Cinta Menakjubkan Petani pada Tuhan

Notification

×

Iklan

Iklan

Cinta Menakjubkan Petani pada Tuhan

Sabtu, 31 Juli 2021 | 18:02 WIB Last Updated 2022-09-12T03:53:10Z

Kebahagiaan seorang anak manusia, mesti berakar kuat pada kecintaan yang penuh terhadap Allah Swt. Misalnya, ketika kita berkecukupan secara material tidak menjadikannya lupa atas orang sekeliling. Sehingga di dalam menjalani aktivitas kehidupan, kita akan selalu menunduk dan tidak sombong serta takabur. Kekayaan pun akan menjadi sumber kebahagiaan yang menentramkan jiwa.

Itulah mukjizat dahsyat dari cinta hakiki. Ia, tentunya, tak akan merasa risih dengan harta yang dimiliki karena sebagian hartanya sudah dibersihkan. Tak akan merasa dikejar-kejar hal duniawi. Pokoknya, kecintaan terhadap-Nya bisa membentuk seseorang menjadi manusia yang selalu menolong orang lain. Sebagai petanda bahwa ia mencintai hartanya secara proporsional. Ketika mengelola harta, ia melakukan perniagaan dengan Allah yang mengharap ridha-Nya. Maka, hartanya pun tak akan berkurang. Melainkan terus bertambah.

Gede Prama pernah bilang, bahwa “Setiap kebahagiaan yang berakar keluar, ia keropos, mudah dicabut, ia juga gampang diterbangkan angin kehidupan.”

Nabi Muhammad Saw. pernah berkisah. Ada seorang petani di Madinah. Ia berdiri di antara kebun kurmanya yang kering kekurangan air. Pohonnya kering tanda tidak subur dan buahnya pun tidak berbuah dengan baik. Ia khawatir, bila kekurangan air maka kebun tidak akan memberi hasil maksimal untuk kebuAllah hidupnya dan keluarga. Ia memohon kepada Allah. Kedua tangannya, ia angkat setinggi mungkin seraya melafalkan doa kepada Allah agar diturunkan hujan.

Tak lama sejak itu, Allah mengirimkan awan untuk berkumpul. Beriringan sedikit demi sedikit, awan berkumpul dengan cukup lebat di atas kebunnya. Sang petani tersenyum kegirangan. Dalam hatinya, ia berucap… “Allah mengabulkan doa dan permintaanku tadi!” Tapi yang terjadi adalah sebaliknya. Terdengar olehnya suara berasal dari langit, “Wahai awan, pergilah ke tanah si Fulan…!”

Maka berjalanlah awan ke arah lain, ke tempat yang tidak diketahui oleh si petani yang baru saja berdoa. Sang petani itu kesal. “Mengapa hujan tidak jadi turun di tanahku?” bisiknya. Ia pun berlari mengikuti kemana gumpalan awan itu berhenti. Untuk mengetahui kemana Dia akan menurunkan air hujan. Akhirnya, sampai di suatu tempat yang subur. Awan pun berhenti dan menurunkan air hujan di tanah tersebut.

Petani tersebut merasa heran, ketika melihat ada seorang pria bersahaja yang sedang berdoa. Dan mengucap syukur kepada Allah karena telah menurunkan air hujan di tanahnya. Maka petani itu memanggil si pemilik tanah. Ia mengajukan pertanyaan: “Wahai saudaraku, amalan apa yang membuat usahamu berkah sehingga ku dengar dari langit yang memerintahkan menurunkan air hujan di tanahmu?

Si pemilik tanah pun menjawab pertanyaan petani itu, “Rahasianya, setiap kali kebun dan tanah ini memberi hasil, hanya sepertiga darinya yang aku makan. Sepertiganya lagi aku kembalikan kepada tanah ini sebagai tambahan modal. Lalu sepertiganya lagi, aku berikan kepada Allah SWT sebagai infakku di jalannya. Itulah amalan rutin yang aku kerjakan sehingga membawaku menghasilkan berkah tak terkira”.

Harta, dalam pandangan petani yang kedua, merupakan rezeki yang diberikan Allah kepada hamba-Nya. Dan, ia pun meyakini bahwa ada yang penting untuk ditunaikan ketika mengurus harta pemberian-Nya itu. Memberikan sepertiga dari hasil yang diperoleh untuk kepentingan kemanusiaan, yakni dengan infaq, sedekah dan zakat.

Itulah upaya pembersihan harta dari kekotoran sebagai wujud cinta hakiki kepada Allah. Pada posisi kekayaan yang melimpah ruah, sebagai seorang muslim kita diperintahkan untuk memberkahi harta tersebut dengan memberikan sebagian harta kepada yang hak menerimanya. Kebahagiaan – salah satunya berlimpah kekayaan – tidak membuat petani shaleh yang kedua takabur.

Setelah kecapean mengelola tanahnya, ia menancapkan keyakinan itu semua atas bantuan Allah. Sehingga, sebagai tanda syukur kepada-Nya, ia pun menyisihkan sepertiga dari hartanya.

Pada posisi demikian, ia telah mencapai derajat sebagai pecinta sejati. Yang tidak menjadikan harta sebagai segala-galanya. Meskipun ia sukses besar dari segi harta-duniawi, tak membuatnya melupakan perintah Allah untuk menginfaqkan sebagian dari hasil jerih payahnya. Sebab, ia yakin bahwa tanpa ada rahmat dari-Nya, segala usahanya tak akan membuahkan hasil.

Itulah cinta sang petani kepada Allahnya, yang dibuktikan dengan menggunakan hartanya secara tepat dan proporsional. Akhirnya, sang petani itu pun memperoleh kebahagiaan yang berakar kuat kepada tauhidullah.