Sejarah Lagu Halo-Halo Bandung

Notification

×

Iklan

Iklan

Sejarah Lagu Halo-Halo Bandung

Senin, 31 Januari 2022 | 15:22 WIB Last Updated 2022-01-31T08:22:27Z


NUBANDUNG
- Pasti kamu pernah mendengar lagu perjuangan Halo-Halo Bandung? Lagu mars yang sangat populer dan penuh semangat pasca peristiwa Bandung Lautan Api 1946. Tapi tahukah kamu dari mana populernya istilah 'Hallo Bandung"?

 

Istilah 'Hallo Bandung' dikenal sejak terbitnya  buku HALLO BANDOENG, HIER DEN HAAG. (Halo Bandung, Den Haag di Sini) yang diterbitkan oleh Penerbit Hindia Belanda Hoofdbestur pada tahun 1928.


Buku ini merupakan catatan kenangan tentang panggilan telepon pertama kali dari Tuschen Neteherland ke Hindia Belanda (Herinneringen Aan De Eerste Radiotelefoongesprekken Tuschen Nederland En Nederlandsch-Indie), tepatnya di Kota Bandung, kota yang sangat indah di Priangan.

 

Umumnya panggilan telepon, biasa diawali dengan kalimat sapaan 'Hallo!'. Untuk masa itu, melakukan suatu panggilan telepon internasional merupakan suatu prestasi yang sangat spektakuler! 

 

Panggilan telepon pertama itu langsung dilakukan oleh Ratu Emma (ibu dari Ratu Wilhelmina) dari stasiun radio di Den Haag (The Prague) di negeri Belanda. 

 

Catatan bersejarah itulah yang direkan dalam buku ini, sehingga istilah 'Hallo Bandoeng' menjadi begitu sangat populer, khususnya di kalangan aristokrat Belanda dan para pribumi yang mendapat pendidikan di sekolah-sekolah Belanda. 

 

Dan dari sini dapat diketahui bahwa kota Bandung  di Priangan (nama populer untuk daerah Jawa Barat saat itu) merupakan kota yang sangat populer di Hindia Belanda saat itu, sehingga tak salah dikenal sejak lama sebagai Paris van Java. Selain itu, kawasan Priangan juga dikenal di negeri Belanda sebagai daerah penghasil kekayaan alam yang sangat besar, sehingga VOC sempat mengeluarkan kebijakan preanger stelsel, sebuah upaya mengeksploitasi alam Priangan dengan mengukuhkannya sebagai perkebunan kopi.

 

Dan istilah inilah yang kemudian menginspirasi lagu 'Halo-halo Bandung' yang penciptanya masih kontroversi hingga saat ini. 

 

Sebagian orang menyebutkan bahwa lagu yang populer pasca peristiwa Bandung Lautan Api tersebut merupakan ciptaan Ismail Marzuki, namun Komponis senior Indonesia, AT Mahmud, menyebutkan bahwa hingga saat ini masih ada polemik tentang siapa pencipta lagu tersebut. Ia menyebutkan menyebutkan bahwa lagu tersebut tidak diketahui siapa penciptanya. Mengutip dari surat kabar Pikiran Rakyat edisi 23 Maret 2007, ia menyebutkan bahwa lagu tersebut seharusnya, NN (No Name; Pencipta tak diketahui-red.)". 

 

Halo-halo Bandung

Ibu kota periangan

Halo-halo Bandung

Kota kenang-kenangan

Sudah lama beta

Tidak Berjumpa dengan kau

Sekarang sudah menjadi lautan api

Mari Bung rebut kembali

 

[Peristiwa Bandung Lautan Api adalah peristiwa kebakaran besar yang terjadi di kota Bandung, provinsi Jawa Barat, Indonesia pada 23 Maret 1946. Dalam waktu tujuh jam, sekitar 200.000 penduduk Bandung membakar rumah mereka, meninggalkan kota menuju pegunungan di daerah selatan Bandung. Hal ini dilakukan untuk mencegah tentara Sekutu dan tentara NICA Belanda untuk dapat menggunakan kota Bandung sebagai markas strategis militer dalam Perang Kemerdekaan Indonesia.

 

Istilah Bandung Lautan Api muncul pula di harian Suara Merdeka tanggal 26 Maret 1946. Seorang wartawan muda saat itu, yaitu Atje Bastaman, menyaksikan pemandangan pembakaran Bandung dari bukit Gunung Leutik di sekitar Pameungpeuk, Garut. Dari puncak itu Atje Bastaman melihat Bandung yang memerah dari Cicadas sampai dengan Cimindi.

 

Setelah tiba di Tasikmalaya, Atje Bastaman dengan bersemangat segera menulis berita dan memberi judul "Bandoeng Djadi Laoetan Api". Namun karena kurangnya ruang untuk tulisan judulnya, maka judul berita diperpendek menjadi "Bandoeng Laoetan Api".]

 

Ada yang menyebutkan bahwa lagu Halo-halo Bandung bukan ciptaan perseorangan melainkan merupakan ciptaan bersama para pejuang di Ciparay, Bandung Selatan, tanpa melihat asal usul suku bangsa. Hal ini barangkali benar adanya. 


Namun disebutkan pula, bahwa hal tersebut dicerminkan dengan penggunaan kata "Halo!" yang adalah sapaan khas pemuda dari Medan, Sumatera Utara, yang ditimbulkan dari pengaruh film-film koboi dari Amerika yang sering diputar pada waktu itu. Hal ini tampak tidak memiliki dasar yang kuat, sebab -seperti disebutkan di atas- istilah 'Hallo Bandung' merupakan kalimat populer dari catatan panggilan telepon Ratu Emma dari Belanda ke Bandung tersebut.


Penting juga menjadi catatan, bahwa ada yang menyebutkan bahwa kata beta" dalam lagu tersebut diambil dari bahasa daerah Ambon, Maluku, yang berarti "saya". Hal ini juga kurang mendasar, sebab kata Beta umum digunakan diseluruh wilayah Nusantara kala itu, khususnya di kalangan Bangsawan, termasuk  di kalangan pejabat Hindia Belanda sendiri. 


Pendapat semacam di atas nampaknya didasarkan pada kutipan dalam buku Saya Pilih Mengungsi tentang cerita Pestaraja Marpaung mengenai penciptaan lagu Halo-Halo Bandung: 


Sebagaimana dikutip dari Wikipedia, disebutkan kutipan buku tersebut:


"Sebagai pejuang, Bang Maung pun turut menyusup ke Kota Bandung, setiap malam, setelah peristiwa Bandung Lautan Api. "Siang hari tidak ada kerja. Jadi di Ciparay ini, anak-anak Bandung dari Pasukan Istimewa tiduran. ‘Eh, lagu yang kemarin itu mana? Halo! Halo Bandung! de-de-de— (berirama menurun).’ Setelah lama, orang Ambon juga ikut. Pemuda Indonesia Maluku itu, di antaranya Leo Lopulisa, Oom Teno, Pelupessy. Sesudah Halo-Halo Bandung, datang orang Ambonnya. Sudah lama beta! tidak bertemu dengan kau!’ Karena itu, ada ‘beta’ di situ. Bagaimana kata itu bisa masuk kalau tidak ada dia di situ. Si Pelupessy-lah itu, si Oom Tenolah itu, saya enggak tahu. Tapi, sambil nyanyi bikin syair. Itulah para pejuang yang menciptakannya. Tidak ada itu yang menciptakan. Kita sama-sama saja main-main begini. Jadi, kalau dikatakan siapa pencipta (Halo-Halo) Bandung? Para pejuang Bandung Selatan,” ucapnya.