|  | 
Seorang pemimpin yang nyunda semestinya mengenal lebih dekat kondisi rakyat di tiap pedesaan. Dengan demikian, hubungan yang terjadi antara pemimpin dan rakyat akan sejalan dan saling memercayai. Dari sinilah, kebijakan-kebijakan pemerintah bakal berpihak pada kaum jelata yang berdiam diri di bumi Pasundan ini.
Konsep yang berkarakter lokal dalam mewujudkan cita-cita tersebut, saya kira terkandung             dalam tradisi saba desa yang berarti mendatangi tiap desa di wilayah administrasi             kepemimpinannya untuk melihat secara kasat mata kebutuhan warga di pelosok desa.
Dengan program saba desa pemimpin (baca: pemerintah) akan memperoleh pengakuan             dari rakyat. Sebab, dengan peninjauan langsung daerah-daerah yang berada di pelosok dan             jarang terkena "projek" pemberdayaan, pemerintah yang bernurani bakal terenyuh             rasa untuk mengubah kondisi warga ke arah kesejahteraan.
Lantas, mengapa pemimpin mesti mengenal secara mendalam kondisi warga yang dipimpinnya?             Sebab pemimpin diangkat dari kalangan rakyat, atas kehendak rakyat dan semestinya membela             kepentingan rakyat. Tidak lantas asyik dengan "tetek bengek" urusan yang elitis             dan birokratis, sembari melupakan keberadaan warga di daerah pelosok yang semestinya             tersentuh program pemberdayaan. 
Jadi, wajib hukumnya bagi para pemimpin di Jawa Barat             memberikan kado pelayanan dan bantuan yang berkelanjutan kepada rakyat tanpa tedeng             aling-aling kepentingan sesaat.
Mengatasi persoalan
Saba desa yakni penjelajahan yang dilakukan para petinggi (baca: birokrat) ke             setiap desa untuk menyaksikan secara langsung realitas yang sedang dihadapi warga             masyarakat. Dengan tradisi saba desa ini para pemimpin di tatar Sunda semestinya             bisa membantu warga mengatasi persoalan yang sedang melilitnya.
Tidak lantas melakukan kunjungan yang bersifat musiman, umpamanya, ketika suatu daerah             telah mengalami bencana alam atau ketika pemilihan kepala daerah (pilkada) saja. Sebab,             pemimpin dalam kacamata demokrasi adalah pelayan rakyat. Sudah seharusnya jika tubuh dan             jiwanya melekat di hati mereka, tidak hanya dikenal nama dan potretnya.
Namun, dikenal dan dikenang jasa-jasanya oleh warga, misalnya, dengan membangun             infrastruktur padat karya, fasilitas perekonomian, dan akses pelayanan publik yang             representatif. Apalah artinya kalau program saba desa dilaksanakan pemerintah             daerah hanya untuk mengeruk simpati warga sehingga dirinya bisa terpilih kembali pada             pemilihan mendatang. 
Dalam konteks ini, sebagai lembaga tempat bernaungnya rakyat,             pemerintah harus membantu meredakan segala persoalan yang sedang, telah, dan akan dihadapi             warga agar mampu keluar dari "jerat-jerat" kemiskinan, buruknya pelayanan             publik, dan minimnya perhatian.
Keberadaan program saba desa oleh warga di desa juga mesti dijadikan momen untuk             menuntut hak-haknya mendapatkan pelayanan publik, memperoleh kesejahteraan ekonomi, dan             bisa menikmati potensi alam di daerahnya. Ketika suatu desa didatangi oleh para petinggi,             semestinya warga yang tahu akan kondisi desanya menceritakan keluh kesah, sehingga             pemerintah bisa memberikan "obat" yang tepat dan akurat. 
Sebab, untuk mengobati             keluh kesahnya, pemerintahan kita mesti mendengar dan menyaksikan langsung permasalahan             konkret yang terjadi di desa guna menciptakan -- dalam bahasa Franz Magnis-Suseno --             pembangunan yang manusiawi.
