Kritisisme Urang Sunda dalam "Sisindiran"

Notification

×

Iklan

Iklan

Kritisisme Urang Sunda dalam "Sisindiran"

Kamis, 29 Oktober 2020 | 10:00 WIB Last Updated 2022-09-09T01:43:06Z


Sisindiran berasal dari kata sindir, yang berarti perkataan yang tidak langsung ditujukan kepada orang yang dimaksud. Sebagai salah satu bentuk sastra lama, didalamnya ada kritisisme, ucapan memojokkan, dan menyindir seseorang secara halus dengan merangkaikan kata-kata estetis (paparikan dan sampiran). Ini mengindikasikan, masyarakat Sunda sangat menghargai eksistensi orang lain, apalagi sisindiran kerap dinyanyikan sehingga menambah kesan kritisisme urang Sunda tidak meminggirkan harga diri orang lain.

Estetika atau keindahan sisindiran laiknya syair yang ditulis seorang penyair, sehingga kita akan menemukan estetika bahasa dalam menyampaikan kritik yang dilakukan urang Sunda. Dalam tulisan ini, saya tidak akan mempersoalkan asal-usul historik sisindiran dan kaitannya dengan bahasa Sunda. Tetapi, mengetengahkan sikap kritis orang Sunda terhadap kondisi dirinya, orang lain, dan masyarakat; baik yang berkaitan dengan kelemahan, kekurangan, atau penderitaannya.

Horizon urang Sunda

Sisindiran adalah kreasi kultural yang menandakan horizon warganya. Sisindiran, yang dahulu menjadi semacam arus utama kebudayaan Sunda di kalangan generasi muda, didalamnya terdapat bahasa, identitas, filsafat hidup, dan kearifan budaya khas Sunda. Itu semua berpengaruh pada pandangan kritis masyarakat Sunda yang tidak disampaikan secara langsung atau togmol, karena disinyalir hal itu bisa merendahkan atau menyakiti hati orang lain.

Maka, ketika mengkritisi sesuatu hal, mungkin karena kelembutan urang Sunda, kita selalu meminta maaf terlebih dahulu agar tidak menyakiti seseorang. Misalnya, bisa kita lihat dari sisindiran berikut: Saninten buah saninten/dibawa ka parapatan/hapunten abdi hapunten/bilih aya kalepatan. Urang Sunda, baik sebagai individu maupun kelompok dengan ini sadar atas potensi kesalahan yang dapat menyinggung seseorang, sehingga meminta maaf sebelum atau setelah melakukan kritik.

Tidak bisa dimungkiri, kritisisme adalah keniscayaan dalam menghidupkan peradaban. Pikiran-pikiran kritis adalah tonggak awal terciptanya peradaban di suatu daerah, komunitas, dan masyarakat. Namun, model manusia kritis yang egois adalah yang tidak menerima bahwa pemikiran seseorang itu berkembang sesuai wawasan. Sehingga, dengan demikian tidak akan terjadi perendahan yang mencibir seseorang dalam mengembangkan ilmu pengetahuannya. 

Bagi orang yang menganut egoisme, akan lahir superioritas diri dan menempatkan orang lain inferior, akan berakibat pada retaknya hubungan sosial.

Dalam sisindiran, horizon masyarakat kritis Sunda terlihat estetis dan dikemas secara halus sehingga sangat enak untuk didengarkan. Ini mengindikasikan bahwa urang Sunda tidak menempatkan orang lain rendah, bodoh, apalagi sebagai orang yang tak beradab. Meskipun kritikan itu diberikan kepada orang yang tak beradab, tetap saja urang Sunda mengemasnya secara indah dalam bentuk sisindiran. 

Alhasil, secara sosial tidak terjadi perpecahan karena sindiran itu indah didengar, malahan akan dibalas dengan sindiran yang lain. Kolektivisme di dalam horizon warga Sunda telah menjadi bagian dari falsafah hidupnya, sehingga membentuk kalimat nasihat-menasihati (baca: sisindiran) sebagai wujud dari persamaan derajat (kalimatun sawa).

Mediasi Kultural

Selain kreasi kultural, sisindiran juga adalah media kultural untuk menjalankan fungsinya mengkritisi kebijakan diskriminatif yang dikeluarkan pemerintah yang sedang berkuasa. Dalam hal ini, bunyi sisindiran acapkali dicipta urang Sunda karena ketidaksetujuannya atas diskriminasi yang dilakukan pemerintah, khususnya kaum penjajah Jepang. Sebab, di masa penjajahan bangsa Nippon ini, katanya, banyak terjadi eksploitasi bagi seluruh rakyat nusantara, tak terkecuali masyarakat Sunda.

Kritisisme sebagai luapan tidak puas terhadap kinerja penjajah, khususnya Jepang (Nippon) bisa dibaca dalam sisindiran berikut: Sapanjang jalan cirebon/moal weleh diaspalan/sapanjang dijajah nipon/moal weleh tatambalan. Yang lainnya: Cau raja cau ambon/cau lampung cau batu/boga raja urang Nippon/urang kampong henteu nyatu. Dan, yang paling bagus adalah hibridasi bahasa dalam sisindiran dengan menyertakan bahasa yang agak Japanis, sebagai berikut: Miyoto okaino/sora akete/bareto loba kejo/ayeuna hese beleke.

Ketiga sisindiran yang berisi paparikan dan sampiran atau cangkang dan eusi di atas, adalah mediasi kritikan urang Sunda terhadap kebijakan diskriminatif negara jepang ketika menjajah Indonesia. Maka, tak heran jika dalam perbincangan masyarakat Sunda kita pernah mendengar istilah sindir-sampir. Yakni kritikan yang didalamnya berisi hal-hal yang menyangkut kelebihan, kekurangan, dan kebejadan perilaku dari orang yang dikritisi.

Nah, untuk konteks kekinian juga, Sunda tidak setuju dengan praktik korupsi. Misalnya ini dapat dilihat dari sisindiran berikut: Mun urang rek ka babatan/kade ulah make taksi/mun urang boga jabatan/kade ulah sok korupsi. Selain mengkritisi perilaku bejad, sisindiran ini mengandung edukasi atau piwuruk bagi masyarakat Sunda yang sudah menjadi pejabat dan masih menjadi cikal bakal calon pejabat. Sisindiran ini memediasi rakyat Sunda agar tersadar bahwa kadangkala jabatan bisa menyebabkan seseorang melakukan korupsi. Oleh karena itu, harus hati-hati dan mawas diri.

Kita (urang Sunda) tidak pernah menyetujui praktik bejad yang merugikan Negara ini, meskipun ada banyak urang Sunda yang menjadi pejabat terjerat praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Dengan melestarikan sisindiran sebagai bentuk kreasi kultural urang Sunda, mudah-mudahan para pejabat sadar dan menyadari bahwa praktik KKN tidak disetujui oleh orang lain dan dirinya.

Dengan ini diharapkan para pejabat sadar diri, menyelami persoalan bangsa, dan mampu menyusun kebijakan yang pro rakyat. Lebih bagus lagi, kalau semua itu dikemas dalam bentuk sisindiran. Asyik saya rasa, karena akan meramaikan kampanye pemilu 2009, seperti yang sering dilakukan kalangan muda lewat perang mulut di dunia Rap sebagai subkultur pop Amerika Serikat. 

Namun, akankah hal itu bisa dilaksanakan pada masyarakat Sunda, apalagi orang tuanya, yang masih sering mudah tersinggung? Saya berharap bisa, karena kita hidup di tengah-tengah arus demokratisasi.