Cerpen: Neneng Fatonah

Notification

×

Iklan

Iklan

Cerpen: Neneng Fatonah

Jumat, 18 Juni 2021 | 09:01 WIB Last Updated 2022-09-09T01:42:30Z

HARI itu aku hanya bisa terpaku menatap kertas bon utang-utangku di tangan. Wah, bulan ini aku telah berutang ke warung sekitar 400 ribu-an. Tak terasa jumlah itu bisa aku kumpulkan selama tiga minggu. Belum lagi kiriman dari orang tua -- karena telah semester 10 -- dikurangi dengan alasan untuk mendidik kemandirian. 

Aku hanya bisa melongo memikirkan dari mana dan apa yang bisa aku gunakan untuk membayarnya. Minta ke orang tua.., sudah banyak menanggung malu. Kerja sampingan. Ah, itu tidak mungkin sebab aku tak mau dibentak-bentak bos.

Memang betul jika si Farid bilang waktu kemarin: "Kamu memang tak punya kemampuan me-menej keluar-masuk uang. Tak salah rasanya jika orang tua kamu tidak menaruh rasa percaya lagi".

Aku sih biasa. Tak pernah merasa bahwa aku harus mengatur keluar masuk duit. Wong punya uang itu harus dibelanjakan. Bukan disimpan terus di dalam dompet, nanti bulukan. Tapi, kenapa utang kamu ke Warung bisa membengkak seperti itu.

"Pan Emak tos masihan sasasih sakali".

"Teu Ceukap atuh dua ratus rebu sasasih mah. Pan di kota mah sagala marahal". Aku berusaha merayu sekuat tenaga agar ibuku menambah lagi uang jatah jajanku selama sebulan hidup di Bandung.

Dengan wajah yang tetap sabar sambil "mencubit sayang" pipiku, Emak merogoh dompetnya dan mengeluarkan dua lembar Rp. 50 ribu.

Hehe..., lumayan lah buat nambah-nambah bayar utang ke warung. Bisikku.

Tah Emak mah ngan iasa masihan sakitu. Kirangna mah milarian wae, bari ngiring didameul dilanceuk hideup atuh, geura.

Sip..., sumuhun atuh.

***

Sesampainya di Bandung, 5 lembar uang Rp. 50 ribuan itu pun hanya beberapa menit mampir di dompet. Dibayarkan kepada tukang Warung bernama Mang Karya dari Sumedang. Yang telah menagih utang mulai dari hari Selasa kemarin. Sampai bolak-balik ke kostan di sudut jalan, yang sempitnya minta ampun. Tapi, murah hanya 100 ribu per bulan.

Yang penting aku bisa tidur, membaca, mengetik makalah atau tugas laporan, bahkan bisa belajar menulis artikel. Ngekost di situ juga masih sering nombokan atau ngutang, ketimbang lunas. Kadang nunggak satu bulan, dua bulan, tiga bulan, bahkan pernah empat bulan.

Untung saja si pemilik kostan baik. Ia mau mengerti dan sabar ketika datang menagih uang kostan, aku hanya bisa menjawab sasih payun nya bu?. Dan, ia hanya bisa menegur. Selanjutnya pulang ke rumahnya dengan tangan hampa.

Terbersit dalam benakku untuk nge-kost di Masjid. Tapi, tak leluasa. Bahkan kemarin aku pernah mendengar cerita pengalaman seorang teman yang tinggal di Masjid. Mentalnya down gara-gara ada anggota DKM yang berprofesi sebagai dosen di kampus menghinanya.

Kalau miskin jangan kuliah. Masih untung ada yang ngampihan di Masjid. Pokoknya kamu harus ngajar, mengisi ceramah, dan menjadi muraqqi ketika shalat Jum'atan tiba. Padahal, temanku bolos dari Masjid itu untuk mengerjakan tugas kelompok. Suatu kali pernah dimarahi karena ia bolos lagi, tidak memberitahu kalau pulang kampung. Ah, seperti di pesantren saja. Pake harus izin segala. Emang dunia ini kepunyaan anggota DKM? sanes atuh, kang. ujarku kepada Kang Faat setengah menengok gemas.

Entah kenapa malam ini aku susah menutupkan mata. Meski rasa kantuk menyergap, aku tak bisa barang sejenak pun tertidur pulas. Tidak seperti si Iwan yang numpang tidur dikamarku malam itu. Ia tertidur pulas sepulas bekicot didalam tempurungnya.

Bayangan si Neneng terus gerayangi otak kananku. Andai orang tuanya memberondong dengan kata-kata, "Ujang teh serius ka si Neneng teh? Upami serius iraha ka bale nyuncungna?".

Wah, cilaka dua belas atuh!

Aku belum juga beres kuliah. Ya, mahasiswa abadi. Nyusun skripsi mandog manyong. Kerja? Itu masalahnya. Aku belum punya pekerjaan tetap. Masih serabutan. Bagaikan tukang ngarit yang mencabuti rerumputan.

Memang aku sudah kerja mulai hari kemarin. Tapi masih dalam status magang, freelance. Belum sepenuhnya jadi karyawan tetap, fulltime. Dengan gaji yang kadang-kadang besar, kadang-kadang kecil, bahkan kadang-kadang tak bergaji. Tergantung ada tidaknya yang harus aku kerjakan. Aku ambil keputusan itu agar tidak diam saja di kamar kostan. Bosan. Suntuk. Stress. Dan defresif.

Lumayan tambah-tambah pengalaman. Daripada hidup nihil pengalaman. Bisa-bisa berabe.Tidak tahu apa yang harus kukerjaan jika tidak memiliki pengalaman hidup. Tak salah jika ada yang pernah berkata, "pengalaman adalah guru yang terbaik".