Sebuah kerangka pembangunan yang mengikutsertakan peran warga di dalamnya, tidak             dilakukan dari atas ke bawah bagai perilaku politik raja-raja tempo dulu, di kala masa             feodalisme kekuasaan sedang merajalela. Oleh karena itulah, tradisi mengunjungi (nyemah),             dalam hal ini program saba desa hendaklah tidak bersifat temporal saja, melainkan             harus dilakukan secara berkelanjutan hingga bisa membawa laju pertumbuhan ekonomi (economic             growth) pedesaan ke arah yang lebih baik.
Andai saja selama masa kepemimpinan tidak satu pun desa yang pernah diangkat dari             jurang keterpurukan ekonomi, misalnya, sama saja dengan mengingkari falsafah hidup             kesundaan yang acap kali mengusung kecerdasan sosial (social intellegence) dalam             hidup keseharian. Kecerdasan lokal seperti ini bisa kita lihat ketika di sekitar kampung             ada anggota masyarakat yang terpuruk secara ekonomi, warga Sunda -- meskipun agak jarang             -- sabilulungan (gotong royong) meringankan beban penderitaannya.
Menelisik masyarakat desa
Ketika melakukan saba desa juga pemerintah dianjurkan untuk menelisik secara             lebih mendalam atas segala kebiasaan, adat istiadat, dan mentalitas masyarakat desa.             Karena masyarakat desa memiliki keanekaragaman sistem sosial-budaya yang patut dihargai             dan diakui. Tidak diingkari, apalagi kalau harus dikebiri.
Hal itu tercermin pada paribasa di tatar Sunda, "ciri sabumi, cara sadesa",             yang berarti tiap desa memiliki adat istiadat-kebiasaan tersendiri (Edi S. Ekadjati;             Kebudayaan Sunda (1), 2005). Keanekaragaman adat istiadat-kebiasaan masyarakat desa juga             akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi pedesaan. Maka, kecerdasan sosial para pamingpin             di Tatar Sunda tatkala melakukan saba desa, tentunya tengah diuji. 
Bisakah atau             tidak mereka mengimplementasikan kearifan lokal dalam perilaku politiknya? Lantas, akankah             mereka mampu menelisik potensi lokal pedesaan untuk kemudian mengangkatnya dari             keterisolasian?
Kecerdasan sosial dalam tradisi urang Sunda jika dikelola secara apik akan             menciptakan sense of integrity antara pemerintah dan masyarakat. Pentingnya membina             hubungan yang harmonis juga bisa kita lihat dalam pribahasa urang Sunda "nulung             kanu butuh, nalang kanu susah". Salah satu pribahasa yang kerap dilupakan             pemimpin di tatar Sunda kontemporer.
Maka, dengan mempraktikkan saba desa, roh demokrasi akan lebih karasa dan             kariksa warga di tatar Sunda, karena slogan sakti Negara yakni, "dari rakyat,             oleh rakyat, dan untuk rakyat" tidak hanya berwujud retoris. Jadi, para pemimpin di             tiap daerah jangan pernah terkena "waham kebesaran" ingin menjadi             "raja-raja lokal" yang pongah dan tidak merakyat, karena hal itu merupakan             bentuk pengingkaran terhadap ajaran demokrasi dan kearifan lokal di tatar Sunda.
Lantas pertanyaannya adalah, sudahkah para pemimpin tiap daerah di provinsi Jawa Barat             melaksanakan tradisi saba desa? Kalaulah angka kemiskinan yang mencapai 10 juta             jiwa lebih ingin terentaskan dan indeks pembangunan manusia (IPM) Jawa Barat terangkat,             mulailah menyisir ke pelosok-pelosok desa dan penuhilah segala hak warga. Kemudian, jangan             lupa pula bahwa di kota masih ada warga yang terjerembap pada lubang menganga kemiskinan.             Dan harus mulai dibebaskan.
Mungkin istilahnya bisa "saba kota"! Tapi, bepergiannya (nyaba)             pemimpin yang "nyunda" bukan untuk memperkaya diri, melainkan             mengentaskan kemiskinan di daerah yang dikunjungi. Kurang lebih sama seperti yang             terkandung dalam program saba desa. 

 
 
 
 
 
