Teladan Amanah Kepemimpinan

Notification

×

Iklan

Iklan

Teladan Amanah Kepemimpinan

Jumat, 30 Oktober 2020 | 07:49 WIB Last Updated 2022-09-09T01:43:06Z
Keteladanan pemimpin di negeri seolah sulit dicari. Rakyat cerdas akan kesusahan mencarinya bagai mencari jarum kecil dalam tumpukan jerami. Ini indikasi keteladanan pemimpin di negeri ini berada pada puncak kepurbaan yang langka. 
 
Seseorang dapat dikatakan pemimpin panutan (yang layak diteladani) apabila melakukan kebajikan yang patut diteladani karena dirinya memantulkan laku baik dan benar. Baik bukan untuk diri sendiri dan kelompoknya. Tetapi, baik bagi seluruh rakyat Indonesia.

Suatu hari, Imam Al-Ghazali pengarang kitab Ihya Ulumuddin, berkumpul dengan murid-muridnya. Kemudian beliau bertanya kepada mereka, “Apa yang paling berat di dunia ini?”

Murid-muridnya ada yang menjawab baja, besi, dan gajah. Semua jawaban kalian benar, kata sang Imam, tapi yang paling berat adalah “memegang amanah”. Allah Swt berfirman, “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanah kepada langit, bumi, dan gunung. Maka semuanya enggan memikul amanah tersebut dan mereka khawatir mengkhianatinya, dan dipikullah amanah itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan bodoh” (QS. Al-Ahzab [33]: 72).

Tumbuhan, binatang, gunung, dan malaikat semua tidak mampu ketika Allah Swt meminta mereka untuk menjadi khalifah (pemimpin) di muka bumi. Tetapi manusia menyanggupi permintaan Allah Swt, sehingga banyak manusia yang tak dapat menjalankan amanah dengan baik masuk ke neraka.

Bagi manusia beriman, kepemimpinan merupakan amanah dari Allah Swt. Namun di negeri ini hal itu tidak dianggap sebagai amanah. Kitab suci Al-Quran hanya dijadikan simbol kejujuran dan kebersihan ketika dirinya dicurigai berlaku korup. Namun, isi dari kitab ini tak banyak digubris para pemimpin yang asyik duduk di kursi kepemimpinan. Sehingga tanggung jawab moral dapat dikalahkan UU. Tak heran apabila ada pejabat negara ngotot tidak mau menanggalkan jabatannya dengan alasan tidak tertera di dalam undang-undang.

Kalau saja kepemimpinan didasarkan atas restu-Nya, tanggung jawab moral tentunya mesti dikedepankan elit politik negeri ini. Persoalan moral lebih penting dibandingkan hukum yang lahir akibat menggejalanya kebebalan moral umat manusia. Eksistensi-Nya bukan persoalan kesekian yang diperhitungkan kala rakyat sudah tidak percaya lagi atas kepemimpinan yang diberikan.

Kepercayaan atas pemimpin meredup sehingga demokrasi (syura) ternoda karena suara rakyat bukanlah suara Tuhan. Lebih tepat jika suara pejabat adalah suara Tuhan! Vox vopuli vox dei hanya sloganistik, pajangan konstitusional, dan buah bibir saja. Tidak mewujud dalam bentuk aksi kenegaraan. Tanpa menempatkan kepentingan publik di atas segalanya, bukanlah pemimpin namanya. Melainkan penguasa congkak yang menganggap Negara milik sendiri. Alih-alih berempati, mereka akan menjauh dari falsafah hidup ikhlas (sepi ing pamrih). Berputar haluan mengarah pada falsafah hidup riya’ (rame ing pamrih).

Pemimpin beriman adalah yang mampu meresapi pesan dari-Nya sbb, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”(QS. Al-Hasyr [59]:18).
 
Idealnya, bangsa ini membutuhkan pemimpin yang rela sengsara lebih dahulu sebelum rakyatnya sengsara. Tetapi, itu tidak mungkin terjadi di Indonesia dan Negara manapun. Benarkah, kehadiran pemimpin Indonesia yang penuh keteladanan (exemplary center) hanya penantian absurd yang membosankan rakyat? Mudah-mudahan tidak terjadi!