Makna Idealitas Kebahagiaan di Dunia

Notification

×

Iklan

Iklan

Makna Idealitas Kebahagiaan di Dunia

Selasa, 20 April 2021 | 19:56 WIB Last Updated 2022-09-09T01:42:40Z


Pemikiran Confucius, banyak membahas bagaimana hidup yang baik bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan. Pemikirannya sering dianggap doktrin agama oleh para pengikutnya. Kebahagiaan dalam ajaran ini adalah meniadakan kebutuhan material dan rasional. 

Berbeda dengan Aristoteles yang berpendapat, kebahagiaan merupakan tujuan manusia yang dapat dicapai apabila menjalankan fungsi khasnya sebagai makhluk rasional. Manusia akan merasa bahagia apabila ia menjalankan hidup dengan segenap keutamaan rasio.

Menurutnya hidup yang sempurna lebih bersifat rasional dan material. Bisa dilihat dari semua hal yang baik seperti kesehatan, kekayaan, persahabatan, pengetahuan, dan kebajikan. Jadi kebahagiaan dalam perspektifnya adalah sesuatu hal yang final dan mencukupi sendiri secara kasat mata. 

Upaya meraih kebahagiaan merupakan proses terus-terusan mengumpulkan kebaikan, ability, kepandaiaan, kepiawaian, kehormatan, kecantikan dan persahabatan.

Pandangan dan pemahaman terhadap kebahagiaan terus merujuk kepada agama dan filsafat. Plato mengatakan pencarian yang tekun atas kebenaran adalah: ia harus melepaskan diri dari urusan jasmani dan kecenderungan terhadap pemikiran rasional. 

Dengan melepaskan diri dari tubuh yang kasat mata, manusia dapat menghadirkan realitas sebagaimana adanya mati-pada-dunia yang berdaging. Itulah teknik cerdas Plato dalam “memfanakan diri” kepada sesuatu yang lebih luhur dan transenden.

Melalui kefanaan, manusia dapat menemukan kemutlakan yang mutlak atau sesuatu yang sejati. Suatu eksistensi yang senyatanya menampakkan realitas spiritual sebenar-benarnya. Manusia dapat meraih puncak pengalaman yang tak terucapkan. 

Maksudnya, dapat mencapai kebahagiaan nan abadi. Itu terjadi jika segala yang sempurna, yang menyinari realitas yang tidak sempurna ini dicari melalui ide-ide yang berada dibalik realitas. Nah, kelanggengan etis itu dapat kita selami dan peroleh tatkala mengurai kebahagiaan sebagai konsepsi hidup.

Seperti kisah pengalaman Victor Frangkle di kamp Auzswick dalam buku berjudul Man Search For Meaning. Bahwa ada saatnya seseorang memendam keinginan untuk menggapai puncak pengalaman hidup, yakni terbukanya hijab penghalang kehidupan dengan menemukan makna hidup (Meaning of Life). 

Merujuk pada berbagai pendapat di atas, seorang muslim harus memoderasi dua epistemologis – materialisme kasat mata dan idealisme tak terlihat – agar tercipta keseimbangan hidup.

Ajaran keseimbangan terkandung dalam ayat al-Quran, yang memerintahkan manusia untuk meraih kebahagiaan sejati (duniawi-ukhrawi). Bagi seorang muslim, mengedepankan kelanggengan nilai-nilai substansial ajaran-Nya adalah ejawantah kebahagiaan. 

Artinya, harus memerhatikan kebahagiaan jasmani yang bisa diperoleh ketika secara material memiliki kekayaan, kesehatan, dan kesejahteraan jasadiyah. Sebab, kesejatian pribadi yang idealistik pada konteks kedisinian adalah terciptanya spiritualitas tak mengejawantahkan “asketisme di sana ”. Tetapi “asketisme di sini”.

Kita, tentunya, dituntut piawai mengelola keseimbangan hidup seperti yang telah digariskan oleh-Nya. Kebahagiaan pun akan mewujud “di sini” dan “di sana ”. Di dunia dan di akhirat kelak. Artinya, kebutuhan duniawi-material-rasional dan ukhrawi-ideal-spiritual terpenuhi seimbang. Itulah konsep kebahagiaan hakiki. 

Bersesuaian dengan tumbuh-kembangnya ruang dan waktu yang niscaya mengikuti edaran zaman. Alhasil, kita tidak menjadi manusia yang diperbudak harta, tahta dan jabatan. Manusia model ini akan menelorkan “kotak pandora aktivisme” dengan menerapkan ke-zuhud-an praksis. Tidak dideterminasi kedangkalan realitas duniawi. Juga, tidak asyik menceburkan diri pada keindahan “asketisme nun jauh di sana ” yang bakal meminggirkannya dari realitas sosial yang profan.

Dalam perspektif Baudrillard, kebahagiaan bukan terletak pada pemilikan uang saja. Kebahagiaan terletak pada kegembiraan pencapaian, atau pada getaran upaya kreatif. Karena kebahagiaan terletak pada pilihan kita – yakni getaran upaya kreatif – maka secara moral kita seharusnya memilih bahagia. 

Baudrillard memahami kebahagiaan sebagai kewajiban moral dan juga agama. Sebab itulah, manusia wajib memilih bahagia berdasarkan perintah Tuhan. Berusaha hidup bahagia adalah mengemban misi mulia agama.