Harmoni Sunda dan Jawa

Notification

×

Iklan

Iklan

Harmoni Sunda dan Jawa

Selasa, 20 April 2021 | 04:12 WIB Last Updated 2022-09-09T01:42:40Z


Dua etnis terbesar di Nusantara, Sunda dan Jawa, memiliki keterkaitan historik sehingga salah satu diantaranya seringkali mendominasi narasi kebudayaan. Sebagai suku terbesar di Indonesia, Jawa telah memberikan upaya pembentukan terhadap kebudayaan Sunda kiwari. 

Dari mulai bahasa, kesenian, dan tradisi keagamaan tak luput dari invansi narasi kebudayaan Jawa. Ini logis terjadi. Sebab, etnik Jawa selain memiliki akar kekuasaan yang kuat, juga memiliki akar kebudayaan yang kokoh; terbukti dengan banyaknya karya besar wong Jawa.

Wayang golek, umpamanya, merupakan warisan dari etnik Jawa yang telah dikolaborasikan dengan wacana kebudayaan masyarakat Sunda. Secara filosofis, masyarakat Sunda menganut filsafat empiris-praktis, tidak menganut filsafat spekulatif-visioner dan ber-epistem metafisik seperti halnya etnik Jawa sehingga seniman wayang pada waktu itu perlu melakukan upaya hibridasi kebudayaan. 

Alhasil, lahirlah seni pertunjukkan wayang golek yang lebih mendekati bentuk manusia dan menjadi pavorit masyarakat post-tradisional di Jawa Barat saat ini sebagai wujud dari penyatuan dua kebudayaan Sunda dan Jawa.

Hargai keanekaragaman budaya


Levi-Strauss (Ras dan Sejarah, 1999), seorang antropolog dan filosof, mengatakan bahwa keanekaragaman budaya merupakan keniscayaan dan tidak bisa dinyatakan sebagai primitif atau rendah, bahkan menyebutnya liar. Sebab, kebudayaan itu secara eksistensial memiliki khazanah tersendiri namun ada “kesamaan” antara yang satu dengan yang lainnya. 

Ini mengindikasikan, etnik tertentu memiliki kebudayaan yang ragam dan majemuk, dan untuk konteks wilayah Jawa Barat tidak bisa dipukul rata bahwa Sunda adalah kebudayaan tinggi, sementara itu kebudayaan non-Sunda rendah sekali.

Secara eksistensial, Sunda tidak lebih baik daripada Jawa. Pun demikian, Jawa juga tidak lebih baik daripada Sunda. Kedua etnis ini dan etnis-etnis yang hidup di pulau Jawa merupakan ekspresi dari pengalaman hidup lokal masyarakat dan mewujud jadi kebudayaan yang berbeda satu sama lain. Ia (tradisi lokal) akan menjadi local wisdom tatkala nilai-nilai, simbol-simbol, ilmu pengetahuan dipresentasikan ke dalam tataran praksis kehidupan secara beragam untuk menyelesaikan pelbagai kerusakan yang diakibatkan laku manifulatif manusia modern.

Namun, karena manusia adalah makhluk yang sedang berproses menjadi beradab dan bijaksana, kadangkala tergoda untuk memaksakan anutan budaya, politik, agama, dan ideologinya kepada orang banyak secara rigid dan kaku. 

Pada posisi demikian, moment penghargaan budaya, seringkali diberikan dengan “bias etnosentris” kepada budaya lain yang berkembang di daerahnya. Para petinggi pun tak mau kalah, umpamanya, melegitimasi pemberian hadiah penghargaan untuk melestarikan kebudayaan sukunya sendiri.

Oleh karena itu, kita baru sebatas mampu berbijak kepada diri sendiri. Kepada tradisi lokal sendiri, kepada penganut agama sendiri, kepada pemegang ideologi yang sama dengan dirinya sendiri, dan segala sesuatu yang menggambarkan diri sendiri. Istilahnya, bijak “sini” bukan bijak “sana”. 

Mengapa? Karena untuk menjadi manusia yang bijak kepada orang di luar diri kita, membutuhkan keberadaban laku-kata dan pikir.

