Cerpen: Batinku Berarti Garang!

Notification

×

Iklan

Iklan

Cerpen: Batinku Berarti Garang!

Senin, 19 April 2021 | 22:55 WIB Last Updated 2022-09-09T01:42:41Z


Malam itu jarum jam dipergelangan tanganku terpaku menunjuk pukul 22 lewat 10. Andai saja dijumlahkan, maka akan menghasilkan angka yang teramat pantastik yakni rentang masa otoriterianistik “orde baru”. 22+10=32.

Di depan teras toko telentang tubuh kaku bersimbah keringat sembari berusaha menidurkan seorang anak usia dini berusia 8 tahun. Tubuh kering kerontang kakek tua itu menambah kedukaan dan kepiluan diriku kembali bergeliat tanpa kendali, terhadap kondisi bangsa dan Negara yang sedang oleng diterjang pelbagai krisis. 

Krisis yang memulti akibat serangan bertubi-tubi bencana alam, krisis moneter, dan penggasakkan uang rakyat oleh pejabat jahat dan korup.

Begitulah kondisi Negara Indonesia. Kendati telah berganti pimpinan tetap seperti dulu kala. Ingin rasanya aku berontak melawan sistem yang telah sedemikian melenceng jauh diejawantahkan kaum elit yang tersenyum riang tatkala rakyat jelata menjerit-jerit.

Bahkan di daerah Bandung, perna ada puluhan kepala keluarga kesusahan mencari bahan penjejal perut, karena rawan daya beli dan keacuh tak-acuhan warga. Mereka juga seakan tak berkutik memenuhi tuntutan cacing-cacing yang berteriak kukurubukan.
Berontak!

Mungkin itulah selintas bahasa yang kerap dijadikan ikon sakti pemberontakan terselubung “kaum oposan” yang mencoba mengobrak-abrik segala kepongahan para begundal yang haus akan hasrat kekuasaan. Lima tahun, sepuluh tahun dan seterusnya tak akan pernah bisa merubah nasib si kakek tua yang sedang tidur-tiduran di teras itu. Seorang penduduk yang tak pernah merasakan nikmatnya kekayaan alam, seorang pejalan kaki yang mencari sesuap nasi, dan seorang kakek tak berisikan materi.
Ah..tak jadi kalau aku berontak melawan sistem tiranik, karena aku takut memuaikan ikatan kuat yang mengintegrasi seluruh bangsa di Negara Indungsia.

Ah..tak mungkin pula rasanya kalau aku mesti mengorbankan jutaan nyawa tak berdosa hanya untuk memperjuangkan idealisme buta. Apalagi, mesti memaksakan kehendak bahwa idealisme yang aku pegang wajib dianut oleh seluruh rakyat. Itu namanya pemaksaan sebagai wujud dari sifat kekanak-kanakan yang dahulu kala direpresi sampai ke alam bawah sadar dan sekarang berganti wujud ke bentuk nihilistik, skeptis, pesimistis dan antiintegrasi.

Sekarang juga, egoisku membuncah keluar merayap lewati aliran darah, seakan tak tertahankan menerobos relung-relung jiwa paling dalam untuk berontak. Segera aku nyalakan sebatang rokok, hanya untuk melepas ketertekanan jiwa. Lantas, ku tawari kakek tua berbaju lusuh itu sebungkus rokok, hanya untuk menghangatkan tubuhnya yang kedinginan oleh terpaan angin malam yang maha mengganas. Bukan angin Tornado namanya, melainkan angin malam yang bisa memuncratkan pelbagai penyakit di jasad.

“hatur nuhun, jang! “jawab kakek itu sambil menjulurkan tangan berbalutkan kulit keriput ke arah rokok berbaju kardus (baca: bungkus)”.

“Sepuh…”, bibir kempot nan keriput kakek tua itu mengingatkanku pada ketakabadian hidup. Apalagi ketika dia mulai menghisap dan mengeluarkan kepulan asap rokok ke arah jalan raya yang sesak dipenuhi hilir mudik kendaraan. Sungguh amat terasa guratan wajah yang menggambarkan kegelisahan rasa, kegundahan jiwa dan penuh dengan anasir-anasir keputusasaan itu tervisualkan secara nyata dihadapan.

Andai saja para dedemit jelmaan dan siluman sungai Cimanuk nun jauh di sana berkesadaran, bisa jadi sikap-sikap apologetik ketika melakukan tindakan korup dan jahat akan segera ditanggalkan. 

