MAULID nabi, merupakan tradisi kaum muslimin dalam memperingati hari lahir Muhammad Saw (12 Rabiul Awal). Secara etimologis, maulid atau milad adalah hari kelahiran. Dalam perspektif teologis, kelahiran merupakan berkah bagi seseorang karena kehidupan baru dimulai. Kelahiran adalah muara kebahagiaan dan sumber pengharapan umat manusia. Tidaklah mengherankan kalau kegembiraan yang membahagiakan bakal menyeruak ketika dalam sebuah keluarga lahir seorang anak.
Pun begitu bagi umat Islam, kelahiran Muhammad Saw. merupakan muara kebahagiaan dan sumber pengharapan umat manusia karena berkat kelahirannya, kita digiring dari kegelapan menuju cahaya terang benderang. Memasuki sebuah ruang bersama bernama Islam untuk menciptakan dan mengukir peradaban. Meskipun, tak tersirat secara langsung perintah melaksanakan peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad Saw., bukan berarti merayakannya sebagai perilaku tercela. Sebab, secara subtansial, maulid nabi berarti ekspresi penghormatan kepada Nabi Muhammad Saw.
Dalam catatan sejarah Islam, peringatan hari lahir nabi atau maulid nabi – yang diawali sejak pemerintahan Sultan Salahuddin Al-Ayyubi (1138-1193) — adalah medium pembangkit semangat juang muslimin di medan tempur. Namun kini, kita tidak lagi berada di zaman peperangan fisik. Semangat maulid itu mesti ditransformasikan jadi sebuah kekuatan (power) untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang kita hadapi bersama. Dalam bahasa lain, kita mesti berperang dengan musuh-musuh abad 21 yang wujudnya beragam dan dapat menjebak kita hingga terperosok ke dalam jurang keterpurukan.
Rusaknya lingkungan, kemiskinan, pengangguran, bencana, kasus korupsi, kolusi, nepotisme, mafia hukum, merupakan segelintir musuh yang mesti kita perangi. Diutusnya Muhammad Saw. ke muka bumi untuk memerangi musuh-musuh tersebut. Maka, 12 Rabiul Awal ialah moment tepat untuk menyuntikkan kembali semangat kenabian dalam diri. Sebab, Rasulullah Saw. sosok teladan yang selama hidupnya mampu menancapkan semangat “perubahan” untuk kaum muslimin; agar dapat keluar dari kondisi tidak baik menuju kondisi baik.
Setiap manusia harus memiliki prinsip hidup yang memandang masa depan (visioner). Kita mesti mampu menggapai kemuliaan hidup dengan cara menanamkan pengharapan akan keberhasilan di masa mendatang (futuristik). Bukankah di dalam Al-Quran dijelaskan: “Sesunggunya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum sebelum kaum itu sendiri yang melakukan perubahan akan nasibnya,” (Q.S. Ar-Ra’d [13]: 11). Kita berubah menjadi manusia yang kokoh, kukuh, dan teguh pendirian ketika mengharapkan keridhaan Tuhan. Semangat Nabi Muhammad Saw. dalam melakukan perubahan konstruktif, harus mulai kita ejawantahkan dalam konteks kekinian; yakni di zaman penuh ketidakadilan ekonomi yang didominasi mentalitas ekonom kapitalis. Akibatnya, kemiskinan kian lama kian menggurita.
Formulasi baru memerangi musuh-musuh kapitalis patut dipikirkan. Tentu dengan tidak mengabaikan spirit juang yang telah dicontohkan Rasulullah Saw. Momentum maulid nabi, diharapkan memberi spirit bagi umat Islam dalam melakukan perubahan di bidang sosial-ekonomi ke arah kemajuan. Inilah mengapa Ibnu Khaldun berpendapat, kemajuan ekonomi merupakan pilar kemajuan peradaban Islam. Kita tahu, banyak upaya transformatif Nabi Muhammad Saw. dalam mereformasi ekonomi, dalam konteks zamannya. Upaya Nabi Saw. itu di antaranya mengatur secara ekonomis bidang moneter, fiskal, mekanisme pasar (harga), peran negara menciptakan keadilan (hisbah), membangun etos entrepreneurship, menegakkan etika bisnis, memberantas kemiskinan, melakukan pencatatan (akuntansi), dan pendirian Baitul Mal.
Beliau juga mereformasi pelaksanaan bisnis dari pelbagai praktik fasad (rusak) dengan cara yang baik dan berkeadilan. Misalnya, beliau menggagas praktik bisnis yang di dalamnya terdapat praktik maysir atau spekulasi agar segera dibersihkan. Dari reformasi yang dilakukan Muhammad Saw., praktik riba mendapat perhatian utama darinya. Sehingga, untuk umat sekarang, ekonomi berbaju syariah ini seakan menjadi tren ekonomi Indonesia. Itu semua dalam rangka perubahan menuju kondisi ekonomi umat yang lebih baik. Jadi, ada semacam optimisme keberhasilan ekonomi non-kapitalis di masa depan (visioner) dengan tren lembaga keuangan atau perusahaan berbasis syariah ini.
Kini, konsep ekonomi Islam itu lebih banyak diadofsi lembaga-lembaga keuangan; seperti perbankan, asuransi, pasar modal, pegadaian, koperasi, dan MLM yang semuanya menyertakan landasan syariah. Seorang guru marketing negeri ini – Hermawan Kartajaya – menyebutnya bisnis berbasis kejujuran. Sementara Alquran menjelaskan, “Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi. Dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidaklah orang-orang itu menyangka, bahwa Sesungguhnya mereka akan dibangkitkan pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam?” (QS. Al Muthaffifin [83]: 1-6).
Konsep ekonomi Islam bukan hanya berorientasi materialitas, tetapi juga spiritualitas. Oleh karena itu, keuntungan yang diperoleh mesti memiliki kemashlahatan bagi orang lain. Seiring keuntungan yang diperoleh, selama itu juga, perusahaan yang berbasis syariah harus berkontribusi positif memberantas kemiskinan. Sebab, makna kedermawanan dalam ajaran Islam adalah ketika kita memiliki harta mestinya bermanfaat untuk orang banyak.
Pada posisi ini, rajinlah membentuk kebiasaan kita untuk sudi berbagi dengan sesama. Menganggarkan dana sosial dalam skala besar adalah salah bentuk upaya ekonomi berbasis Islam dalam memberantas kemiskinan. Maka, kapan pun kita berjumpa dengan moment maulid nabi, membangkitkan spirit kenabian adalah hal utama yang mesti kita (kaum muslimin) utamakan. Seperti dibilang seorang guru spiritual, kehidupan bagaikan panggung festival yang akan segera berakhir. Setiap tokoh memiliki jatah yang ditentukan untuk tampil di panggung tersebut. Agar berkesan maka isilah hidup ini dengan sebuah karya yang bermanfaat bagi manusia lain. Itulah jalan kenabian yang sepatutnya kita ikuti bersama-sama agar bangsa ini dapat terbebas dari perang “kepentingan” yang menyengsarakan.
Di dalam Alquran dijelaskan, “Katakanlah: jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah aku (Muhammad),” (Q.S. Ali-Imran [3]: 31). Wallahua’lam