Berlapang Dada Tanda Kemenangan Diri

Notification

×

Iklan

Iklan

Berlapang Dada Tanda Kemenangan Diri

Selasa, 27 April 2021 | 21:22 WIB Last Updated 2022-09-09T01:42:39Z

Seorang anak manusia berjalan di tengah hutan belantara. Menengok kanan-kiri di sepanjang perjalanan terhampar pohon pinus. Ia menginjakkan kakinya di hutan belantara sedang “berada” di sebuah ruang yang luas. Ruang adalah sebagian dari sepertiga bumi yang kita injak. Menunjukkan tempat bersikukuh umat manusia.


Akan tetapi, ketika anak manusia itu berjalan dari kaki hutan ke puncak hutan, ia sedang menggunakan waktu. Waktu adalah putaran sekumpulan detik yang bergelembung membentuk menit dan jam, bahkan hari, bulan dan tahun. Anak manusia itu sedang mengatur gerak waktu agar sampai di tujuan sesuai rencana.

Maka ketika sampai ke puncak hutan meleset dari perkiraan, mengulanginya adalah tindakan yang lucu dan menggelikan. Perjalanan hidup, umpamanya, ketika terantuk kegagalan bukan harus diulang kembali. Tapi, untuk direnungkan dan direfleksikan seapik mungkin. Hidup menurut saya, adalah kumpulan kemungkinan yang terjadi tanpa kita duga. Tuhan memberikan hati nurani agar manusia sadar bahwa apa yang diprediksinya tak seratus persen absah.

Oleh karena itu, kelegowoan atau berlapang dada bisa menjadi obat penenang bagi orang-orang yang gagal. Ketika manusia tidak sadar bahwa ada sejuta kemungkinan yang akan menimpa, ia akan menjadi manusia rapuh. Ketidakpercayaan diri, ketidakpuasan atas hasil, dan kemarahan akan terus menghinggapi hati. Akibatnya, ia menjadi manusia yang merasa dirinya sempurna dan tak bercacat sehingga tak pantas gagal.

Ruang dan waktu yang tercipta untuk kita – dengan sejuta kemungkinan – memang harus dimanfaatkan sebaik mungkin. Munculnya landasan teoritik dalam ilmu filsafat, sosiologi, antropologi, psikologi, dan sebagainya merupakan buah dari penghargaan terhadap kemungkinan itu. Ketika menelaah manusia, muncul ilmu sosiologi karena ilmuwan mengakui kemungkinan bahwa manusia itu makhluk yang senang berinteraksi. 

Pun begitu dengan kemunculan disiplin psikologi. Seorang manusia memercayai di balik tingkah laku manusia terselip dorongan-dorongan dari jiwa. Jadi, dengan kemungkinan-kemungkinan itu manusia bisa melahirkan sesuatu yang sampai hari ini sangat bermanfaat untuk peradaban.

Demikian juga dengan selesainya pemilihan pemimpin di Jabar. Ada ruang dan waktu yang terisi dan tidak tersia-siakan. Nafas kita, kedip mata kita, langkah kaki kita, gerak badan kita; semuanya menyatu bergelayutan melakukan aktivitas politik selama beberapa bulan. Calon yang satu yakin akan memenanginya, tapi “hukum kemungkinan” terjadi. Ternyata calon yang tidak diunggulkan yang menang.

Namun, di tengah problem sosial yang terus menghitam, dengan kemiskinan yang mencapai lebih kurang sekitar 108 juta jiwa, bangsa kita tengah berada pada sisi tanduk kehancuran. Kesia-siaan meruang dan mewaktu ini – meminjam kisah Film Ayat-Ayat Cinta – laiknya si Maria yang berjuang melawan rasa sakit hingga ujung hayat. 

Apakah bangsa kita akan bernasib sama dengan Maria? Ia menderita, bahagia, dan harus berpisah dengan pelabuhan cintanya karena tak kuasa menahan sakit yang diderita.

Posisinya sama dengan rakyat Indonesia yang harus terus menderita, bahagia sesekali (ketika pemilihan kepala daerah saja); akhirnya harus merepresi cita-citanya meraih kesejahteraan. Sebab, hanya diingat kala kampanye saja. Kita – bangsa plural dan multikultural – sudah selayaknya bergerak untuk mengeluarkan diri dari vivere pericoloso (hidup yang menyerempet) dan berbahaya, berlari menuju ke kehidupan yang cerah-benderah.

Oleh karena itu, mari bergerak untuk pencerahan peradaban bangsa. Menjemput hari esok yang dipenuhi cahaya optimisme. Maka, kehidupan yang dihiasi kecemerlangan sisi kemanusiaan dan sisi spiritualitas ialah keniscayaan yang mesti kita hunjamkan dalam kesadaran terdalam sebagai bangsa besar. 

Berlapang dada menerima kekalahan agar bisa menang pada kemungkinan-kemungkinan yang lain adalah tanda bangsa besar itu. Bangsa yang bisa memanfaatkan ruang dan waktu seapik dan serapih mungkin seperti yang dilakukan pendaki gunung di atas agar pendakiannya tak sia-sia. Ia tidak kecewa kendati apa yang diperkirakannya tak nyata terjadi.