Tapi, bagaimana dengan hari esok? Kala ibunya Neneng Fatonah meminta kepastian dariku. Aku akan menjawab apa?

Maaf masih menganggur bu! atau berkilah, nanti menunggu beres kuliah, tanggung satu semester lagi, bu.

Tak bisa tenang hati ini. Seakan beban itu makin memberati kepala. Pusing. Aku pusing menjadi-jadi. Halah.., kok ndak bisa tidur begini. Utang ke si Aa warung sudah ku bayar. Kendati belum lunas. 

Minimalnya tidak sebesar seperti hari kemarin. Wajar kalau tidak bisa tidur juga. Tapi ini. Soal dipanggil calon mertua. Kok bisa-bisanya aku tidak bisa tidur. Ngeyel banget sih!

Tak ingat apa-apa. Akhirnya aku tertidur juga.

Mata merah, badan lemah, mulut selalu menguap. Mahasiswa hilir-mudik. Terus kupandangi satu persatu untuk menghilangkan rasa suntuk. Menunggu sang kekasih yang mengajakku pergi ke rumah ibunya di Garut. Neneng pun datang karena telah sedari tadi dia mengajakku untuk bertemu di depan wartel kampus.

"A..., kok kayak yang malamnya begadang. Mata A merah tuh!", ujarnya sambil menunjukkan bahwa dimataku ada sesuatu.

Hehe..!

"A..., naik apaan kita ke Garutnya?", tanya Neneng manja.

"Ya..., naik bus atuh. Emangna bade papah wae?"

"Ih si Aa mah meuni kitu". Matanya memancarkan bahwa ia sudah tak sabar ingin sampai di Garut.

Sudah lima tahun Neneg Fatonah hidup di Bandung. Tapi, ia lahir di Garut kota, tepatnya daerah Bentar Hilir. Karuan saja, ingin bertemu dengan orang tuanya yang telah terlebih dahulu kembali ke Garut dan mengenalkan lelaki pujaannya. Aku si perjaka dari Kampung di daerah pelosok Kabupaten Garut. 

Terpencil dari keramaian, namun masyarakatnya sudah akrab dengan kehidupan kota. Sebab, masyarakat di kampungku itu banyak yang berprofesi sebagai tukang pangkas rambut. Mereka urban ke kota-kota besar mendagangkan jasanya.

Hal itu secara tidak langsung menciptakan sebuah komunitas yang membawa nilai-nilai kota ke kampung. Apalagi pemuda dan pemudinya. Tidak lagi memakai celana sontog. Tidak lagi ada perempuan berkebaya.

Guntur...guntur...guntur. Seorang kernet angkot jurusan terminal Guntur-Sukaregang melambai-lambai. Aku dan Neneng berjalan ke arah angkot berwarna hijau itu. 5 tahun yang lalu aku masih sering naik angkot jurusan Guntur-Sukaregang. Pukul setengah tujuh dari terminal dan sampai ke sekolah sekitar pukul tujuh kurang seperempat. Pintu gerbang dikunci kalau sudah lewat dari pukul tujuh. Biasanya kalau terlambat aku tak masuk. Menunggu waktu istirahat tiba. Ya, pintu gerbangnya pasti akan dibuka. Begitulah seterusnya sampai kelas tiga tingkat atas.

Kiri mang...!

Ongkosnya 3 ribu berdua. Kubayar dimuka pak sopir dengan tangan kanan. Biasanya pak sopir juga menerimanya dengan tangan kiri. Aneh. Apa tidak tahu atau pura-pura tidak tahu. Pak sopir kebanyakan mengambil ongkos dari penumpangnya dengan tangan kiri. Ah, itu tidak apa-apa. Mungkin tanggung, karena tangan kanan memegang kemudi stir mobil.

Assalamu'alaikum....?!

Wa'alaikum salam...!!

Aduh si geulis udah datang. Siapa ini teh? tanya bu Ida sambil melirik padaku.

Neneng hanya tersipu malu. Merah wajahnya. Dan, ibunya sudah mengerti. Ia langsung mempersilahkanku untuk masuk ke dalam. Kami mengobrol apa saja dengan kedua orang tuanya. Asyik juga. Ternyata tidak seseram yang aku kira. Arah pembicaraannya ngalor-ngidul. Tidak ada pakem tertentu atau tema pembicaraan khusus seperti yang sering dilakukan peserta seminar.

Aku kaget bercampur gembira. Ya, ibu dan bapak mah tergantung pada si Neneng. Kan yang akan berumah tangga juga si Neneng bukan ibu dan bapak. Tapi, yang terpenting kalian harus siap mengarungi samudera kehidupan ini. Saling mengawasi. Menjaga. Memelihara. Dan, bermusyawarah kala ada persoalan-persoalan yang sedang mengimpit.

"Kalau Ujang udah bulat sebulat-bulatnya untuk lakirabi dengan si Neneng, kapan atuh waktunya?".

"Eu...eu...eu. Insyaallah tilu sasih deui, panginten".

Neneng Fatonah tersenyum sambil menatapku dalam. Aku keder. Teu puguh rampa. Dan, setelah itu aku pun uluk salam kepada tuan rumah. Sekalian mampir ke kampung halaman di Garut, bermusyawarah dengan Emak di rumah yang mengharapkan aku mendapatkan jodoh seperti Neneng Fatonah. 

Apalagi aku sekarang sudah bekerja kendati serabutan. Emak pasti senang mendengarnya, karena sang anak sudah cukup umur untuk membina rumah tangga. Bilih kausap syetan, pepatahnya ketika Neneng dikenalkan padanya sebulan yang lalu.