Awal Catatan: Dari Garut, “Tukang Cukur” Bergerak Mengubah Nasib

Notification

×

Iklan

Iklan

Awal Catatan: Dari Garut, “Tukang Cukur” Bergerak Mengubah Nasib

Rabu, 28 Oktober 2020 | 09:00 WIB Last Updated 2022-09-09T01:43:07Z

MESKIPUN ayah saya seorang guru kepala di sebuah sekolah dasar, tetapi ibu saya berasal dari keturunan tukang cukur karena ayahnya (kakek saya) berprofesi sebagai tukang cukur. Tak hanya kakek saya, uniknya lagi, hampir seratus persen warga asli di kampung saya, berprofesi sebagai tukang cukur.

 

Bahkan, tahun 2002 pun, selepas menyelesaikan studi Pesantren di Garut, saya sempat mencicipi lebih kurang selama 6 bulan, bagaimana rasanya menjadi tukang cukur di Bekasi Timur, Cibeureum, Sukajadi, dan terakhir di Ujungberung. 

 

Setelah berhasil melaksanakan prosesi ngider ke daerah Cibatu, untuk belajar bagaimana memangkas rambut anak-anak, saya pun berangkat ke kota dengan harapan bisa bekerja di sebuah kios pangkas rambut. Jujur saja, saya sempat beberapa kali mengalami kejadian lucu dan menakutkan.  

 

Suatu ketika, ada seorang tentara TNI, yang hendak memotong rambutnya. Tanpa menanyakan model potongan rambut yang diinginkannya, saya langsung membabat habis rambutnya menjadi plontoskhas Prajurit ABRI. Pada saat sedang dicukur itu, ada keganjilan, dari baju yang dia pakai; setelah saya perhatikan, ternyata pangkatnya bukan Kopral; tetapi lebih tinggi lagi, kalau tidak salah, pangkatnya Letnan Kolonel.  

 

Singkat cerita, setelah selesai memangkas rambutnya, dia pun saya persilahkan untuk membayar kepada kasir. Tak dinyana, eh, tentara itu malah mencak-mencak karena tidak terima kalau rambutnya dipangkas mengikuti pangkat kopral.  

 

Sambil berteriak kepada saya, bapak tentara itu bilang, “Hey...kamu nggak becus potong rambut, ya?”   

 

“Emang kenapa pak?” jawab saya keheranan.  

 

“Lihat potongan rambutnya.” Ujarnya sambil marah-marah. “Ini model ABRI pangkat Kopral.” Lanjutnya.  

 

“Ya, betul pak. Kan, bapak tentara. Ini model prajurit.” Jawab saya polos.  

 

“Kamu nggak tahu, ya. Pangkat saya, bukan Kopral.” Bentaknya.

 

“Lihat, pangkat saya adalah Letnan Kolonel...” sambungnya sambil menodongkan pistol. 

 

Atas bantuan teman saya, sesama tukang cukur, akhirnya saya bisa kabur tunggang langgang, menjauhi bapak Letnan Kolonel yang marah-marah karena rambutnya pelontos seperti Prajurit.  

 

BICARA tentang tukang cukur, kita tidak boleh mengenyahkan Garut dalam lanskap historiografi jasa pangkas rambut di Priangan. Termasuk kalau kita bicara pertumbuhan jasa mencukur di kota-kota besar Indonesia. Kita tidak bisa memungkiri kalau Garut merupakan salah satu daerah penghasil tukang cukur terbesar di Jawa Barat, bahkan di Indonesia. 

 

Salah satu daerah penghasil tukang cukur itu, ialah kampung saya, yang terletak di Desa Binakarya, Kecamatan Banyuresmi, Kabupaten Garut, berdekatan dengan daerah penghasil tukang cukur lainnya, yakni desa Bagendit. 

 

Secara historis, tukang cukur di Kota Bandung, erat kaitannya dengan peristiwa pemberontakan DI/TII di Jawa Barat, pimpinan Sekarmadji Maridjan (SM) Kartosoewirjo (1949-1950-an). Konflik tersebut menyebabkan warga Garut banyak yang bermigrasi ke daerah lain, termasuk ke daerah Bandung. Para imigran dari Garut ini, untuk mempertahankan hidup, mereka bekerja menjadi tukang cukur pindah profesi dari petani karena harus melangsungkan hidup di daerah perantauan.  

 

Ternyata hasil dari nyukur, sangat menggiurkan, dan dari situlah berdatangan imigran dari Garut ke kota-kota besar lain untuk menjadi tukang cukur; mencoba peruntungan hidup.   

 

Saking ngetren profesi tukang cukur di Garut, saat SM Kartosoewiryo menghadiri sidang pertama, dia pernah disentil Hakim untuk memastikan identitas Kartosoewiryo yang asli, “Jangan sampai yang dihadirkan dalam sidang ini adalah Kartosoewirjo tukang cukur, bukan Kartosoewirjo pemimpin gerombolan.” 

