Oleh: SUKRON ABDILAH, Kolumnis
NUBANDUNG - Ya, seperti yang dikatakan teman saya. Kota bermartabat seharusnya merupakan replika asli dari keberadaban penduduknya di suatu daerah. Tanpa adanya oran g-orang beradab, kota bermartabat hanyalah berbentuk fatamorgana dan akan berubah menjadi kota biadab. Betul juga kalau agama (Islam) mengajarkan kita untuk berlaku sopan-santun kepada siapa pun. Misalnya, menghormati tamu.
Mengapa? Sebab, sebuah penghormatan adalah inti kehidupan dari masyarakat yang bermartabat. Dalam konteks hubungan sosial urang Sunda, umpamanya, kita dapat melihat ungkapan: “someah hade ka semah”. Sopan, santun, dan memperlakukan secara baik oran g yang bertamu ke daerahnya, salah satu ciri dari manusia bermartabat. Kebijaksanaan tertinggi dari manusia bermartabat adalah menghargai kediri an oran g lain.
Caci-maki, sumpah serapah, dan menganggap oran g lain tak bern ilai ketika berinteraksi; tentunya aktivitas yang tidak layak dilakukan oran g-orang di kota bermartabat. Dalam Al-quran terpampang jelas secara indah, padat dan berisi sbb: “Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, karena boleh jadi mereka yang diolok-olok lebih baik dari mereka yang mengolok-olok” (Q.S. Al-Hujurat: 11). Ini artinya, kita tidak diperbolehkan merendahkan derajat oran g lain.
Tatkala penduduk di alam marcapada mampu menghargai dan mau mengakui eksistensi manusia lain, cita-cita bermartabat niscaya dapat diraih gilang-gemilang. Hidup bakal menjelma lir ibarat gambaran urang Sunda, tiis ceuli herang panon dan ngaheunang-ngaheuning, estuning teu aya banca pakewu. Itulah seharusnya suasana kota dengan gelar bermartabat. Tidak ada kesemrawutan, tidak ada penyimpangan moral, dan tidak ada ketidakpastian kebijakan yang membuat kita nyinyir.
Allah SWT berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, rukuklah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu, dan berbuat baiklah. Supaya kamu mendapat kemenangan” (Q.S. Al-Hajj: 77). Ya, kemenangan itu adalah memeroleh gela r bermartabat yang tidak hanya berdatangan dari pandangan segelintir oran g saja. Dari Allah, manusia lain, bahkan kalau alam sekitar kita masukkan, tentunya akan memberikan pandangan positif. Hal itu akan kita raih jikalau hubungan segitiga (Allah, manusia dan alam) kita jaga dan pelihara.
Lantas, sudah terpeliharakah hubungan kita dengan Allah? Hubungan kita dengan sesama manusia? Dan yang paling inti lagi, hubungan kita dengan alam sekitar?
Di dalam Al-quran dijelaskan bahwa:“Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah” (QS. Ali-Imran: 110). Saya pikir, membina hubungan yang harmonis dengan para pendatang, memelihara alam kita secara kasih-sayang; merupakan inti dari disyari’atkannya ibadah kepada Allah SWT. Manusia, alam dan Tuhan; bagaikan tiga titik kosong yang mesti kita isi.
Maka, shalat kita akan terkategori wail (lalai), jika perasaan tumpul tak ingin menolong ketika di kiri-kanan bertebaran masyarakat miskin. Seluruh amal ibadah kita juga sia-sia, jikalau diri ini tak mampu berbuat baik kepada alam sekitar. Bahkan, Dia (Allah) teramat benci kepada oran g yang tidak mau membuang duri dijalanan. Makanya, membuang duri itu kata kanjeng Nabi Muhammad Saw merupakan manifestasi keimanan.
Kota bermartabat dengan kebaikan laku lampah warganya tidak dapat dipisahkan. Artinya, kita mesti menyuarakan nilai-nilai kebaikan yang saat ini seakan lekang dari aksi sosial. Sebab, seseorang bisa dikatakan bermartabat kalau saja tidak terjajah jiwa dan raganya sehingga mampu berotonomi untuk berbuat kebajikan.
Di samping itu, orang yang bermartabat akan berusaha membebaskan diri dan umat manusia lainnya dari mengguritanya ketertindasan hak-hak asasi (human rights). Membebaskannya dari penindasan struktural seperti kemiskinan yang mengakibatkan banyak warga gela p mata.
Martabat! Bukan martabak yang bisa dibolak-balik oleh si pedagang di tempat penggorengan. Bukan pula panganan yang bebas kita santap. Martabat merupakan tujuan inti dari diturunkannya Al-Quran. Bahkan diutusnya kanjeng Nabi Muhammad ke muka bumi hanyalah untuk menyempurnakan martabat manusia. “Innama buistu liutammima makarimu al-akhlaq”.
Kota Madinah pada masa Rasul Saw, umpamanya, menjelma menjadi wilayah yang dipenuhi oran g-orang bermartabat. Makanya, Madinah secara historik merupakan kota yang tidak dihiasi alam hidup barbarian dalam jiwa penduduknya. Alhasil, kanjeng Nabi Muhammad memilih berhijrah ke kota ini ketika ditindas oleh bangsa Quraisy karena disinilah tempat yang aman dan tidak akan terjadi pendiskriminasian sistemik.
Andai saja kota Bandung hendak menjuluki diri dengan bermartabat, keberadaban laku lampah warga adalah pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Sebab, ketika warganya beradab dan menebarkan nilai-nilai kebaikan (al-khair) dalam perilaku, nis caya julukan sebagai kota bermartabat memang pantas disandang.
Ketika laku lampah keseharian penuh dengan kebebalan moral, kota Bandung tetap akan bermartabat. Kecuali jika kita tidak berusaha menghilangkan ketidakberadaban sikap dan tindakan kita. Sudah pasti sebagai kota bermartabat, Bandung pasti akan coreng-moreng.