Makna Syawal

Notification

×

Iklan

Iklan

Makna Syawal

Kamis, 13 Mei 2021 | 18:07 WIB Last Updated 2022-09-09T01:42:35Z


Ramadan tahun ini telah meninggalkan kita. Namun, suasananya masih tetap terasa. Bahkan masih menempel di katup pikir dan memori kesadaran setiap umat Islam, khususnya yang hidup dan berkarya di bumi Nusantara ini.

Pertanyaannya, akankah semangat keberagamaan kita pada bulan Syawal meningkat atau menguat sehingga memeroleh semacam kebahagiaan hidup, seperti dijanjikan Allah bagi orang yang menunaikan puasa?

Term “syawal” secara etimologis berarti peningkatan. Ini artinya di bulan syawal sisi keberagamaan kita mesti meningkat. Ramainya suasana keagamaan di bumi Nusantara tak seharusnya hanya ketika Ramadan hadir saja. Masjid penuh hanya saat Ramadan, pengajian pun sama, begitu juga dengan aktivitas politik. 

Tak seharusnya setelah Ramadan usai, kita melupakan semangat kenabian dalam seluruh gerak hidup ini. Kumandang takbir, tak hanya bersifat formalitas dan tekstual; melainkan dipahami secara substantif. Artinya, pengagungan terhadap Zat yang Maha Kuasa adalah proses tanpa henti.

Khalid Muhammad Khalid dalam buku, Tentara Langit di Karbala (Mizania, 2007), mengatakan kenabian berbeda dengan kerajaan. Kenabian lebih suci, jika dibandingkan dengan kerajaan yang dinastik. Sebab, kenabian berasal dari wahyu, bimbingan, dan keadilan. Sedangkan, kerajaan diinisiasi nafsu berkuasa dan ambisi membabi buta. Maka, kekuasaan yang dibingkai semangat kenabian semestinya bukan ladang pembantaian; bukan juga pencipta huru-hara, tapi sebuah amanah suci dari-Nya untuk mencipta keharmonisan.

Idulfitri kemarin, kesadaran kita dijentik. 
Mungkin Tuhan sedang menjentik eksistensi kita. Dia mencoba mengingatkan bahwa “ego keserakahan” sedemikian akut menyergap laku kita. Puasa yang seharusnya dijadikan ritual mengasah kepedulian, tidak kita hayati sungguh-sungguh.

Kalau saja kita memenangi pertempuran dengan kesombongan di bulan Ramadan, tidak ada salahnya kalau hendak membagi angpaw, dilakukan dari pintu ke pintu. Pemimpin yang baik adalah seorang manusia yang tidak mementingkan diri sendiri, namun mementingkan orang banyak.

Kali ini, dengan berusaha menyentuh relung hati kita yang terdalam. Cobalah sentuh hati kita dengan menumbuhkan kembali ’sense of crisis’ dalam diri. Kemiskinan ada karena masih berkeliaran “ego keserakahan” dalam diri segelintir manusia. Belenggu keserakahan sedemikian menggurita mencengkram jiwa, hingga pengemis pun dilarang di bumi Nusantara. 

Sedemikian serakahnya kita, hingga tak sudi memberikan uang receh bagi si miskin, yang siapa tahu mereka mengemis karena di negeri kita susah mencari pekerjaan? Susah mencari modal untuk membuka usaha? Bahkan, susah menjadi manusia sejahtera?