Pondok Pesantren Sukamiskin Bandung, Pesantren Tertua di Jawa Barat

Notification

×

Iklan

Iklan

Pondok Pesantren Sukamiskin Bandung, Pesantren Tertua di Jawa Barat

Jumat, 25 Juni 2021 | 18:03 WIB Last Updated 2022-10-10T01:58:35Z


NUBANDUNG
- Jaman dulu seorang kiai tidak asal membuka pesantren. Tapi membutuhkan perjuangan dan pertimbangan yang matang. Seperti Tebuireng, Lirboyo, Ploso dan pesantren-pesantren tua umumnya di Nusantara. Terlebih dahulu para kiai memasuki daerah-daerah yang sangat banyak rintangan.


Namun dengan jiwa “mengayomi”, seperti ungkapan Gus Mus kiai adalah “alladzina yandzurunal ummah bi’ainirrahmah”, mereka yang memandang umat dengan pandangan penuh kasih dan sayang. Desa, kampung dan pemukiman yang awalnya gelap gulita menjadi bercahaya.

Penduduk yang awalnya jail dan menentang keras lambat laun jatuh hati pada dakwah sang kiai. Seperti ini jualah yang terjadi di sebuah perkampungan yang akhirnya dinamai Sukamiskin, oleh KH. R. Muhammad Alqo.

Karena semakin hari penduduk sekitar banyak yang ingin mengaji kepada KH. R. Muhammad Alqo, hingga dibuatkanlah oleh beliau mushalla, kemudian masjid sebagai pusat pengajian. Ternyata masjid pun tak mampu menampung, sehingga mengharuskan beliau mewakafkan dan mendirikan sebuah bangunan yang kemudian berdirilah pesantren yang dinamai seperti nama perkampungannya, Pondok Pesantren Sukamiskin.

Asal mula nama Sukamiskin diambil dari rangkaian kata bahasa Arab “Suq” dan “Misk”. Suq berarti pasar dan Misk berarti minyak wangi. Jadi secara lughawi diartikan “Pasar Minyak Wangi”. Nama tersebut diambil karena berkenaan pada waktu itu Sukamiskin merupakan pusat pertama di Kota Bandung yang didatangi banyak orang untuk menuntut ilmu pengetahuannya di bidang agama khususnya.

Dengan demikian makin dikenal baik di Kota Bandung maupun di Jawa Barat, sehingga seolah-olah sebuah pasar terkenal yang banyak dikunjungi orang dari tiap pelosok, yang harum semerbak dengan ilmu yang ia bawa.

Pondok Pesantren Sukamiskin didirikan oleh KH. Raden Muhammad bin Alqo pada tahun 1881 M di Sukamiskin Bandung Jawa Barat. Banyak yang tidak menyangka Pesantren Sukamiskin telah berdiri cukup lama, dan banyak menghasilkan para kiai yang akhirnya mendirikan pesantren-pesantren di kota Bandung.

Banyak para ulama dan kiai yang sekarang mempunyai nama serta berpengaruh besar dalam masyarakat priangan khususnya dan masyarakat daerah Jawa Barat umumnya adalah hasil gemblengan dan godogan ilmu di Pondok Pesantren Sukamiskin.

Banyak dari mereka yang kemudian mendirikan pondok pesantren sebagai wadah memanfaatkan ilmu yang didapatnya selama di Sukamiskin. Wajar saja, karena pada kenyataannya pesantren yang sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda ini merupakan pesantren tertua di Bandung bahkan Jawa Barat.

Pondok Pesantren Sukamiskin berada di bawah pimpinan KH. R. Muhammad Alqo selama kurang lebih 29 tahun (1881-1910 M/1300-1329 H). Dalam jangka waktu sekian ini beliau berhasil mendidik para santrinya hingga menjadi ulama besar, salah satunya adalah Pahlawan Nasional KH. Zainal Musthofa. Setelah KH. R. Muhammad Alqo wafat, kepemimpinan pesantren beralih pada puteranya, KH. R. Ahmad Dimyati beserta menantunya R.H.S. Anisah.

Sebelum memimpin pondok pesantren KH. R. Ahmad Dimyati menimba ilmunya di Pesantren Kresek Garut yang kemudian bermukim di Mekah selama sembilan tahun bersama KH. Ahmad Sanusi (Pendiri Pesantren Gunung Puyuh Sukabumi). Pada masa beliaulah (1910-1946 M/1329-1365 H) Pesantren Sukamiskin semakin harum dan cemerlang namanya di daerah Jawa Barat.

