Pers Sunda, Perlu Penyegaran Baru

Notification

×

Iklan

Iklan

Pers Sunda, Perlu Penyegaran Baru

Selasa, 18 Mei 2021 | 23:13 WIB Last Updated 2022-09-09T01:42:35Z



Sebagai warga Sunda pituin saya pikir perlu upaya penyegaran di tubuh penerbitan pers berbahasa Sunda. Penyegaran tersebut terletak pada kemampuan menentang kemapanan struktur bahasa baku Sunda untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Betapa tidak, di tengah mengguritanya penerbitan pers berbahasa Indonesia, insan pers beribukan bahasa Sunda harus menggenjot daya hidup agar dapat terus eksis.

Alasannya, warga Sunda yang mencapai angka tiga puluh juta jiwa lebih di Pasundaan ini tidak seluruhnya ngeh dengan teks-teks berbahasa Sunda. Oleh sebab itu, perlu ada semacam hibridasi yang kreatif dan inovatif dalam penulisan teks bahasa Sunda dengan bahasa Indonesia yang dilakukan oleh jurnalis dan penulis Sunda. 

Agar masyarakat Sunda yang telah jauh meninggalkan warisan identitas Ki Sunda ini, sedikit demi sedikit kesadaran mencintai bahasa Sunda naik ke permukaan alam sadarnya. Saya rasa ketika teks Sunda bersanding secara harmonis dengan teks Indonesia, akan terjadi perkawinan yang produktif.


Semangat urang sunda


Hal di atas telah dilakukan oleh mendiang Moehammad Moesa dalam Wawacan Panji Wulung yang banyak menulis kata-kata pinjaman/serapan dari bahasa Belanda, seperti sopi (jenewer Belanda) dan pestol (pistol). Menurut Mikihiro Moriyama dalam bukunya Semangat Baru; Kolonialisme, Budaya Cetak dan Kesastraan Sunda Abad ke-19 (2005) semua ini mengindikasikan datangnya zaman baru di jagat kesundaan.


Sangat menarik ketika mencermati kecintaan penulis ataupun jurnalis bersuku Jawa terhadap bahasa daerahnya, yang kerap mengutip istilah masyarakat lokal suku Jawa meskipun menulis untuk media cetak nasional. Sehingga seluruh bangsa Indonesia akan begitu akrab dengan pribahasa berbahasa Jawa tersebut. Dalam konteks ini, bahasa Jawa telah mengepakkan sayapnya hingga bisa melintasi batas ruang-waktu, dikonsumsi oleh etnis berbeda di wilayah Indonesia, bahkan di seluruh dunia.


Misalnya, berkat bacaan teks bahasa Indonesia yang diselipkan pepatah-petitih berbahasa Jawa, meski urang Sunda tulen, saya menjadi sedikit tahu arti dari kalimat “wis mangan ora udud enek”, “sepi ing pamrih”, “kebo nyusu gudel”, “witing tresno jalaran soko kulino” dan “ing madyo mangun karso”. Bukankah hal ini sebagai bentuk dari “Go Nasional” bahasa Jawa?


Menurut seorang pakar bidang ilmu komunikasi, Onong Uchjana Effendy (2001), tiga dari empat fungsi dan tanggung jawab pers adalah: menyiarkan informasi (to inform); mendidik (to educate); dan memengaruhi (to influence). Ini artinya, penerbitan pers Sunda atau yang secara geografis berada di tatar sunda semestinya memberikan informasi tentang khazanah kesundaan, mengajarkan pentingnya memelihara bahasa Sunda, dan memengaruhi masyarakat untuk sudi menghargai serta menjabarkan identitas lokal.


Daya pikat bahasa


Pada tanggal 17 Agustus 1903 Raden Mas Tirto Adhi Suryo (atau Tirtoadisoeryo) mendirikan majalah Soenda Berita yang tidak melulu terpaku pada struktur bahasa Sunda ketok palu. Dan, hebatnya lagi Soenda Berita merupakan surat kabar pertama kali di Indonesia yang menyediakan ruang ekspresi bagi kaum perempuan untuk beropini (Soebagijo I.N, Jagat Wartawan Indonesia, 1981).


Kalau dulu saja pernah terbit pers, istilah saya Sunda substansial, meski juga kadang menyelipkan bahasa Sunda, mengapa seluruh isi majalah, buku atau Koran harus terpaku pada bahasa Sunda murni an sich? Karena di tengah-tengah zaman yang terasing dari tradisi lokal ini, kita membutuhkan upaya kreatif, kritis dan inovatif sehingga menghasilkan cita rasa bahasa yang mengasyikkan.


Untuk menanamkan kesadaran berbahasa Sunda, umpamanya, penerbitan pers Sunda mesti menyegarkan struktur bahasa sehingga memiliki daya pikat bagi generasi muda. Seperti yang telah dilakukan oleh orang-orang betawi dengan “gue” dan “elu” dalam teks artikel, buku, koran, dan majalah gaul sebagai ujud dari kebudayaan material. Tidaklah heran kalau urang Sunda asli tidak karagok lagi mengucapkan “gue” dan “elu” dalam praktik komunikasi dengan teman sebayanya walaupun ia bukan orang betawi asli. Salah satu strategi kebudayaan yang layak diberikan “acungan jempol”.


Jadi, meski surat kabar menggunakan bahasa Indonesia, seharusnya menghargai horizon lokalitas dalam struktur bahasa teks si jurnalis atau penulis. Selain itu, tidak diharapkan terjadi pendiskriminasian bahasa karena dalih menyalahi kaidah tata bahasa nasional. Maka, untuk konteks tatar Sunda, kita tidak mengapa menyelipkan bahasa Sunda dalam setiap laporan berita. Bukankah itu sama juga dengan ikut memelihara dan menghargai suara-suara lokal yang saat ini seakan tidak bersuara lagi?