HAMKA; Aku Bukan Pengkhianat Negara!

Notification

×

Iklan

Iklan

HAMKA; Aku Bukan Pengkhianat Negara!

Senin, 26 November 2018 | 20:09 WIB Last Updated 2022-09-09T01:43:12Z
Almari buku milik ayahku setelah kewafatannya pada tahun 1987 terlihat kosong molompong. Hanya beberapa buku karangan Buya Hamka yang masih tertata rapi. Kendati seorang kepala sekolah di pelosok perkampungan, ayahku masih sempat membeli buku-buku karangan tokoh Muhammadiyah, NU, dan Persatuan Islam. Mataku tertuju pada tiga buku karangan sastrawan terkemuka yang mendapatkan gelar Doktor honoris Causa dari Universitas Al-Azhar, Cairo dan Universitas Kebangssaan Malaysia; sang ulama dan sastrawan, Buya HAMKA.

Buku pertama adalah roman klasik “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck”, buku kedua “Di Bawah Lindungan Ka’bah” dan buku ketiga “Tasauf Moderen”. Beliau dijuluki sebagai Hamzah Fansuri abad 20 oleh pecinta dan pemerhati dunia sastra. Muhammadiyah, umat, bangsa, dan Negara pasti bangga pernah melahirkan tokoh super kharismatik ini. Dua romannya yang menggugah telah kubaca sejak masa menjadi santri di Pesantren Persatuan Islam No. 19 Garut, 12 tahun silam. Ketika membaca roman “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” aku menangis, meneteskan air mata, dan mengharu biru. Ya, buku itu merupakan roman yang menggambarkan adanya ketidakadilan hukum adat bagi sepasang kekasih. Cinta terhijabi kasta kelas sosial yang tak menempatkan manusia sebagai makhluk yang memiliki kesamaan derajat.

HAMKA adalah seorang ulama, sastrawan, wartawan, dan pecinta khazanah keilmuan hebat yang dimiliki bangsa ini. Karyanya mencapai 200-an judul buku. Sangat produktif seperti halnya ulama-ulama salaf shaleh pada masa Islam sedang berada di puncak peradaban. Aku tak bisa membaca dan menelaah karya-karyanya semua yang banyak itu. Hanya tiga buku yang tersisa di almari almarhum ayahku - yang pernah kutamatkan - karena ayahku mengidolkan buya HAMKA.

***

Tepatnya saat lebaran kemarin, buku yang sempat hilang, “Tasauf Moderen” mendadak bersilaturahim kembali ke rumahku. Aku pun tanpa berpikir panjang mengambilnya, mengelus dan menciumi buku tersebut. Saat di pesantren dulu, aku tak banyak memahami isi buku ini. Kini, setelah kubaca kembali muncul kesimpulan: HAMKA memang seorang ulama yang berprinsip “ambillah ilmu walaupun datangnya dari negeri Barat”. Terlepas dari kontroversi fatwa haram “Selamat Natal” pada tahun 80-an, aku masih tetap mengaguminya. HAMKA itu bukan pendendam. Bukan pengkhianat Negara seperti yang dituduhkan rezim orde lama kepadanya pada tahun 1964, hingga membuatnya mendekam di balik terali besi. Ketika Presiden Soekarno wafat saja, buya HAMKA memimpin shalat Jenazah.

Pada buku “Tasauf Moderen” cetakan XVII tahun 1980, aku menemukan pendahuluan yang ditulis Buya HAMKA ketika dirinya mendapatkan pengalaman menyakitkan di balik terali besi (Penjara). Pendahuluan itu ditulisnya pada tahun 1970. Aku tahu, bahwa buya HAMKA adalah penggemar Ibn Al-Qayyim Al-Jauziyah. Di dalam pendahuluannya itu aku menemukan beberapa substansi dan redaksi yang dikutip beliau berdasarkan ungkapan Ibn Al-Qayyim Al-Jauziyah dalam kitab Shadir Al-Khatir. Aku baru tahu, buya HAMKA diinterogasi oleh aparat karena dirinya dicurigai sebagai pengkhianat Negara. Delik tuduhannya ialah, HAMKA mengkhianati Negara karena telah menjual Negara kepada Malaysia.

Di dalam penjara itu, beliau mendapatkan beberapa pertanyaan yang diakui Buya sangat diada-adakan. Parahnya lagi, sang integrator yang kejam menanyakan sesuatu yang tidak pernah beliau lakukan. Tak sampai disitu, sang aparat juga memaksa buya HAMKA untuk menandatangani pernyataan telah menjual Negara agar dirinya mendekam di balik penjara. Dalam masa itu, ketika sedang gencar-gencarnya kemerdekaan Malaysia, buya HAMKA seakan telah dikambing-hitamkan. Dengan 1001 pertanyaan selama 15 hari 15 malam itu, ujar HAMKA telah dirancang bahwa dirinya bersalah. Kendati dirinya tidak bersalah, kekuasaan Negara menghendaki HAMKA sebagai orang bersalah yang layak di penjara. Bahkan kalau belum mengaku bersalah, tidur beliau pun diganggu.

Suatu hari beliau pernah dibentak, “Saudara pengkhianat, menjual Negara kepada Malaysia!”

