NUBANDUNG.ID -- Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M) UIN Sunan Gunung Djati menggelar Kuliah Umum Internasional bertajuk “Perempuan dalam Pembangunan Perdamaian: Dinamika Gender dalam Gerakan Nir-Kekerasan di Indonesia”, yang berlangsung di Aula Fakultas Adab dan Humaniora (FAH), Selasa (11/11/2025).
Dengan menghadirkan pembicara utama Maria (Masha) Kardashevskaya, Ph.D, pakar Peace and Conflict Studies dari University of Manitoba, Kanada, yang saat ini menjadi visiting lecturer di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.
Kuliah umum dibuka oleh Wakil Rektor I, Prof. Dr. H. Dadan Rusmana, M.Ag., yang menyampaikan apresiasi atas kehadiran narasumber internasional tersebut. Dalam sambutannya, Prof. Dadan mengucapkan selamat datang kepada Miss Masha serta memperkenalkan sosok Sunan Gunung Djati, tokoh besar penyebar Islam di Jawa Barat yang menjadi inspirasi bagi nama universitas.
Untuk informasi, Sunan Gunung Djati, yang dikenal sebagai Maulana Syarif Hidayatullah, adalah seorang ulama dan wali yang sangat dihormati yang memainkan peran penting dalam menyebarkan Islam di Jawa Barat, Indonesia. “Sunan Gunung Djati dianggap sebagai salah satu dari sembilan wali (Wali Songo) yang berkontribusi pada penyebaran Islam di Jawa,” tegasnya.
Sunan Gunung Djati dikenal karena kebijaksanaan, kesalehan, dan kepemimpinannya, dan warisannya terus dirayakan dan dihormati di Indonesia. Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung, tempat kami berkumpul hari ini, dinamai menurut namanya sebagai pengakuan atas kontribusinya pada keilmuan dan pendidikan Islam.
Bandung, ibukota Jawa Barat, dikenal karena warisan kolonial Belanda yang kaya, belum lagi keindahan alamnya yang luar biasa dan keramahan penduduknya yang ramah.
Kepada yang terhormat Ketua LP2M, Associate Professor Setia Gumilar, kami ingin mengucapkan terima kasih atas dukungan dan kepemimpinannya dalam memfasilitasi acara ini. Kepada Sekretaris LP2M Sarbini dan kepala pusat, khususnya Associate Professor Irma Riyani, Kepala PSGA, kami menghargai kerja keras dan dedikasinya.
Kehormatan besar bagi kami untuk berkumpul hari ini, bersatu dalam komitmen bersama untuk memahami dan memajukan peran perspektif gender dalam upaya mencapai perdamaian yang berkelanjutan. “Keanekaragaman budaya Indonesia yang kaya dan kompleksitas sosial menghadirkan tantangan dan peluang dalam upaya pembangunan perdamaian,” jelasnya.
Mengenali pengalaman dan kontribusi unik perempuan, laki-laki, dan minoritas gender sangat penting untuk menciptakan solusi yang inklusif dan langgeng. “Hari ini, kita akan mengeksplorasi bagaimana gender membentuk proses konflik, resolusi, dan rekonsiliasi di seluruh bangsa kita dan di luar. Kuliah umum ini bukan hanya merupakan upaya akademis tetapi juga platform penting untuk dialog, refleksi, dan kolaborasi,” tuturnya.
Tujuannya untuk memperdalam wawasan dan menginspirasi tindakan konkret yang dapat berkontribusi pada pembangunan masyarakat yang lebih damai dan adil. “Kami berharap diskusi dan wawasan yang dibagikan hari ini akan memberikan rekomendasi berharga bagi pembuat kebijakan, praktisi, dan komunitas untuk mempromosikan kesetaraan gender dan pembangunan perdamaian di Indonesia,” bebernya.
Ketika berkumpul hari ini, kita diingatkan tentang pentingnya mempromosikan perdamaian, keadilan, dan kesetaraan dalam masyarakat kita. Kontribusi perempuan terhadap perdamaian dan stabilitas seringkali diabaikan, dan merupakan tanggung jawab kami untuk mengenali dan memperkuat suara mereka.
Melalui kuliah umum internasional ini, kami bertujuan untuk menyediakan platform bagi pembicara utama kami untuk berbagi pengetahuan dan keahlian tentang persimpangan antara gender, perdamaian, dan non-kekerasan.
Dengan ini, merupakan kehormatan besar bagi saya untuk secara resmi membuka kuliah umum internasional tentang dinamika gender dalam pembangunan perdamaian di Indonesia. “Semoga diskusi kita hari ini dapat memberikan kontribusi yang berarti untuk membangun masa depan yang lebih adil dan damai bagi semua,” tuturnya.
Mari kita bekerja sama untuk mempromosikan perdamaian, keadilan, dan kesetaraan bagi semua, dan untuk mengenali peran penting yang dimainkan oleh perempuan dalam membangun dunia yang lebih damai dan sejahtera.
“Atas nama Rektor Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati, sekali lagi saya mengucapkan selamat datang kepada pembicara utama kami, Miss Masha Kardasevskaya dari University of Manitoba, Kanada. Selamat datang di universitas kami yang tercinta. Semoga diskusi kita hari ini dapat memberikan kontribusi yang berarti untuk membangun masa depan yang lebih adil dan damai bagi semua. Terima kasih, dan saya berharap anda semua memiliki pengalaman yang produktif dan memperkaya.”
