depan Bangsa
Pemerintah menggelontorkan anggaran dengan prediksi hingga sebesar Rp 335 triliun pada tahun 2026. Dana sebesar ini diambil dari anggaran pendidikan, yang seharusnya dapat dialokasikan untuk membangun dan merehabilitasi puluhan ribu sekolah, melatih jutaan guru, atau menyediakan beasiswa untuk siswa tidak mampu. Namun dana raksasa ini dipertaruhkan pada satu program yang rentan terhadap inefisiensi dan korupsi.
Klaim bahwa ini adalah "investasi" bisa jadi hanya sebuah ilusi. Dengan biaya per porsi yang dipangkas menjadi Rp 10.000, mustahil untuk menyediakan makanan bergizi tinggi yang dimaksud.
Realitanya, uang sebanyak itu akan tenggelam dalam biaya operasional, logistik, dan birokrasi yang berlapis, sehingga nilai yang sampai ke anak-anak mungkin tidak lebih dari sepiring nasi dengan lauk seadanya. Ini adalah skema fiskal yang tidak berkelanjutan dan justru mengancam stabilitas anggaran pendidikan itu sendiri.
2. Krisis Keracunan: Bukti Nyata Kegagalan Tata Kelola
Tidak ada argumen yang lebih kuat menentang program ini selain dari ribuan kasus keracunan massal yang telah terjadi. Lebih dari 4.000 anak menjadi korban dalam kurun waktu hanya delapan bulan. Ini bukanlah "insiden" atau "kecelakaan" yang bisa dimaklumi; ini adalah kegagalan sistemik yang menunjukkan ketidaksiapan mutlak pemerintah dalam menangani program sekompleks ini.
Adanya bakteri E. coli dan Salmonella dalam makanan anak sekolah menunjukkan rantai pasok yang kotor, proses masak yang tidak higienis, dan pengawasan yang nyaris tidak ada.
Bagaimana mungkin kita mempercayakan nyawa dan kesehatan ratusan ribu anak kepada sebuah sistem yang telah terbukti gagal menjamin standar keamanan paling dasar?
Program yang seharusnya memerangi stunting justru menjadi ancaman kesehatan langsung setiap harinya.
3. Solusi Semu yang Mengabaikan Akar Masalah
Program MBG hanyalah plester besar pada luka yang dalam. Masalah gizi buruk dan stunting di Indonesia adalah masalah multidimensi yang berakar pada kemiskinan, edukasi orang tua, akses air bersih, dan sanitasi.
(contoh: kasus anak di sukabumi dan bengkulu yg menderita cacingan hingga mengakibatkan kematian - Catatan : Kasus Filariasis limfatik hampir selalu bisa ditemukan di seluruh provinsi Indonesia dengan rentang prevalensi antara 0,5 hingga 27,6%. 236 kota dalam 514 distrik di Indonesia masih tercatat menjadi daerah endemis filariasis.)
Memberikan makan gratis di sekolah tidak akan menyelesaikan masalah gizi anak di luar sekolah, atau mengedukasi orang tua tentang pola makan sehat (Literasi Nutrisi).
Dana Rp 335 triliun akan jauh lebih bermanfaat jika dialokasikan untuk:
1. Program pemberdayaan ekonomi keluarga untuk meningkatkan daya beli.
2. Pembangunan infrastruktur air bersih dan sanitasi (air minum dan jamban sehat) di daerah-daerah rawan stunting.
3. Penguatan posyandu dan program edukasi gizi intensif untuk ibu hamil dan balita.
4. Revolusi sistem kesehatan primer untuk deteksi dan intervensi dini masalah gizi.
Solusi-solusi ini memang tidak se-"seksi" program bagi-bagi makanan, tetapi mereka menyentuh akar permasalahan dan memberikan dampak yang berkelanjutan.
Program MBG adalah contoh klasik kebijakan populisme yang dirancang tergesa-gesa, tanpa perhitungan matang, dan mengabaikan kapasitas riil negara. Program ini terlalu mahal untuk dijalankan, terlalu berisiko untuk diteruskan, dan terlalu semu untuk menyelesaikan masalah.
Daripada memaksakan program ambisius yang berujung pada pemborosan uang rakyat dan membahayakan anak-anak, pemerintah seharusnya memiliki kerendahan hati untuk mengakui ketidaksiapan ini. Prioritas harus diberikan pada perbaikan sistemik, pemberdayaan keluarga, dan program-program yang terbukti efektif. Kesehatan generasi penerus bangsa bukanlah tempat untuk melakukan eksperimen kebijakan yang mahal dan rentan bahaya.
Ida Farida Ch, Guru Besar Fakultas Tarbiyah dan Keguruan (FTK) UIN Sunan Gunung Djati Bandung