Manusia seperti ini dalam khazanah ajaran Islam, seringkali disebut dengan kaum arifin, yakni mengacu kepada orang-orang yang berwawasan luas. Seluas samudera. Maka, untuk menjadi manusia yang berkebijaksanaan tinggi, kita harus arif-beradab-dan bijaksana. Kalau kita tidak mampu menghargai suatu epistemologis kebudayaan di luar pemahaman kebudayaan diri sendiri, secara eksistensial kita tidak patut disebut sebagai manusia berkebijaksanaan. 

Sebab, manusia yang bijaksana adalah manusia yang bisa men-tajalli-kan sifat-sifat mulia dan lembut dari Tuhan. Ketika Tuhan menjadi rahmat untuk alam semesta, kehadirannya di muka bumi juga menjadi rahmat bagi alam sekitar. Itulah manusia yang dipoles dengan kebijaksanaan. Model manusia narsis adalah alamat yang cocok disematkan buat manusia yang berbijak pada diri sendiri, sedangkan pada manusia di luar diri dan komunitasnya, ia nyarekan lak-lak dasar.

“Anomali” Kesundaan


Menurut almarhum Kuntowijoyo (2005: 8) ketika kebudayaan kehilangan fungsinya karena tidak didukung lembaga-lembaga sosialnya, akan mengakibatkan terjadi semacam “anomali kebudayaan” yang berujung pada merebaknya konflik. Gejala sosial seperti ini, misalnya konflik antar suku, merupakan bentuk dari ketidakberfungsian atau “anomali” kesundaan sebagai wujud narsis terhadap kebudayaan sendiri sehingga merendahkan budaya lain. 

Model manusia narsis adalah alamat yang cocok disematkan buat manusia yang berbijak pada diri sendiri, sedangkan pada manusia di luar diri dan komunitasnya, ia nyarekan lak-lak dasar. Maka keberadaan media cetak mutlak mengusung wacana diversitas agar setiap warga di Jabar “melek kebudayaan”, sehingga dapat mengarifi keberbedaan yang pasti terkandung di setiap kebudayaan. 

Media cetak kalau hendak menempatkan eksistensinya sebagai lembaga mediasi wacana multikulturalisme di Jabar menjadi keniscayaan tak nisbi untuk menggali, melestarikan dan mengenalkan keterserakan selain budaya Sunda kepada warga Jabar yang multikultural dan plural. 

Setelah masyarakat Jabar mengetahui informasi dan memiliki keluasan wawasan karena membaca media cetak tersebut, kebudayaan pun akan berfungsi sebagai pendukung terciptanya kembali peradaban bangsa yang berlapang dada atas perbedaan ke depan.

Hal di atas sesuai dengan garis konstitusional dalam pasal 6 UU Pokok Pers No. 40/1999, yang menyatakan Pers harus menjalankan peran sbb: 1). Memenuhi keingintahuan masyarakat, 2). Menegakkan nilai-nilai demokrasi dan hak-hak asasi manusia serta menghormati kemajemukan, 3). Memberikan informasi secara tepat, akurat dan benar, 4). Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran untuk kepentingan publik, dan 5). Memperjuangkan keadilan beserta kesejahteraan.

Oleh karena itu, kebudayaan lokal ketika diinterpretasi secara kontekstual akan menjadi mediator memulihkann krisis peradaban dan kerusakan ekologis yang diakibatkan manifulasi masyarakat modern – yang banyak mendewakan alur pikir positivistisme an sich. Kearifan lokal (local wisdom) dengan kejamakan atau kemajemukan yang melingkari realitas sosio-kultural, akan berfungsi sebagaimana mestinya, ketika media cetak mengangkat khazanah budaya lokal secara berimbang.

Ketika dalam keseharian warga Jabar mengkarabi diversitas kebudayaan mereka akan membijaki setiap perbedaan pendapat, pemahaman, budaya, ideologi, dan bahkan agama. Alhasil, tidak akan terjadi semacam “anomali kesundaan” dalam individu yang mengaku urang Sunda ketika melakukan interaksi dengan etnik lain di lingkungannya. Sebab, Jawa adalah saudara tua yang harus diakui memiliki akar kekuasaan dan kebudayaan yang berbeda dengan Sunda.