NUBANDUNG.ID -- Tahun 2025 Kementerian Agama melakukan “kick off” penetapan sepuluh “Kota Wakaf”, yaitu Kabupaten Cianjur, Kabupaten Cirebon, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Kendal, Kota Semarang, Kabupaten Kulon Progo, Kabupaten Maros Sulawesi Selatan, Kota Surabaya, Kota Mataram NTB, dan Kota Ambon Provinsi Maluku. Pada tahun sebelumnya (2024) ada enam kabupaten/kota yang ditetapkan sebagai “Kota Wakaf”, yaitu Kabupaten Aceh Tengah, Kabupaten Siak Provinsi Riau, Kota Padang Sumatera Barat, Kabupaten Gunungkidul Yogyakarta, Kabupaten Wajo Sulawesi Selatan, dan Kota Tasikmalaya Jawa Barat.
Penetapan kabupaten/kota sebagai “Kota Wakaf” harus memenuhi beberapa kriteria dan harus melewati beberapa tahapan seleksi, mulai dari pengajuan, seleksi administratif, wawancara, verifikasi lapangan, hingga penetapan. Setidaknya ada tiga kriteria dasar sebuah kabupaten/kota dapat diusulkan dan ditetapkan sebagai “Kota Wakaf”, yaitu: kriteria aspek manajemen, subjek, dan objek wakaf.
Dari aspek manajemen, kabupaten/kota yang dapat diusulkan sebagai “Kota Wakaf” antara lain: mendapatkan dari Pemerintah Daerah, baik dukungan dalam bentuk kebijakan, regulasi, maupun anggaran, adanya kelembagaan Badan Wakaf Indonesia (BWI) perwakilan kabupaten/kota yang aktif dan memiliki kantor sekretariat, adanya Bank Syariah yang menjadi LKS-PWU (Lembaga Keuangan Syariah Penerima Wakaf Uang), dan sudah ada program literasi wakaf dan inisiatif gerakan wakaf uang atau wakaf melalui uang.
Kriteria dari aspek subjek antara lain berkaitan dengan kepengurusan BWI perwakilan kabupaten/kota dan nazhir yang sudah bersertifikat SKKNI wakaf, dan memiliki pegawai tetap wakaf/pelaksana harian, adanya nazhir wakaf uang yang memiliki legalitas dan terdaftar di BWI. Dari aspek objek wakaf antara lain aset wakaf di kabupaten/kota tersebut harus sudah memiliki dokumen AIW/APAIW dan/atau bersertifikat wakaf paling sedikit 25% dari keseluruhan aset wakaf, adanya aktivitas pemberdayaan tanah wakaf minimal lima lokasi, dan memiliki aset wakaf yang berpotensi dikembangkan untuk mendukung konservasi lingkungan dan ekonomi hijau (hutan wakaf).
**
Kota Wakaf adalah program penguatan ekosistem wakaf berbasis kewilayahan yang dilaksanakan di wilayah setingkat kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Program Kota Wakaf bertujuan untuk memperkuat ekonomi umat dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui upaya penguatan ekosistem wakaf dan pengelolaan wakaf yang lebih modern, produktif, dan optimal. Program “Kota Wakaf” dilaksanakan secara kolaboratif melibatkan Badan Wakaf Indonesia (BWI), pemerintah daerah, pelaku usaha, masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya.
Kunci kesuksesan program Kota Wakaf adalah bergeraknya “ekosistem” wakaf. Ekosistem wakaf adalah seluruh komponen yang saling terkait untuk menjadikan wakaf berfungsi optimal dan berdampak, mulai dari wakif (pewakaf) yang loyal; nazir (pengelola) yang amanah, profesional, dan militan; harta wakaf yang berkembang dan bermanfaat; fungsi dan peruntukan wakaf yang seiring sejalan dengan perencanaan pembangunan dan perencanaan ruang daerah; regulasi dan kebijakan yang kondusif dan responsif, serta pemanfaatan teknologi yang memudahkan publik berwakaf dan mendukung transparansi pengelolaan wakaf.
Gambaran imajiner ideal Kota Wakaf adalah kota dimana para penghuninya sejak dilahirkan sampai meninggal dunia, senantiasa bersinggungan dengan wakaf. Lahir di klinik bersalin atau rumah sakit wakaf, belajar di sekolah, pesantren, dan kampus yang didukung wakaf, kemudian bekerja pada perusahaan dan aktivitas ekonomi yang digerakkan oleh wakaf, dan ketika wafat, dikebumikan di pemakaman wakaf.
Bayangkan sebuah kota di mana wakaf menjadi motor penggerak ekonomi. Wakaf produktif menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat dan mengurangi kemiskinan, dana wakaf menjadi modal bagi usaha mikro kecil dan mendukung sektor riil yang lebih adil dan berkelanjutan. Rumah sakit berbasis wakaf memberikan layanan kesehatan bagi mereka yang kurang mampu. Sekolah, pesantren, kampus yang didukung wakaf membuka akses pendidikan seluas-luasnya bagi anak-anak kalangan dhu’afa yang hebat. Dan, hutan wakaf di kota tersebut menjadi ruang terbuka hijau yang menyuplai air bersih, oksigen dan melindungi kota dari ancaman kekeringan di musim kemarau, serta ancaman banjir dan longsor di musim hujan.
Di Kota Wakaf, wakaf bukan hanya soal ibadah, tetapi cara hidup dan strategi pembangunan sosial dan ekonomi yang berkelanjutan. Bukan hanya untuk satu generasi, tapi untuk banyak generasi berikutnya. Tentu, itu mimpi panjang, tapi setiap langkah kecil berarti, setiap wakaf yang dikelola dengan baik adalah investasi sosial lintas waktu. Wakaf bukan beban spiritual, tapi aktivitas keseharian, ibarat tarikan nafas yang mensuplai oksigen yang menopang kehidupan.
Sesuai nama-nya, “Kick off Kota Wakaf” bahwa permainan baru saja dimulai. Perjalanan membangun kota wakaf baru di tahap awal. Untuk mewujudkan visi dan imajinasi Kota Wakaf, tidak cukup hanya dengan acara gebyar seremonial kemudian bubar. Kota wakaf memerlukan ekosistem yang kokoh, mulai dari basis nilai yang terinternalisasi secara kuat kepada seluruh pemangku kepentingan dan masyarakat luas, dukungan iklim yang kondusif, regulasi yang adaptif, hingga profesionalisme para pengelola wakaf.
Dibutuhkan keseriusan dan konsistensi sikap dan kebijakan, monitoring dan evaluasi berkelanjutan, yang terwariskan dari generasi ke generasi, antar rezim pemerintahan, dari pusat sampai daerah. Jika permainan berhenti di tengah jalan, karena para "pemain" kelelahan, atau karena tertarik permainan baru yang dianggap lebih mengasyikkan. Maka bersiaplah, jika kelak status “kota wakaf” menjadi cibiran dan gugatan. Dicibir dan digugat oleh statusnya sendiri.
Tatang Astarudin, Wakil Ketua Badan Wakaf Indonesia (BWI) dan Dosen UIN Sunan Gunung Djati Bandung.



