Everett M Rogers dalam buku Communication Technology (1986) mendefinisikan masyarakat informasi sebagai masyarakat yang sebagian besar warganya bekerja sebagai pekerja informasi, yang memperoleh nafkahnya dari memproduksi, mengolah, menyebarkan informasi dan memproduksi teknologi informasi.
Betul bahwa membela Negara harus dilakukan sepanjang hayat. Dalam konteks masyarakat informasi, kesadaran bela Negara harus dipupuk hingga melahirkan kreasi dan inovasi untuk kemajuan Negara-bangsa (nation-state). Kita harus melahirkan kesadaran berindonesia dalam diri dengan menelorkan karya kreatif mengedepankan konten kekayaan budaya Nusantara.
Bagi kalangan muda, kesadaran berindonesia itu tidak harus mencelubkan diri di dunia politik praktis. Tapi, pada kemampuan berkarya di bidang yang digelutinya masing-masing. Entah itu di bidang ekonomi, sosial, keagamaan, kemasyarakatan, bahkan untuk konteks kekinian, ada banyak kalangan muda yang menghasilkan karya kreatif di bidang teknologi komunikasi dan informatika.
Jakob Oetama dalam artikel: "Meraih Peluang Industri Kreatif" (Kompas, 24/10/2008) mengatakan, industri kreatif berkontribusi terhadap pendapatan domestik bruto (PDB) tahun 2002-2006 sebesar Rp. 104, 6 triliun atau 6,3 persen dari total PDB Nasional. Hebatnya lagi, dari 14 subsektor industri kreatif di Indonesia nilai ekspornya mencapai Rp. 81,4 triliun atau 9,3 persen dari total ekspor Nasional.
Bahkan, katanya, penyerapan tenaga kerja di bidang industri kreatif mampu menyerap 5,4 juta tenaga kerja. Tak heran jika pendiri harian Kompas dan tokoh pers nasional ini menganjurkan Indonesia untuk mengembangkan industri kreatif. Sebab, industri semacam ini dapat berkontribusi bagi perekonomian bangsa, menciptakan iklim bisnis yang positif dan membangun identitas bangsa.
Oleh karena itu, terus memacu diri mengeluarkan bangsa dari aneka penjajahan laten adalah keniscayaan. Sebagai tanda kita bangsa yang beradab, salah satunya dengan cara menelurkan karya kreatif. Misalnya, indsutri kreatif di berbagai subsektor, yang mengadopsi kekayaan budaya lokal dicetuskan merupakan wujud bela Negara di kancah internasional. Salah satunya adalah kreasi kalangan muda Indonesia yang merancang kode digital dalam pembuatan batik yang bisa dicetak jarak jauh menggunakan rumus matematika Fractal.
Itu sebagian kecil dari daya kreatif anak muda kita, yang jika dikelola akan menghasilkan kekuatan ekonomi bangsa ke depan. Sebetulnya, Negara kita menyimpan kekayaan budaya yang bisa dijadikan konten lokal dalam membangun industri kreatif. Apalagi dengan jumlah penduduk terbesar ketiga di dunia. Momentum bela negara semestinya jadi perantara mengangkat bangsa agar bisa sejajar dengan bangsa luar.
Maka, yang terpenting saat ini adalah bela negara tidak saja dengan mengangkat senjata. Tapi, dengan mengangkat bangsa dari keterpurukan di bidang ekonomi dengan menelurkan gagasan-gagasan cemerlang, bergelut di industri kreatif. Disamping itu, memodali diri dengan semangat yang memberdayakan sehingga tercipta kesejahteraan hidup juga harus tetap dipupuk dalam diri.
Maka, di hari ini, semestinya kita mengembara ke alam bawah sadar, memperkokoh keindonesiaan kita sehingga bisa melahirkan karya kreatif agar bangsa lebih tersejahterakan. Sebab, musuh bersama yang harus diusir dari Negara Indonesia saat ini adalah persoalan ketidaksejateraan yang diakibatkan minimnya penghargaan pemerintah terhadap kreasi dan inovasi anak-anak negeri.
Mudah-mudahan ke depan, bangsa kita dapat menyejajarkan diri dengan bangsa lain, karena realitas kenegaraan kita lebih kaya dengan potensi-potensi lokal. Dan, di Negara lain hal itu susah diperoleh. Kalau kita bisa membela negara dengan berkreasi memanfaatkan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, tidak relevan kalau masih mengangkat senjata membela negara tercinta. Itulah tujuan inti dari membela Negara Indonesia.
(Artikel ini dimuat di Harian Tribun Jabar, 03 Januari 2009)