Bagaikan disambar geledek di siang bolong. HAMKA tak menyangka bahwa dirinya akan mendapatkan tuduhan seperti itu. Dengan kesedihan yang mendera, ia pun menjawab tuduhan tersebut.

“Janganlah aku disiksa seperti ini. Buatkan saja satu pengakuan bagaimana baiknya, akan aku tanda tangani. Tapi, tolong, kata-kata demikian janganlah saudara ulangi.”

“Memang saudara pengkhianat.” Balas sang integrator sambil pergi seraya menghempaskan pintu. Gebrakkk….remuk rasanya hati Buya HAMKA saat itu.

***

Selama satu jam lamanya, terjadi peperangan batin (kebajikan dan kebatilan) dalam jiwa Buya HAMKA. Beliau mengaku sudah membuat surat wasiat kepada keluarganya di rumah. SYETAN membisikkan ke dalam hati HAMKA sesuatu yang dilarang Islam: bunuh diri di tengah keputusasaan. Di dalam sakunya waktu itu tersimpan silet, yang akan dijadikan senjata untuk memotong urat nadi. Biar orang tahu, kata HAMKA, bahwa dirinya mati karena tidak tahan menderita (disiksa). Saat itu Alhamdulillah, keimanan HAMKA memenangi pertarungan dahsyat dengan bisikan SYETAN.

Beliau pun berkata dalam hatinya, “Kalau kamu mati bunuh diri karena tidak tahan dengan penderitaan batin, niscaya mereka akan menyusun berita yang indah ihwal kematianmu. Kamu melakukan upaya bunuh diri karena malu kepergok setelah polisi mengeluarkan bukti atas pengkhianatanmu. Maka hancurlah nama yang telah kau ukir dengan segala perjuangan, penderitaan, keringat, dan kerja keras selama berpuluh tahun. Kemudian ada selentingan warga yang berkata: “Dengan bukunya “Tasauf Moderen” dia membimbing orang lain agar sabar, tabah dan teguh bila menderita. Orang yang membaca bukunya itu semua selamat, sedang dirinya sendiri memilih jalan yang sesat. Pembacanya masuk surga karena bimbingannya, dan dia di akhir hayatnya memilih neraka.”

Bahkan, anak-anakmu dan seluruh keluargamu akan menderita serta menanggung malu atas keputusanmu, kemudian menyumpahi kamu. Tetapi, Alhamdulillah perdaya SYETAN itu dapat ditangkis oleh Buya HAMKA, sehingga beliau memenangi pertempuran itu. Saat itu, buya HAMKA merasa memerlukan buku karangannya sendiri, “Tasauf Moderen”. Dan, ketika keluarganya membesuk beliau, diutarakanlah keinginannya untuk dibawakan “Tasauf Moderen” yang fenomenal tersebut.

Setelah buku tersebut berada di tangan Buya HAMKA, beliau menelaahnya, membaca, merenungi, dan mencoba menghayatinya; kemudian tak lupa juga beliau membaca kitab Al-Quran. Sehingga suatu ketika datang seorang kawannya untuk membesuk beliau dan mendapati HAMKA sedang membaca buku “Tasauf Moderen”. Kawannya tersebut seraya berguyon berkata, “Eh, Pak HAMKA sedang membaca (karangan) pak HAMKA.”

Waktu itu, seraya tersenyum teduh nan indah, beliau menjawabnya: “Memang betul..HAMKA sedang memberikan nasihat kepada diri sendiri setelah sekian lamanya memberikan nasihat pada orang lain. Dia hendak mencari ketenangan jiwa dengan buku ini. Sebab telah banyak orang mmeberitahukan kepadanya bahwa mereka mendapat ketenangannya kembali karena membaca buku “Tasawuf Moderen” ini!”

Buya HAMKA dengan curhatnya di dalam buku “Tasauf Moderen” itu seolah menyadarkan kita, keputusasaan tak seharusnya melahirkan teologi bunuh diri yang sesat seperti dilakukan teroris yang mengatasnamakan Islam. Buya HAMKA, kendati pernah dituduh sebagai pengkhianat Negara tidak membuatku mempercayainya sepenuh hati. Aku masih menjadikan dan menempatkan HAMKA sebagai pahlawan kesusastraan dan ilmu-ilmu agama yang mulia. Muhammadiyah, Islam, bangsa dan Negara sangat beruntung memiliki ulama seperti beliau, terlepas dari fatwa haram “Selamat Natal” oleh lembaga MUI, yang diketuainya pada tahun 80-an. Yang jelas, ketika fatwa itu dicurigai dapat memantik kekerasan atas nama agama karena bertentangan dengan prinsip toleransi. Buya HAMKA dengan legowo dan lapang dada bersedia menanggalkan jabatan ketua MUI untuk mengamalkan toleransi dalam kehidupannya. Bagi HAMKA, daripada kepemimpinannya di lembaga tertinggi umat Islam ini dapat merusak stabilitas Negara; mendingan dia turun dari jabatan. Satu bentuk moral sosial yang tak dimiliki ulama-ulama saat ini. Wallahua’lam bishshawwab