“Kaum Milenial” yang Bukan Ancaman Demografi!

Notification

×

Iklan

Iklan

“Kaum Milenial” yang Bukan Ancaman Demografi!

Senin, 02 November 2020 | 16:39 WIB Last Updated 2022-09-09T01:43:03Z

Banyak banget ekonom yang menyebut Indonesia ialah salah satu Negara yang digadang-gadang akan menikmati bonus demografi dari pertumbuhan generasinya. Tentunya, kabar ini menggembirakan kita karena bonus demografi akan menguatkan posisi bangsa di dunia dalam bidang ekonomi. 
 
Tak berlebihan jika pemerintah terus menggencarkan etos inovasi dan kreativitas generasi muda pembangun bangsa sehingga menjadi warga negara yang produktif, berdayasaing, dan mampu berjoget di era global untuk membangun Negara Indonesia.

Namun, disamping kabar gembira tersebut, nyempil kabar tak sedap, karena pada satu sisi jumlah generasi muda yang disebut kaum milenial ini, terdapat wabah ancaman bagi perekonomian di masa mendatang. Kalau generasi milenial mampu bersenyawa dengan perkembangan teknologi, yang mahir menggunakan perangkat teknologi, dan mampu berdaya untuk kreatif di masa depan, tentunya pertumbuhan mereka akan menjadi bonus demografi. 
 
Tetapi sebaliknya, apabila generasi milenial tidak mampu bersenyawa dengan zaman dan perangkat teknologi, serta hanya menjadi konsumen dan pengguna produk teknologi; tentunya hadir mereka di Indonesia akan menjadi bonus demografi.

Dalam survei yang dilakukan Asosiasi Penyelenggara Jaringan Internet Indonesia (APJII) menemukan bahwa lebih dari setengah penduduk Indonesia telah terhubung ke internet. 
 
Sepanjang 2016, mereka menemukan bahwa 132,7 juta orang Indonesia telah terhubung ke internet; sedangkan total penduduk Indonesia sendiri sebanyak 256,2 juta orang. Mereka notabene menggunakan perangkat telepon genggam dalam mengakses internet; yakni sekira 67,2 juta orang (50,7 persen) mengakses melalui perangkat genggam dan computer; sebanyak 63,1 juta orang (47,6 persen) mengakses dari smartphone; dan sekitar 2,2 juta orang (1,7 persen) mengakses hanya dari komputer. Dari sisi demografik, mayoritas pengakses tersebut berada di Pulau Jawa sekitar 86,3 juta orang (65 persen) dari total pengguna.

Fakta datawi di atas, tentunya membuat kita miris di satu sisi dan gembira di sisi lain, karena telah menjadi fakta sosial bahwa generasi muda kita telah begitu kecanduan dengan perangkat teknologi, yang bisa dilihat dari perkembangan media sosial. Ekpresi dan aktivitas kaum muda lebih intens di Facebook, Twitter, Instagram dan medsos lain. Saking adiktifnya mereka terhadap produk teknologi, ada adagium yang berkembang di kalangan muda, “HIDUPKU TAK BISA BERJAUHAN DENGAN GADGET.”

Prof. Rhenald Kasali, seorang pakar manajemen perubahan dalam buku terbarunya, Strawberry Generation (2017) mengatakan bahwa mereka secara tampilan sangat sedap dipandang, tetapi rapuh di dalam mentalnya, sehingga ada kemungkinan bila dibiarkan, maka pada masa depan mereka akan menjadi loser saat bersaing dengan bangsa lain.

Bila pola digital culture generasi milenial hanya menjadi konsumen, di masa depan mereka hanya akan menjadi seorang warga negara yang tidak bisa ngapa-ngapain, bermental pecundang sebelum bertarung, cerewet di medsos dan menjadi wabah ancaman demografi bagi Indonesia. Jikalau kita membiarkan mereka kehilangan daya kreativitas, inovasi, dan literacy culture dalam merespon perkembangan zaman dan teknologi, insyaallah mereka di masa depan hanya menjadi konsumen saja.
 
Ada tiga hal yang perlu kita perhatikan mencermati kaum milenial ini. 

Pertama, konsumsi informasi menjadi pokok. Persoalan ini kerap menjebak generasi muda tidak kritis terhadap isi pemberitaan dari media meskipun mereka bisa menjadi seorang pembuat informasi. 

Kedua, persoalan ekspresi generasi milenial. Jika kita tidak visioner hanya latah terhadap perkembangan teknologi, tentunya akan terjebak kepada gaya “tuturut munding”, bukan menciptakan secara inovatif dan kreatif, sehingga yang dikejar ialah dunia citra; seperti kebanyakan selfie yang tak produktif. 

Ketiga, persoalan milenial baper dan caper. Dua kategori ini tak bisa kita tolak pada era medsos sebagai teman karib mereka. Milenial baper, biasanya mereka hanya curhat di dalam media sosial, sedangkan milenial caper, cenderung membuat sesuatu yang kreatif untuk mencuri perhatian si followernya. 

Karena itu, sebagai salah satu kaum milenial yang lahir tahun 82-an, saya imbau wahai kaum milenial, manfaatkan perkembangan teknologi untuk kepentingan memperkaya pengetahuan, daya produktivitas, dan kreativitas dalam diri, sehingga menjadi bekal untuk pertumbuhan ekonomi Indonesia di masa mendatang.