Makna Gotong Royong Pasca Kemerdekaan

Notification

×

Iklan

Iklan

Makna Gotong Royong Pasca Kemerdekaan

Sabtu, 22 Mei 2021 | 19:52 WIB Last Updated 2022-09-09T01:42:34Z

Dalam konteks kekinian, dengan kompleksitas permasalahan yang mengimpit, kita mesti berjuang kembali sampai titik darah penghabisan guna mewujudkan keadilan dan kesejahteraan. Meneladani semangat yang terpantik dalam diri para pejuang, kendati mereka harus rela meregangkan nyawa (syahid) demi membela tanah air tercinta adalah medium yang bisa dijadikan pemicu semangat. 

Kita pun mestinya optimis sehingga mampu menanggulangi pelbagai soal yang menjajah, mengimpit dan menghalangi laju gerak sejarah masa depan Indonesia . 

Sebab, kita tahu bahwa pada masa prakemerdekaan, kobaran semangat digunakan untuk membebaskan bangsa dari belenggu penjajahan dan uniknya, mereka bisa meminggirkan “sekat-sekat sosial” hingga para pejuang dari berbagai latar belakang (Agama, budaya, sosial, ekonomi, bahkan ideologi politik) berjuang demi kebebasan dan kemerdekaan bersama.

Misi Pembebasan


Namun, setelah kita merdeka dari penjajahan yang terlihat jelas musuhnya, lantas siapa dan apa yang mesti kita usir dari bumi tercinta ini? Adalah soal kemiskinan, pengangguran, perilaku politik yang degradatif, konflik masyarakat, trafficking, dan ketakmandirian ekonomi bangsa-lah, yang harus diusir para pejuang hari ini. 

Tetek bengek soal itu menuntut kesigapan pelbagai elemen bangsa yang tercerahkan. Dalam bahasa lain, bangsa kita saat ini -- meminjam istilah Ali Syari'ati -- membutuhkan orang-orang cerdik yang tercerahkan (rushan fekran), yakni seorang intelektual atau masyarakat yang bisa hidup di lingkungan kaum jelata dan berusaha mengangkat harkat, martabat dan derajat kemanusiaan mereka.

Implementasi misi kemanusiaan hari kemerdekaan dilakukan untuk satu tujuan mulia, yakni kebebasan dan kemerdekaan dalam menciptakan keadilan dan kesejahteraan bangsa. Selain itu untuk menciptakan kemandirian dalam ranah ekonomi, politik, budaya, dan sosial-kemasyarakatan yang sejak zaman penjajahan selalu dirusak dengan pendekatan politik etis adu domba (devide et envira). 

Di dalam novel bertajuk Aku Pangeran Dipanegara (1967), dijelaskan bagaimana Pangeran Dipanegara alias Antawirya atau Syech Ngabdulrahim, seorang anak bangsa yang berjiwa patriotis-religius melakukan sebuah perlawanan karena ia membenci segala bentuk penjajahan bangsa Belanda dan sekutunya.

Beliau berusaha mempersatukan rakyat dalam sebuah kekuatan dahsyat untuk membuat jera kaum penjajah – kendati cita-cita perjuangannya baru terlaksana tahun 1945 – agar mereka (penjajah) meninggalkan tanah Jawa. Ketika seluruh rakyat bersatu padu, maka muncul kekuatan untuk menentang penindasan dan penjajahan bangsa asing. 

Mereka bersatu, bekerjasama dan bergotong royong melawan kesemena-menaan yang dilakukan penjajah sebagai modal kolektif yang berakar kuat dalam jiwa para pejuang dulu. Mereka bertekad, kami harus merdeka dari segala bentuk penjajahan bangsa luar yang eksploitatif, manifulatif, dan destruktif.

Pengertian Gotong Royong


Berbicara tentang gotong royong, sebetulnya bagi bangsa kita, telah sejak dahulu nenek moyang memiliki harta karun berupa kerjasama dalam menghadapi setiap persoalan yang mengimpit. Budaya “gotong royong” – sebagai sebuah bentuk kolektivisme – ketika terus berada di dalam jiwa rakyat, tentunya akan melahirkan patriotisme yang kukuh hingga mampu melawan kesemrawutan persoalan yang sedemikian me-multi. 
 
Dilansir dari situs resmi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, kata gotong royong adalah bekerja sama untuk mencapai hasil yang diinginkan. Perilaku gotong royong dapat menyelesaikan pekerjaan dan dinikmati hasilnya bersama-sama secara asil.

Begitu juga ketika para pejuang bergotong royong mengusir kaum penjajah, hal itu bisa mengantarkan bangsa meraih kemerdekaan dan memproklamirkannya pada tanggal 17 Agustus 1945.

Seluruh rakyat Indonesia – baik yang gugur di medan perang ataupun yang masih hidup sampai sekarang – merupakan pahlawan yang mesti kita tempatkan sebagai para pejuang kemerdekaan yang harus mendapat perhatian dari pemerintah. Namun untuk konteks kekinian, pejuang bukan (hanya) yang mengangkat senjata. 

Lebih jauh dari itu, yakni seluruh elemen bangsa yang berjibaku mengentaskan keberbagaian soal yang melilit NKRI. Pemberantas korupsi, pengusaha peduli sosial, pejabat jujur, dan seluruh manusia Indonesia yang sadar bahwa dirinya harus berbuat yang terbaik secara kolektif untuk kemajuan bumi pertiwi.

Peraih Nobel perdamaian 2006, Muhammad Yunus, dengan memiliki gelar akademik di bidang ekonomi merasa tergugah ketika dirinya hidup bergiling-gisik dengan masyarakat miskin. Kemudian, dengan kemampuan intelektualnya ia berusaha meramu sistem perekonomian yang memihak rakyat miskin, dan akhirnya berhasil mengangkat sekitar 6,6 juta warga miskin di Negara Bangladesh . 

Sebuah upaya intelektual yang tercerahkan saya pikir dan dia bisa digolongkan sebagai pejuang bagi rakyat Bangladesh . Sebab, pengetahuan teoritik di bidang ekonomi telah beliau aplikasikan dalam tataran praksis sosial.

Beliau tidak mementingkan diri sendiri, tapi melakukan semacam gotong royong atau kerjasama dengan masyarakat untuk mengentaskan kemiskinan yang melilit mereka. Lantas, ketika Muhammad Yunus mengunjungi Indonesia dan Bandung , lantas apa yang bisa kita petik? 

Melupakannya kembali dan kita pun lupa bahwa nenek moyang telah mewariskan modal sosial yang jika dikelola secara cermat akan melahirkan semangat kolektif yang bisa mengeluarkan bangsa dari penjajahan.

Akhirul kalam, mengutip kata-kata Ranta, sang Lurah (tokoh aku dalam novel bertajuk: Sekali Peristiwa di Balik Banten Selatan), mulai hari ini kita harus kerja – kerja buat anak, buat seluruh keturunan! Ayo berdiri semua. Ya, saatnya kita berdiri, berteriak dan bekerja sambil melantunkan nyanyian: sabilulungan (kerjasama) dasar gotong royong. 

Sebab, di kiri-kanan – di negeri Indonesia – ada banyak masyarakat marjinal yang sedang menunggu peran eksistensial para pejuang dan hidupnya budaya gotong royong hingga kita di masa mendatang akan menjadi pahlawan. Abadi perjuangan kita.