
NUBANDUNG.ID -- Tahun ini, ada sepuluh kota/kabupaten yang berhasil dinobatkan Paling Berkelanjutan. Kesepuluh kota/kabupaten itu adalah Kota Surabaya, Kota Madiun, Kota Semarang, Kota Medan, Kota Kediri, Kota Salatiga, Kota Banjarbaru, Kabupaten Trenggalek, Kabupaten Wonogiri, dan Kota Magelang.
Sekurangnya ada enam kriteria yang dijadikan dasar untuk penilaian, yaitu penataan ruang dan infrastruktur, energi dan perubahan Iklim, tata kelola sampah dan limbah, tata kelola air, akses dan mobilitas, serta tata pamong (governance).
Sayangnya, dari daftar 10 Kota/Kabupaten Paling Berkelanjutan itu, tak ada satu pun perwakilan dari Bandung Raya -- Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung, maupun Kabupaten Bandung Barat. Di UI GreenCityMetric Award 2025 itu, Kota Bandung sendiri hanya berhasil menyabet peringkat kedua sebagai Kabupaten/Kota Paling Berkelanjutan di bidang tata kelola akses dan mobilitas.
Tak masuknya Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bandung Barat dalam daftar Kota/Kabupaten Paling Berkelanjutan tentu saja bukan sekadar catatan kecil di tabel pemeringkatan. Bisa jadi ini adalah salah satu tanda bahwa ada sesuatu yang tidak beres dalam pengelolaan ruang dan sumber daya di Bandung Raya.
Indeks keberlanjutan seperti UI Green City Metric sejatinya bukan hanya lomba pemeringkatan, tetapi cermin dari konsistensi kebijakan lingkungan.
Absennya Bandung Raya dari daftar Kota Paling Berkelanjutan berdasar UI Green City Metric tahun ini agaknya menandakan adanya kesenjangan antara visi dan implementasi kebijakan di Bandung Raya. Kondisi ini seharusnya menjadi titik balik untuk mereformulasi strategi pembangunan yang lebih ekologis, integratif, dan berpihak pada keseimbangan lingkungan, sehingga mengembalikan Bandung Raya ke jalur kawasan hijau yang sesungguhnya. (Ayo Bandung, Minggu 19 Okt 2025, 11:00 WIB)
UI GreenMetric adalah inisiatif unggulan dari Universitas Indonesia yang telah diakui secara global sebagai alat ukur keberlanjutan kampus di seluruh dunia. Untuk memperluas dampaknya, UI GreenMetric meluncurkan UI GreenCityMetric, sebuah pemeringkatan yang dirancang khusus untuk mengukur keberlanjutan di tingkat kabupaten/kota di Indonesia.
Diluncurkan pada tahun 2022, UI GreenCityMetric melibatkan 29 kota/kabupaten pada tahun pertama pelaksanaannya. Pemeringkatan ini terdiri dari enam kategori penilaian, yaitu Penataan Ruang dan Infrastruktur, Energi dan Perubahan Iklim, Tata Kelola Sampah dan Limbah, Tata Kelola Air, Akses dan Mobilitas, serta Tata Pamong/Governance. Tujuan utama dari pemeringkatan ini adalah untuk mendorong kabupaten/kota di Indonesia agar mengimplementasikan kebijakan yang lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Pada tahun 2023, jumlah partisipan meningkat menjadi 58 kota/kabupaten, pada tahun 2024, jumlah tersebut semakin berkembang dengan 64 kota/kabupaten dari 23 provinsi yang turut serta, dan pada tahun 2025, jumlah tersebut semakin berkembang dengan 71 kota/kabupaten dari 23 provinsi yang turut serta. Peningkatan ini menunjukkan bahwa semakin banyak daerah yang berkomitmen terhadap upaya keberlanjutan dan pembangunan ramah lingkungan.