Menanggalkan kemilau indahnya mobil Mercy, BMW, Peugeout, dan Kijang kapsul, misalnya, ketika di tengah perjalanan dirinya akan bertabrakan dengan mobil pengangkut BBM.

“Kenapa Kakek bisa berada di tempat ini?, pada kemana keluarga yang lain? Lantas, berasal dari daerah manakah kakek ini? “rentetan pertanyaanku ini menghentikan kepulan asap dari mulutnya yang kering.

“Kalau kakek, sih, dari daerah Barindung, keluarga kakek hanya tersisa satu”. Sambil melirik ke arah anak kecil berusia 5 tahun yang sedang terlelap tidur memimpikan makanan siap saji di restoran sebelah kirinya yang dikerubuti orang-orang buncit berduit.

Seraya menghisap kembali rokok yang dipegang erat-erat dengan jari jemari yang bergemetaran, kakek itu pun meneruskan jawaban yang tadi terhenti sejenak.

“Wah.., sejak era reformasi bergulir harga minyak dan beras dikampung melambung tinggi, jadi kakek meninggalkan kampung halaman hanya demi sesuap nasi” lirih terdengar dari mulut kakek tua tak berpengharapan itu.

Mempertahankan hidup dari serangan kanibalis yang memakan kesejahteraan rakyat, dan menghindari taring-taring panjang para drakula penghisap darah kebahagiaan rakyat. Begitulah isi rengekan batin pak tua yang dapat aku cerna dan kerap dieksploitasi tiap lima tahun sekali oleh para calon pamingpin yang berkepentingan.

“Huh…” sambil ku hempaskan tubuh gemuk tak berarti ini, lantas setelah itu aku palingkan wajah ke arah kiri ketika terdengar dendang tetabuhan musik keroncongan dari perut sang kakek tua tak berarti itu.

“Kek.., belum makan ya?”

“Ah..sudah nak, tadi jam tujuh pagi. Tapi kalo malam ini sih, kakek puasa saja. Biar beroleh berkah dan pahala dari Tuhan”. Ujarnya.

Waduh.., kakek ini, kok, dalam kondisi kelaparan juga masih bisa berpikir tentang Tuhan. Akankah Tuhan kakek itu bisa menolong dan memberikan makan hingga lantunan musik dari dalam perut kakek hilang seketika?

Tidak…, nak, tentunya tidak akan pernah Dia bisa langsung turun ke bumi untuk memberiku makan. Tapi, kakek masih yakin hanya dengan perantara manusia utusan-Nya, maka perut keroncongan ini akan segera berhenti bernyanyi ria. Maka, ketika aku meminta-minta di depan trotoar juga, itu hanyalah demi mengais sebentuk rasa kasihan dari manusia yang ber(ke)lebihan. Manusia yang tak merasa tahu dan tidak akan pernah mau merasa tahu kondisi manusia lain tak berarti seperti aku ini.

“Oh.., kasihan juga engkau ini kek”. Jawabku lirih dan sendu betul. “Tunggu sebentar ya, kek, aku ke sebrang jalan dulu?”.

Segera aku bergegas menyebrangi jalan hendak membeli tiga bungkus nasi, satu untuk si kakek, satu lagi untuk anaknya, dan satu bungkus untuk aku sendiri.

Kupandangi wajah-wajah para penyantap makanan di warung itu. Seakan mereka tak pernah mau bergeming sedikit pun menggeliatkan diri menyisihkan sebarang satu bungkus nasi saja untuk disantap oleh sang kakek di depan rumah makan ini. Ketakpedulian mereka pun bagai bebatuan di sungai Cimanuk yang tak pernah bergeming sedikit juga ketika terjangan air menggempurnya. Bahkan lebih dari itu. Mereka pun seakan tak pernah menganggap pak tua itu sebagai seorang manusia seperti halnya diri mereka, bagai “zombie” yang dipenuhi ketakberasaan jiwa dan rasa.

“Kenapa kau mesti peduli pada kakek tua itu, Rang?” Bisik hati kecilku yang tergerus arus keserakahan hingga berani memerangi nurani kemanusiaan yang tertancap kuat di kedalaman diri ini.

Garang, begitulah nama asliku. Namun, aku juga agak sedikit ragu-ragu akan makna absolut dari kata Garang. Sebuah perangai yang menggambarkan sisi kejiwaan penuh keamarahan, kebengisan dan segala tetek bengek keangkuhan yang me-maha ganas.