KH. R. Ahmad Dimyathi lebih dikenal dengan sebutan Mama Gedong. Ajengan Dimyathi ini merupakan peletak dasar Ngalogat Sunda (metode memaknai kitab dalam bahasa Sunda) serta banyak karya-karya beliau dalam bahasa Sunda yang berhubungan dengan ilmu fiqh, tauhid, tasawuf dan syair-syair.

Pada periode kedua ini KH. R. Ahmad Dimyati dibantu oleh KH. R. Muhammad Chalil, saudaranya sendiri. Kurang lebih 36 tahun lamanya, Pondok Pesantren Sukamiskin mengalami kejayaan. Namun setelah kewafatan KH. R. Ahmad Dimyati, Pondok Pesantren mengalami kevakuman selama kurang lebih dua tahun karena terhambat dengan adanya peperangan menjelang kemerdekaan Indonesia.

Setelah negara aman kembali dan kemerdekaan sudah diproklamirkan, maka KH. R Haedar Dimyati, putera dari KH. R. Ahmad Dimyati, mulai merintis kembali pesantren yang sempat vakum itu dan berhasil memulihkan kembali seperti keadaan semula walaupun dalam jangka waktu yang agak lama. KH. R. Haedar Dimyati wafat pada tahun 1967 M.

Sepeninggal KH. R. Haedar Dimyati pimpinan Pondok Pesantren dipegang oleh sang istri, R.H. Siti Romlah binti KH. R. Muhammad Burhan (Pendiri Pesantren Cijaura Buah Batu Bandung), dan adiknya KH. R. Sofwan. Sementara putera KH. R. Haedar Dimyati, yaitu R. Abdul Aziz, menuntut ilmu pengetahuannya di Pesantren Lirboyo Kediri yang dipimpin oleh KH. Mahrus Ali.

Tetapi sebelum selesai masa belajarnya R. Abdul Aziz, kakaknya (puteri sulung KH. R. Haedar) menikah dengan salah seorang siswa yang terkemuka KH. Imam Shonhaji (juga siswa Pesantren Lirboyo Kediri, sebelum menimba ilmu di Pesantren Sukamiskin). Maka sejak itulah pimpinan Pondok Pesantren beralih kepada KH. Imam Sonhaji.

Baru kemudian hingga sekarang Pondok Pesantren Sukamiskin diasuh oleh KH. R. Abdul Aziz Haedar bin KH. R. Haedar Dimyati, salah seorang ulama sepuh NU. Ajengan Abdul Aziz sangat sederhana dan bersahaja, namun memiliki pandangan yang jauh ke depan untuk bangsa ini. Beliau memaparkan dan memetakan secara cermat tentang kondisi sosial politik saat ini.

Beliau bukan kiai politik atau politisi, aktifitas beliau hanya membina para santri Sukamiskin (yang beliau sebut anak-anakya), namun memiliki pandangan yang sangat jauh ke depan tentang situasi bangsa saat ini.

Ketika kami perwakilan dari LDNU Pusat meminta beliau untuk berdoa, beliau menolak disebut kiai. “Saya mah bukan kiai, saya cuma bobotoh Persib...” kata beliau sembari tertawa renyah. “Saya takut kalau santri saya tambah banyak, soalnya ini (pesantren) amanat orangtua saya.”

Pesan beliau, “Kalau ikhlas mengurus NU, insya Allah kaya raya!”

Di akhir percakapan, kami pun diajak beliau untuk melihat-lihat foto klasik yang terpampang di dinding Ndalem Kiai Abdul Aziz Haedar. Banyak kenangan yang dapat digali dari foto-foto itu. Juga Ndalem/rumah kediaman Kiai Abdul Aziz adalah rumah kuno yang berusia ratusan tahun, namun masih kokoh berdiri dan anggun.

Rumah yang pernah dikunjungi para pendiri dan pejuang NU, para pejabat pemerintah dan para tokoh dari berbagai lintas etnis maupun agama. Semoga beliau dipanjangkan umurnya, sehat wal afiyat. Amin.

Sumber: Asep Charlie S