Sekertaris LP2M Dr. Sarbini mengapresiasi kegiatan PSGA ini yang sampai saat ini sudah tiga kali dilakukan dengan narasumber dari berbagai negara. Walaupun sangat mendadak tetapi dapat dilaksanakan dengan lancar berkat kekompakan tim LP2M yang sudah menyiapkan kegiatan ini. “Tema ini penting terutama bagi mereka yang tertarik dalam isu gender dan hak atas tanah bagi komunitas adat,” paparnya.
Kepala PSGA, Irma Riyani, Ph.D, sekaligus moderator menyampaikan bahwa kegiatan ini merupakan bagian dari agenda tahunan international public lecture yang digagas oleh LP2M melalui PSGA. Pihak kampus sangat mengapresiasi kesediaan Dr. Masha untuk hadir di UIN Bandung dan menyampaikan keahliannya dalam kajian peace dan conflict, terutama bagaimana budaya mampu menyelesaikan konflik yang ada. Hal ini tentu saja relevan dengan konteks bumi pertiwi. “Keanekaragaman budaya Indonesia yang kaya dan kompleksitas sosial menghadirkan tantangan dan peluang dalam upaya pembangunan perdamaian,” jelasnya.
Dosen Fakultas Ushuluddin ini menegaskan bahwa PSGA terus berkomitmen memperkuat pengarusutamaan gender, penghapusan kekerasan seksual, dan advokasi terhadap kelompok rentan, termasuk penyandang disabilitas. “Kehadiran narasumber internasional ini membuka wawasan baru bagi sivitas akademika UIN Bandung tentang pentingnya peran perempuan dalam membangun perdamaian berbasis kearifan lokal,” ujarnya.
Dalam paparannya, Maria menekankan bahwa konflik sosial tidak semata disebabkan oleh perbedaan kepentingan terhadap kekuasaan atau sumber daya, tetapi juga oleh faktor kultural yakni persepsi masyarakat tentang apa yang dianggap benar, adil, dan layak.
Dengan memperkenalkan konsep “Positive Peace” (Perdamaian Positif), yaitu perdamaian yang tidak hanya berarti ketiadaan kekerasan, tetapi juga hadirnya kesejahteraan sosial, keadilan, kesetaraan, dan harmoni. “Perdamaian sejati adalah transformasi terhadap kekerasan struktural dan kultural yang berlangsung dalam masyarakat,” paparnya.
Perempuan Batak Toba dan Resistensi Nir-Kekerasan
Salah satu fokus kuliah Maria adalah penelitian lapangannya di komunitas Batak Toba, Sumatera Utara, yang menyoroti strategi resistensi perempuan terhadap ketidakadilan struktural dan adat yang patriarkal.
Dalam penelitiannya, Maria menemukan bahwa perempuan berperan sebagai direct resisters (pelaku resistensi langsung), sementara laki-laki lebih sering menjadi framers (pembingkai wacana atau narasi). Meskipun demikian, peran kepemimpinan perempuan sering kali terhapus dari sejarah perjuangan sosial.
Perempuan Batak Toba digerakkan oleh ethics of care – etika kepedulian terhadap anak, keluarga, dan kelangsungan hidup (livelihood) – sementara laki-laki cenderung berorientasi pada ethics of justice, yaitu pembelaan atas hak-hak tanah dan marga.
Strategi resistensi perempuan pun bersifat kreatif dan praktis, misalnya melalui aktivisme pertanian (farming as resistance) dengan menanam nanas di lahan sengketa, serta penggunaan tubuh dan emosi sebagai alat protes, termasuk aksi simbolik disrobing (melepas pakaian) di depan aparat sebagai bentuk shaming (mempermalukan), self-protection, dan ekspresi komitmen moral yang kuat terhadap perjuangan.
Maria menyoroti bahwa meskipun nilai-nilai adat seperti marga, dalihan na tolu, dan bona pasogit penting bagi kohesi sosial, struktur patriarki dalam masyarakat Batak Toba menyebabkan perempuan terutama janda dan yang bercerai mengalami ketidakamanan sosial dan ekonomi.
“Relasi kuasa berbasis gender dalam sistem adat perlu ditransformasikan agar budaya menjadi lebih ramah terhadap pihak rentan. Perubahan sosial memang memerlukan waktu panjang, namun kesadaran gender dalam adat dan agama adalah langkah awal menuju masa depan yang lebih adil,” ujarnya.
Perdamaian dan Pemberdayaan
Maria menegaskan bahwa setiap gerakan akar rumput dan pembangunan perdamaian harus memastikan ruang bagi pemberdayaan perempuan dan diskusi keadilan gender. “Kita tidak bisa bicara perdamaian tanpa keadilan gender. Kesadaran terhadap relasi sosial yang setara adalah fondasi bagi perdamaian yang berkelanjutan,” pungkasnya.
Sebagai penutup reflektif, Ketua PSGA menambahkan bahwa peran perempuan dalam perdamaian ibarat air yang mengikis batu, lembut namun konsisten, tidak keras namun mampu mengubah struktur paling kaku melalui kepedulian, ketekunan, dan kreativitasnya.
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) merupakan unit di bawah LP2M UIN Sunan Gunung Djati Bandung yang berfokus pada penelitian, advokasi, dan penguatan kebijakan berbasis kesetaraan gender. PSGA menaungi Pusat Pelayanan Kekerasan Seksual (P2KS) dan aktif mengembangkan program pemberdayaan perempuan, anak, serta penyandang disabilitas.