Sebagai pemeringkatan yang kredibel dan berbasis data, UI GreenCityMetric diharapkan dapat menjadi acuan penting bagi pemerintah daerah dalam merancang kebijakan dan program yang mendukung terciptanya lingkungan yang lebih hijau, bersih, dan berkelanjutan di seluruh Indonesia. (SUMBER: https://greenmetric.ui.ac.id/city/ranking/ranking-keseluruhan-2025)
Kota Bandung dalam Angka 2025 dijelaskan untuk jumlah agama di Kota Bandung Islam 2.394.265, Protestan 130.577, Katolik 54.168, Hindu 1.580, Budha 10.845 dan lain-lain 328
Buku Bandung Dalam Angka Tahun 2025 yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Bandung, di Kota Bandung terdapat 900 taman kota dengan total luas 2.551.323,28 meter persegi.
Taman-raman tersebut tersebar di 30 kecamatan di Kota Bandung. Kecamatan Bandung Wetan tercatat menjadi kecamatan dengan jumlah taman terbanyak, sebanyak 61 taman dengan luas 321.212,33 meter persegi. yang disusul kecamatan Antapani dengan 53 taman seluas 33.659,78 meter persegi.
Setiap sore, anak-anak di kawasan Cicadas terpaksa bermain bola di lahan jalan tempat lalu lalang kendaraan. Diakui, hal ini imbas dari banyaknya pembangunan hunian yang tak terkontrol dan masif dilakukan.
“Dulu masih ada lapangan kecil di ujung gang, sekarang sudah jadi ruko, Bandung makin sempit. Kalau panas, napas terasa sesak.” kata Rohimat, Warga di gang Asep Berlian, Minggu (19/10).
Kisah Rohimat hanyalah satu dari ribuan potret keseharian warga Bandung yang kehilangan ruang hijau. Kota yang dulu dijuluki kota kembang itu kini justru bergulat dengan krisis ruang terbuka hijau (RTH).
Berdasarkan data Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman (DPKP) Kota Bandung, luas RTH tahun 2025 hanya sekitar 12,8 persen dari total wilayah kota, sekitar 2.050 hektare dari 16.729 hektare.
Padahal, Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 menegaskan bahwa proporsi ideal RTH adalah 30 persen, dengan pembagian 20 persen RTH publik dan 10 persen RTH privat. Artinya, Bandung baru memenuhi kurang dari setengah target nasional.
Minimnya RTH berdampak langsung pada kenyamanan dan kesehatan warga. Data BMKG Stasiun Geofisika Bandung menunjukkan, suhu rata-rata kota meningkat dari 24,7 derajat celcius pada 2015 menjadi 26,3 derajat celcius pada 2024. Daerah padat seperti Kiaracondong dan Cicadas bahkan mencatat suhu harian yang menembus 33 derajat celcius.
Menurut pakar tata ruang dari UPI, Yudi Asep, hilangnya ruang hijau memperburuk fenomena urban heat island, efek pulau panas perkotaan yang meningkatkan suhu lokal secara signifikan.
“RTH bukan hanya soal estetika. Ia berfungsi menyerap air, menurunkan suhu, dan menyehatkan udara. Kekurangannya membuat kota makin tidak ramah bagi manusia,” jelasnya.
Selain suhu, berkurangnya lahan resapan air turut memperparah banjir musiman. Data Dinas Sumber Daya Air dan Bina Marga menunjukkan, 19 titik rawan banjir kini aktif setiap musim hujan, sebagian besar berada di wilayah yang kehilangan fungsi ruang hijau.
Urbanisasi cepat menjadi penyebab utama. Permintaan perumahan, apartemen, dan area komersial menekan lahan kosong yang tersisa di Kota Bandung.
“Banyak lahan berubah jadi bangunan, bahkan taman kecil di perumahan kadang dijadikan tempat usaha. Kami paham kota harus maju, tapi jangan sampai warga kehilangan ruang hidup.” kata Evi (36) warga Gedebage. (Sumber Jabar Ekspres Minggu, 19 Okt 2025 - 16:35)
Kota Hijau
Mari kita meneladani Rasulullah yang telah membuat dan menentukan kawasan untuk melestarikan sumber daya air yang disebut kawasan harim, yaitu daerah inti yang sama sekali tertutup untuk dibangun (dijadikan) daerah dubidaya tanama apa pun. Kita dapatkan pendekatan seperti itu dalam zonasi inti kawasan Tanam Nasional yang baru diundangkan pada abad ke-20 ini. Rasulullah membuatnya 14 abad yang lalu. Padahal ketika itu, lingkungan masih sangat jauh untuk dikatakan rusak. Namun, konsep konservasi alam dan lingkunga telah dikemukakan oleh Rasululah.