 

Dengan pernyataan tersebut, mengindikasikan pada saat itu profesi tukang cukur di Garut dapat menghidupkan harapan hidup layak masyarakat. Profesi tukang cukur pun menjadi sumber penghasilan warga di kecamatan Banyuresmi, Garut.  

 

Sejauh ini, belum ada catatan pasti kapan pertama kali sejarah para tukang cukur rambut muncul di Indonesia. Namun, dalam banyak sumber-sumber lisan maupun dokumentas foto-foto menyebutkan bahwa sebenarnya budaya tukang cukur yang ada di Indonesia berasal dari daratan Tiongkok (Cina). Di Indonesia, jejak tukang cukur jalanan bisa ditemukan pada dokumentasi foto-foto zaman kolonial Belanda milik KITLV (Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde) yang bermarkas di Leiden, Belanda. 

 

Lembaga itu menyimpan banyak koleksi foto para tukang cukur rambut jalanan di beberapa kota besar Indonesia mulai periode 1911 hingga 1930-an. Misalnya foto aktivitas orang Madura di Surabaya yang berprofesi sebagai tukang cukur pada 1911 dan tukang cukur rambut asal Tiongkok di Medan pada 1931. 

 

Tukang cukur memang pernah identik dengan orang Madura. Seperti ditulis Muh Syamsuddin dalam jurnalnya berjudul: Agama, Migrasi dan orang Madura pada 2007 lalu. Dia menganalisis bahwa perjalanan migrasi orang-orang dari pulau garam itu terjadi sejak konflik antara Trunojoyo dan Amangkurat II pada 1677. Konflik itu menyebabkan para pengikut Trunojoyo enggan kembali ke Madura.  

 

Orang-orang ini pada beberapa masa kemudian memilih mencari nafkah di sektor informal, seperti tukang soto, tukang sate, dan tukang cukur. Selain kuatnya tradisi migrasi itu merupakan bentuk jawaban terhadap kondisi ekologis pulau Madura yang gersang dan tandus. 

 

Haryoto Kunto dalam bukunya berjudul: Wajah Bandoeng Tempo Doeloe (1984), pernah menuliskan bahwa orang Tiongkok di Bandung pada masa lalu ternyata juga dikenal menguasai profesi sebagai pemangkas rambut dan mengorek kotoran telinga dengan alat yang disebut "kili-kili."

 

Orang-orang Tiongkok zaman dulu juga banyak yang menjadi tukang cukur. Persebaran orang-orang dari daratan Tiongkok ini memang terjadi sejak berabad-abad lampau lamanya. Mereka bermigrasi dan menyebar ke banyak negara, termasuk ke pelosok-pelosok wilayah Nusantara. 

 

Selain orang Madura dan Tiongkok, dalam buku itu Haryoto juga menyebut bahwa beberapa orang Jepang juga memiliki toko pangkas rambut di alun-alun Bandung pada 1932, misalnya Toko Tjijoda, Toko Nanko, dan Toyama.

 

Bahkan, karena banyaknya orang Garut menjadi tukan cukur, sampai-sampai dijadikan bahan banyolan hakim yang memimpin sidang kasus pemberontakan Kartosoewirjo. Seperti ditulis dalam buku Tempo berjudul "Kartosoewirjo: mimpi negara Islam".

 

Di buku itu ditulis cerita dari sumber resmi tentara yang banyak dikutip di koran-koran pada waktu itu, yang menyebutkan bahwa pada sidang perdana, Kartosoewirjo ditanyai soal kejelasan identitas dan perkara yang dia hadapi. "Jangan sampai yang dihadirkan dalam sidang ini adalah Kartosoewirjo tukang cukur, bukan Kartosoewirjo pemimpin gerombolan," kata Hakim sidang waktu itu.

 


Pada jaman penjajahan Belanda juga sudah banyak jasa untuk pangkas rambut, ini terbukti dengan adanya foto ketika memotong rambut di pinggiran jalan raya. Foto tersebut diambil dari tahun 1911 hingga 1930.

 

Di Indonesia sendiri tukang cukur identik dengan Madura. Ini terbukti dengan banyaknya kios tukang cukur Madura di berbagai pelosok baik pasar, gang, kota besar, desa dan lain-lain. Sejarah mencatat bahwa pada tahun 1677 waktu itu terdapat perang antara 2 kubu. Pada intinya orang Madura yang telah pergi dari tempat mereka tidak mau pulang kembali ke tempat mereka dan memilih untuk tetap tinggal untuk merantau. Alhasil banyak sekali mereka yang berusaha bisnis dagang seperti dagang sate dan tukang cukur rambut. 

 

Tahun 1844 di Bandung ada seorang Tiongkok Cina yang bekerja sebagai tukang pangkas rambut dan pembersih kotoran kuping. Selain Madura dan Tiongkok, pangkas rambut juga dipopulerkan oleh warga Garut. Ceritanya hampir sama dengan Madura, dikarenakan adanya konflik yang berkepanjangan maka warga Garut bermigrasi ke tempat lain untuk menyelamatkan diri. Untuk bertahan hidup maka orang garut tersebut mulai untuk berbisnis yang salah satunya yaitu menjadi tukang cukur rambut.