KEMAJUAN sebuah Bangsa-Negara (nation-state) terletak pada tersedianya sumber daya insani yang berkualitas dan menjunjung tinggi moralitas-etika dalam kesehariannya. Karena itulah, arah pembangunan bangsa mesti dibarengi dengan masyarakat berkualitas dan bertumpu pada nilai-nilai religiusitas. Kita tahu bahwa persoalan yang melilit bangsa ini; baik di ranah politik, ekonomi, budaya, hukum, dan kinerja birokrat berangkat dari minimnya kesadaran moral.
Apabila ditinjau dari sumber daya alam, Negara kita terdiri dari wilayah yang dipenuhi potensi kekayaan dahsyat. Namun, yang terjadi adalah sebaliknya. Potensi alam itu tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal karena kita tidak memiliki karakter kebangsaan yang kuat dan kokoh. Ini terlihat dari pembangunan yang ditelorkan pemerintah belum pro-rakyat, sebab masih diinisiasi kepentingan sektoral yang bersifat pribadi dan kelompok.
Tak heran bila prestasi human index development di setiap daerah menggambarkan kesenjangan secara massif. Merebaknya kemiskinan, pengangguran, amoralitas, korupsi, kolusi, dan nepotisme; mengindikasikan lemahnya kualitas manusia Indonesia. Minimnya keteladan birokrat juga seakan menjadi akar penyebab kehilangan publik figur (lost figure) sehingga banyak generasi muda yang tidak mengoptimalkan potensi diri, malah terjebak pada anarkisme diri, yang mengakibatkan lahirnya aksi chaos dalam kesehariannya.
Karena itulah, pembangunan karakter bangsa, sejatinya mengikutsetakan nilai-nilai Islam. Sebab, mayoritas penduduk negeri ini terdiri dari umat Islam, sehingga tidak salah bila menyertakan nilai-nilai keislaman ketika merumuskan karakter bangsa (nation character building) untuk kepentingan publik.
Krisis keteladanan
Dalam menanggulangi carut-marut di negeri ini, kita memerlukan kerja kolektif antara pemerintah dan masyarakat dengan mengembangkan karakter luhung. Misalnya, dengan menghidupkan sikap jujur (shidiq), akuntabel (amanah), transparan (tabligh), dan kualitas-kompetensi-kapasitas diri (fathanah). Sebab, yang dihadapi bangsa hari ini – dengan merebaknya dehumanisasi – berangkat dari krisis keteladanan, sehingga kemiskinan bukan hanya miskin secara material, tapi miskin dari “stok manusia ideal”. Dalam bahasa lain, birokrat di negeri ini tidak menjadikan Agama sebagai falsafah hidup (way of life).
Ada beberapa karakteristik keteladanan, sebagai salah satu bentuk upaya membangun karakter bangsa. Islam, sebagai Agama yang dianut mayoritas rakyat Indonesia, sejatinya berperan-serta merumuskan pembebasan manusia Indonesia dari belenggu kemiskinan dan ketiadaan tokoh yang patut diteladani. Pada posisi demikian, kerjasama birokrasi pemerintah dengan lembaga dakwah serta instansi lembaga pendidikan tinggi Islam mesti dibangun agar terselenggara proses karakterisasi bangsa religius, kompeten, dan berkualitas.
Nurcholis Majdid (2010) mengatakan, salah satu segi kelebihan Islam, ialah terletak pada keuniversalan nilai yang dikandungnya dalam kehidupan manusia di jagad raya. Seraya mengutip ayat Al-Quran, Cak Nur, melegitimasi hal ini dengan Surah Saba (34) ayat 28 sbb: “Kami (Allah) tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk seluruh umat manusia, sebagai kegembiraan dan pembawa ancaman”. Kemudian, ia juga mengutip surah al-Anbiya (21) ayat 107, sbb: “Tidaklah Kami (Allah) mengutus engkau (Muhammad) melainkan sebagai rahmat untuk seluruh alam”.
