Penelusuran garis keturunan (sakeseler) dalam khazanah kesundaan diistilahkan dengan "pancakaki". Kamus Umum Basa Sunda (1993), mengartikan "pancakaki" dengan dua pengertian. Pertama, "pancakaki" menunjukkan hubungan seseorang dalam garis keluarga (perenahna jelema ka jelema deui anu sakulawarga atawa kaasup baraya keneh).
Kita pasti mengenal istilah kekerabatan seperti indung, bapa, aki, nini, emang, bibi, Euceu, anak, incu, buyut, alo, suan, kapiadi, kapilanceuk, aki ti gigir, nini ti gigir, dan sebagainya.
Istilah-istilah di atas merupakan sistem kekerabatan masyarakat Sunda yang didasarkan pada hubungan seseorang dalam sebuah komunitas keluarga. Dalam sistem kekerabatan urang Sunda diakui juga garis saudara (nasab) dari bapak dan ibu seperti bibi, emang, kapiadi, kapilanceuk, nini ti gigir, aki ti gigir.
Menurut Edi S Ekadjati (Kebudayaan Sunda, 2005) urang Sunda memperhitungkan dan mengakui kekerabatan bilateral, baik dari garis bapak maupun ibu. Berbeda dengan sistem kekerabatan orang Minang dan Batak yang menganut sistem kekerabatan matriarchal dan patriarchal, yaitu hanya memperhitungkan garis ibu saja dan garis keturunan bapak.
Sedangkan pada pengertian kedua, "pancakaki" bisa diartikan sebagai suatu proses penelusuran hubungan seseorang dalam jalur kekerabatan (mapay perenahna kabarayaan). Secara empiris, ketika kita menganjangi suatu daerah, maka pihak yang dianjangi akan membuka percakapan: "Ujang teh timana, jeung putra saha?". Ini dilakukan untuk mengetahui asal-usul keturunan tamu, sehingga sohibulbet atau pribumi, lebih akrab atau wanoh kepada semah guna mendobrak kekikukan dalam berinteraksi.
Maka, "pancakaki" pada pengertian kedua adalah sebuah proses pengorekan informasi keturunan untuk menemukan garis kekerabatan yang sempat putus. Biasanya, hal ini terjadi ketika seseorang nganjang ke suatu daerah dan di sana ia menemukan bahwa antara si pemilik rumah dan dia ternyata ada ikatan persaudaraan. Maka, ada pribahasa bahwa dunia itu tidak selebar daun kelor. Antara saya dan anda – mungkin kalau ber-pancakaki – ternyata dulur! Minimalnya sadulur jauh.
"Pancakaki" dalam bahasa Indonesia mungkin agak sepadan dengan istilah "silsilah", yakni kata yang digunakan untuk menunjukkan asal-usul nenek moyang beserta keturunannya. Tapi, ada perbedaannya!
Menurut Ajip Rosidi (1996) "pancakaki" memiliki pengertian suatu hubungan seseorang dengan seseorang, yang memastikan adanya tali keturunan atau persaudaraan. Namun, menjadi adat-istiadat-kebiasaan yang penting dalam hidup urang Sunda, karena selain menggambarkan sifat-sifat urang Sunda yang ingin selalu bersilaturahim, juga merupakan kebutuhan untuk menentukan sebutan masing-masing pihak dalam menggunakan bahasa Sunda.
Mengapa? Sebab, "pancakaki" sebagai produk kebudayaan Sunda, diproduksi oleh karuhun Ki Sunda untuk menciptakan relasi sosial dan komunikasi interpersonal yang harmonis dalam komunitas, salah satunya ajen-inajen berbahasa. Tidak mungkin kan, jika kita tahu si A atau si B itu memiliki hubungan kekerabatan dengan kita, dan lebih tua, tapi kita mencla-mencle berbicara tak sopan.
Kuntowijoyo dalam buku berjudul: Budaya dan Masyarakat (2006: 6), menulis bahwa dalam budaya kita akan ditemukan adanya tiga komponen pokok, yaitu lembaga budaya, isi budaya, dan efek budaya (norma-norma). Lembaga budaya menanyakan siapa penghasil produk budaya, pengontrol, serta bagaimana kontrol itu dilakukan. Isi (substansi) budaya menanyakan apa yang dihasilkan atau simbol-simbol apa saja yang diusahakan. Sementara itu, efek budaya menanyakan konsekuensi apa yang diharapkan.
Maka, anomali budaya (kebudayaan disfungsional) akan terjadi jika simbol dan normanya tidak lagi dijabarkan masyarakat. Akibatnya, muncul kontradiksi dan memicu lahirnya kelumpuhan dasar-dasar relasi sosiologis. Hal ini akan terjadi dalam ruang lingkup relasi sosial-kemasyarakatan urang Sunda jika "pancakaki" sebagai isi kebudayaan lokal tidak mendapat porsi pengamalan.
Efek kebudayaan pun tidak akan dirasakan, seperti menggejalanya keterputusan komunikasi dan relasi antar dulur (kerabat) yang satu dengan yang lain. Ketika tidak memiliki efek budaya, maka akan memicu lahirnya anomali, akibat minimnya keinginan kita untuk mengaktifkan simbol kebudayaan – salah satunya "pancakaki" – dalam hidup keseharian.
Bukankah silaturahim dalam perspektif ajaran agama (Islam) adalah salah satu penentu masuk surga?Layadkhulu al-jannatu qothi'un, tak akan masuk surga bagi orang yang memutuskan tali persaudaraan. Begitulah bunyi hadits dari Rasulullah Saw.
Ah, tak akan pernah habis saya kira, membincangkan sistem sadulur (kekerabatan) masyarakat Sunda sampai tujuh turanan juga. Karena itu, saatnya kita ber-pancakaki. Lirik kiri-larak kanan. Jangan-jangan ada keluarga dekat atau jauh, bahkan orang lain yang miskin dan tak bisa makan. Sebab, dalam ajaran Islam semua manusia itu bersaudara (al-ikhwat).