Hadirnya kawasan pelestarian alam, suaka alam, perlindungan plasma nutfah dan lainya yang dikenal pada abad ini perlu didukung, agar lingkungan ini tidak rusak dan terus bertambah rusak.
Alam dan lingkungan ini harus dapat diwariskan kepada anak cucu kita dalam kondisi yang tetap terjaga dengan baik.
Dengan demikian, semangat untuk menghidupkan kembali ajaran Rasulullah dalam membangun dan memelihara lingkungan terlihat pula dalam pencanangan "Khaer City". Konferensi Islam Internasional pertama bertajuk "Aksi Umat Islam untuk Perubahan Iklim" pada 7-8 Juli 2007 di Istanbul, Turki merumuskan sebuah rancangan kota Islam.
Para ulama, ilmuwan dan pegiat lingkungan muslim menyepakati bahwa kota Islam harus memiliki kriteria: Pertama, lahan terbuka hijau sedikitnya 35 persen dari luar wilayah. Kedua, kawasan harim yang sekaligus merupakan perlindungan terhadap sumber daya air. Ketiga, memberlakukan pembatasan emisi zat asam arang dari kenderaan dan insdustri. Keempat, mengutamakan makanan berkarbon rendah. Kelima, memiliki teknologi dan sistem daur ulang sampah.
Hasilnya, para pegiat lingkungan muslim melihat bahwa kota Madina di Saudi Arabia dan kota Sala di Maroko telah memenuhi kriteria ini. Mereka lantas menetapkan kedua kota itu sebagai kota muslim hijau masa kini. (Kafil Yamin, 2013: xv-xvi, 35-36 dan 159-160)
2.1.5 Kota Hijau Menciptakan Keindahan, Kesehatan, dan Kenyamanan
Pembangunan kota hijau merupakan bagian dari unsur-unsur estetika dan kenyamanan. Kota hijau di kawasan perkotaan dapat membantu masyarakat di perkotaan sebagai sarana rekreasi, sebagai tempat berinteraksi antarpenduduk dan untuk kelangsungan kehidupan perkotaan yang dapat menjadi nilai kebanggaan dan identitas kota tersebut. Pembangunan kota hijau di perkotaan mempunyai manfaat kehidupan yang tinggi bagi masyarakat yang tinggal di perkotaan. Manfaat tersebut di antaranya dapat menciptakan keindahan, kesehatan, dan kenyamanan, yang dapat membentuk jejaring fungsi antara lain ekologis, kondisi dan keinginan warga kota, serta arah dan tujuan pembangunan dan perkembangan kota yang merupakan determinan utama dalam menentukan ruang terbuka hijau secara fungsional. Pengendalian pembangunan wilayah perkotaan harus dilakukan secara proporsional dan berada dalam keseimbangan antara pembangunan dan fungsi-fungsi lingkungan secara terpadu, antara lain:
a) Pembangunan kota hijau merupakan tindakan untuk melestarikan wilayah perkotaan melalui penanaman dan pemilihan vegetasi yang harus disertai dengan ketersediaan dan seleksi tanaman yang sesuai dengan arah rencana dan rancangannya.
b) Kuantitas dan kualitas ruang terbuka publik terutama ruang terbuka hijau saat ini mengalami penurunan yang sangat signifikan dan mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan hidup perkotaan yang berdampak ke berbagai sendi kehidupan perkotaan, antara lain sering terjadinya banjir, peningkatan pencemaran udara, dan menurunnya produktivitas masyarakat akibat terbatasnya ruang yang tersedia untuk interaksi sosial. akibat terbatasnya ruang yang tersedia untuk interaksi sosial.
c) Pembangunan kota hijau dapat meningkatkan pemahaman tentang bagaimana membangun kawasan melalui aspek tata ruang luar (lanskap), sistem utilitas kawasan, sistem tata lingkungan, dan sistem penataan yang dapat diintegrasikan dengan arsitektur kawasan berupa pola tapak dan bangunan yang berada dalam kawasan kota hijau.
d) Pembangunan kota hijau dapat meningkatkan kenyamanan, kesehatan, dan keindahan kawasan bagi penghuninya yang dapat memanfaatkan jalur pedestrian, jalan, vegetasi, ruang publik, ruang terbuka hijau, dan lain sebagainya.