Ayat tersebut mengindikasikan adanya kesadaran sangat umum di kalangan umat Islam, bahwa ajaran Islam mengandung universalitas yang patut menjadi bahan renungan, landasan pembebasan, dan sumber penyelesaian persoalan yang melilit umat manusia sampai akhir zaman. Kesadaran pentingnya nilai etika yang diambil dari semangat keagamaan dalam konteks kebangsaan, memegang peran penting guna menciptakan kualitas imani, akhlaqi, dan aqli warga-bangsa. Kesadaran eksistensial seperti ini salah satunya yang dapat menggiring kesadaran warga menanggalkan kesadaran material.
Dengan demikian, kesadaran ini dapat menuntun seorang warga Negara, baik pejabat maupun birokrat mengejawantahkan prinsip keadilan (al-adalah) dalam kehidupan praksis. Allah Swt., berfirman sbb: “Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keseimbangan) supaya kamu tidak melampaui batas terhadap neraca itu. Dan tegakkanlah neraca keadilan itu dengan seksama, dan janganlah kamu mengurangi neraca itu.” (QS. Al-Rahman [55]: 7-9).
Pesan ilahi di atas, mengindikasikan religiusitas harus menjawab semua pertanyaan tentang bagaimana seharusnya yang dilakukan, sehingga menempatkan akal-pikiran pada koridor keadilan untuk umat manusia. Menjalankan keadilan dapat menempatkan kerja sebagai manifestasi cinta terhadap sesama. Sebab, manusia pada dasarnya merupakan makhluk super bajik, apabila radar hatinya dihidupkan secara optimal.
Menjunjung keadilan
Kita sejatinya mendukung lahirnya manusia-manusia yang menempatkan keadilan sebagai misi hidup, dengan mengoptimalkan keyakinan ukhrawi, hingga mengejawantahkan aktus bermanfaat untuk semesta alam (rahmatan lil alamin). Di dalam Al-Quran ada yang disebut dengan hayat al-dunya dan akhirat. Ketika seorang manusia mampu menyadari fungsi dirinya untuk menerapkan ajaran kemanfaatan kepada sesama, hal itu mengindikasikan kehidupan rendah (hayat al-dunya) menjadi jalan mulus untuk menuju puncak kehidupan sempurna.
Nurcholis Madjid, dalam buku berjudul “Islam Agama Kemanusiaan” (2010:183) berpendapat menegakkan keadilan ialah bagian dari sunnatullah, hukum objektif, immutable (tidak pernah berubah), bagian dari hukum kosmis, yakni hukum keseimbangan (al-mizan) di jagad raya. Dalam konteks kebangsaan, konsep al-mizan (keseimbangan) ialah elemen fundamental, yang mampu mengejawantahkan prinsip-prinsip keadilan hingga dapat menciptakan kesejahteraan dalam sebuah tatanan Negara-bangsa.
Ketika tidak menjalankan keadilan dalam hidup keseharian, hal itu menandakan kita tengah melawan hukum-Nya. Apa yang dijelaskan Cak Nur di atas, memang betul. Bahwa misi kemanusiaan merupakan sunnatullah yang mesti diejawantahkan dalam diri, sebab merupakan bagian dari pengamalan ajaran Tuhan.
Bagi kita, mengejawantahkan misi kemanusiaan yang tercermin dalam agama (Islam) untuk kepentingan rakyat ialah kemutlakan. Oleh karena itu, kerja politik setiap parpol -- baik nasionalis maupun Islam -- sejatinya diarahkan untuk memberdayakan warga. Sehingga dapat dirasakan bukti kongkritnya oleh warga di tiap daerah. Tak arif rasanya apabila warga hanya dimanfaatkan ketika sedang melaksananakan pesta demokrasi alias pemilihan umum saja. Sebab, hal itu merupakan pengingkaran terhadap prinsip demokrasi, misi kemanusiaan, dan perintah untuk berlaku adil. Wallahua’lam