Tertunduk lesu ku tambatkan luka hati akibat serangan bertubi-tubi dari ketakpedulian rasa kecilku ini. Meski ku lawan sekuat tenaga anasir-anasir tak berkepudilan itu, namun, rasa itu masih tetap berseliweran bagai segerombolan burung Walet yang sedang beterbangan kian ke sana kian ke mari mencari sarang untuk tempat beristirahat.

“Jangan belaga sok dermawan, Rang!!!. Kamu ini hanyalah orang kecil yang lunglai-lemah tak berkemampuan. Dia kau tolong, esok lusa kau mampus tertusuk penderitaan”. Sergah sang ego keserakahanku menembakkan misil-misil pertanyaan yang menyudutkan hingga jiwa ini bergolak memanas menggelegar menciptratkan keraguan.

“Sialan, kau masih juga tak puas menggangguku. Apa yang sebetulnya kau harapkan dariku wahai jasad?”. Baju bermerek luar Nagrek kah, sepatu berlabel Negara antah berantah kah, ataukah kilau gemerlap perhiasan dunia kah?

Kontan saja, dia hanya bisa berbisik tersendat-sendat. Pengap, sesak dan jengah akibat impitan kuat rasa kemanusiaanku. Terkelupaslah dia dari kedalaman jiwa, meninggalkan kesucian ruhani untuk menempeli nafsu-nafsu jasadi manusia lain. Bablas angine, aku berseloroh kegirangan.

“Semuanya jadi berapa, mbak?”. Ku rogoh duit yang hanya tersisa 20 ribu, karena ruang dan waktu menggusur pada bulan akhir. Bulan kehampaan dan penderitaan yang berlangsung bagi orang-orang tak berduit seperti aku ini.
“12 ribu saja, mas”.

Kemudian, satu-satunya duit kesayangan itu ku sodorkan kepada si mbak tukang warung nasi. Dia pun seraya mengumbar senyuman, berkata agak sedikit genit: “makacih, mas”. Huh.., dasar !!!

“Wah, kemana perginya kakek itu? Jangan-jangan? Jangan-jangan?”

Setelah sekian ratus jalan, gang dan trotoar ku susuri, kakek tua kusut dan berwajah kalangkabut itu pun tak terlihat batang hidungnya. Bahkan, bau badannya juga menghilang seketika diterpa angin malam Barat yang membuat aku kewalahan tiada tara.
Lelah, letih, lesu, dan lunglai aku terbujur kaku menghadap gedung-gedung tua bertingkat tiga di Kota Barindung yang katanya Agung dan luhung ini.

“Andai saja kuberikan uangnya kepada kakek tua itu, aku kira pasti bermanfaat”. Tidak seperti saat ini. Karena perut gemukku tak akan pernah mampu melalap habis tiga bungkus nasi stelan (baca: gaya) tukang becak seperti ini. Ah, kau ini memang tak pernah berarti Garang!!!”.

Tiba-tiba muncul suara bergetar dalam jiwa dan rasa, menggelegar tak terkira, seakan merobek gendang telinga kiriku yang tuli tak mendengar. Menderu, merembet, dan mendongkrak kesunyian malam yang terputar ulang pada pukul 2 lewat 30. Lagi-lagi, jumlah keseluruhannya adalah 32.

Mungkinkah kalau hal ini pertanda dari keotoriteranku, yang sebentar lagi menginjak usia 32 tahun? Ah, tak mungkin betul. Itu hanyalah bisikan-bisikan kecil saja.
Jangan pernah kau ragukan rasa kemanusiaan ketika uluran tangan itu hendak mengangkat ketersiksaan orang lain. Jangan pernah sekalipun kau perangi rintih pedih suara batin yang menyesatkan dan menghalang-halangimu hingga menghilangkan sepercik rasa kepedulian.

Semestinya, rasa dan jiwa kau saat ini tak sedang berperang. Karena peperangan yang mendahsyat bakal mengganyang rasa kemanusiaanmu dan memperlambat kecekatan jasadmu untuk berbuat baik.

“Siapa lagi kau ini, bangsat?”

“Aku adalah balatentara jiwa yang merasakan kepedihan kaum papa dan mengalami ketersiksaan cemeti bercangkang kepura-puraan. Aku adalah kau dan kau adalah aku. Seharusnya kau bisa menarik ulur posisi kakek itu menghadap ke arah diri sendiri, secepat kilat menyambar tanpa hambatan apa-apa.

Selesaikanlah Rang, perang dibatinmu itu”.