2.2 PERMASALAHAN LINGKUNGAN HIDUP
Permasalahan di perkotaan, baik di Indonesia maupun di dunia, saat ini telah menjadi masalah yang cukup pelik dan memerlukan lintas keilmuan untuk diatasi. Saat ini, kawasan perkotaan (kota-kota besar di Indonesia) dalam perkembangannya membawa pada konsekuensi negatif pada beberapa aspek berupa permasalahan sosial, ekonomi, budaya, dan permasalahan lingkungan hidup. Salah satu permasalahan yang menjadi fokus dalam buku ini adalah permasalahan konversi lahan. Proses permasalahan tersebut ada yang cepat teratasi dan belum bisa teratasi karena berbagai faktor. Pada awal perkembangannya, kawasan perkotaan merupakan perdesaan yang sebelumnya berupa lahan ruang terbuka hijau. Perkembangan selanjutnya adalah akibat adanya kebutuhan lokasi peruntukan aktivitas dari populasi penduduk ruang hijau tersebut cenderung mengalami konversi lahan menjadi lokasi terbangun. Sebagian besar permukaannya, terutama di pusat kota, tertutup oleh jalan,
(Chafid Fandeli dan Muhamad, 2021:64-65)
Absennya wilayah Bandung Raya yang meliputi Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Bandung Barat, dari daftar Kota Paling Berkelanjutan berdasarkan UI GreenCityMetric 2025 menjadi sinyal penting adanya kesenjangan antara visi dan implementasi kebijakan pembangunan di kawasan ini.
Kondisi ini seharusnya menjadi titik balik untuk mereformulasi strategi pembangunan yang lebih ekologis, integratif, serta berpihak pada keseimbangan lingkungan. Dengan langkah yang tepat, Bandung Raya dapat kembali ke jalur kawasan hijau yang sesungguhnya. (Ayo Bandung, Minggu 19 Oktober 2025, 11.00 WIB)
UI GreenMetric merupakan inisiatif unggulan Universitas Indonesia yang telah diakui secara global sebagai alat ukur keberlanjutan kampus di seluruh dunia. Untuk memperluas dampaknya, UI GreenMetric, ajang pemeringkatan yang dirancang khusus untuk mengukur keberlanjutan di tingkat kabupaten dan kota di Indonesia.
Diluncurkan pada tahun 2022, UI GreenCityMetric melibatkan 29 kabupaten/kota pada tahun pertama pelaksanaannya. Pemeringkatan ini menilai enam kategori utama mulai dari Penataan Ruang dan Infrastruktur, Energi dan Perubahan Iklim, Tata Kelola Sampah dan Limbah, Tata Kelola Air, Akses dan Mobilitas, serta Tata Pamong (Governance). Tujuan utamanya untuk mendorong pemerintah daerah agar mengimplementasikan kebijakan pembangunan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Partisipasi daerah terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2023 tercatat 58 kabupaten/kota yang berpartisipasi, bertambah menjadi 64 kabupaten/kota dari 23 provinsi pada 2024. Tahun ini, jumlahnya kembali meningkat menjadi 71 kabupaten/kota dari 23 provinsi. Peningkatan ini menunjukkan semakin luasnya komitmen daerah terhadap upaya keberlanjutan dan pembangunan ramah lingkungan.
Sebagai pemeringkatan yang kredibel dan berbasis data, UI GreenCityMetric diharapkan menjadi acuan penting bagi pemerintah daerah dalam merancang kebijakan dan program yang mendukung terciptanya lingkungan yang lebih hijau, bersih, dan berkelanjutan di seluruh Indonesia.
(www.greenmetric.ui.ac.id/city/ranking/ranking-keseluruhan-2025)
