Pemuda Milenial Ini Memilih Jadi Perajin Wayang Golek!

Notification

×

Iklan

Iklan

Pemuda Milenial Ini Memilih Jadi Perajin Wayang Golek!

Senin, 24 Januari 2022 | 15:51 WIB Last Updated 2022-01-24T08:51:29Z


NUBANDUNG
- Seorang pemuda di sebuah kamar kontrakan, terlihat mengukir kepala wayang golek. Meski sambil berbincang, tangannya tak henti mengukir kepala wayang yang ia buat.


Setelah diukir kepala wayang tersebut diamplas supaya tak kasar, ketika permukaan kayunya sudah halus baru ia mulai mengecatnya.


Ia adalah Risnandar (28), putra M Duyeh (70), yang mengikuti jejak ayahnya sebagai seniman pembuat wayang golek.


Duyeh adalah maestro pembuat wayang golek di Cibiru Wetan, Cicalengka, Kabupaten Bandung.


Risnandar mengaku, untuk pembuatan kepala dari awal hingga selesai, memakan waktu sekitar satu minggu.


"Jika hingga selesai, sampai bisa dimainkan oleh dalang paling sampai dua minggu pengerjaannya. Kalau si Bapak (Duyeh) mengerjakannya lebih cepat," ujar Risnandar, saat ditemui Tribun Jabar, di tempat pembuatan wayang yang berada di Desa Cibiru Wetan, Kecamatan Cileunyi, Kabupaten Bandung.


Menurut Risnandar, untuk membuat wayang golek, semua tokoh di pewayangan itu sulit, karena harus kena karakternya.


"Namun yang dirasa paling sulit saat membuat lemesan atau karakter satriaan, karakternya harus dapat jiwanya juga harus dapat," kata Risnandar.


Risnandar memaparkan, yang lebih sulit lagi adalah membuat wayang karakter seseorang karena mungkin baru pertama membuat wayang orang tersebut.


"Kalau wayang golek biasa mungkin sudah pernah beberapa kali, sehingga terasa lebih mudah. Selain itu wayang yang ukurannya besar," ucap dia.


Sekarang kata Risnandar, ia jadi pegawai ayahnya, untuk membuat wayang. "Satu kepala wayang diberi upah Rp 250 ribu, untuk ngukir sama ngecat," tuturnya.


Risnandar mengaku, dirinya sudah mulai mencoba membuat wayang saat duduk di bangku SMP, sekitar tahun 2005. "Namun, tak langsung membuat kepala wayang, tapi tangan wayang dulu," ujarnya.


Baru mulai berani membuat kepala wayang, kata Risnandar, pada 2009, itu pun banyak salahnya dan hasilnya dibuang. "Bikin jelek, salah buang, bikin salah buang, kata si Bapak mah bikin apa ini. Alhamdulillah akhirnya bisa," kata Risnandar. 


Risnandar menjelaskan, dari delapan bersaudara yang menjadi pembuat wayang hanya ia dan kakaknya Yudi, yang meneruskan jejak ayahnya sebagai seniman oembuat wayang golek.


"Yang bikin bajunya, kakak juga Yanti sama Enung. Bapak tak memaksa anaknya untuk meneruskan jejaknya," katanya.


Risnandar mengaku, dia memiliki hati ingin meneruskan jejak ayahnya sebagai seniman pembuat wayang golek. "Alhamdulillah, orang-orang juga percaya (dengan hasil karyanya)," katanya.


Saat disinggung, apakah pernah juga ke luar negeri untuk mengenalkan wayang golek, Risnandar mengaku, sempat akan pergi namun tak jadi.


"Baru pernah keliling Indonesia (mengenalkan wayang golek), sebelum adanya Covid 19 mau diajak ke London (Inggris), lalu ada Covid 19, jadi tak jadi. Yang ke sana jadi hanya wayangnya saja," kata dia.


Risnandar mengaku, sangat ingin bisa membuat museum dan padepokan wayang golek. "Kasihan si Bapak, namanya dikenal alhamdulillah (besar), tapi keadaannya seperti ini," tuturnya.


Memang tempat pembuatan wayangnya, memanfaatkan dua kamar kontrakan, yang sangat sederhana. Sehingga tak ada tempat untuk memajang hasil karyanya.


Dulu Risnandar, ayahnya itu maju, kata ayahnya terperosok setelah adanya krisis moneter.


"Emut abi ker alit turis seeur nu dongkap oge, abi ker alit can sakola (ingat waktu saya kecil turis banyak yang datang, saat saya belum sekolah). Wayangnya juga, mungkin ada ribuan," kata dia.


Kini kata Risnandar, hanya menerima pesanan karena tak memiliki modal yang cukup, untuk memajang atau membuat stok wayang. "Jadi nunggu yang pesan, adakala dari uang mukanya itu dipakai belanja barang-barangnya atau dibuat modalnya," ujarnya sambil tersenyum.


Memang kata Risnandar, banyak yang bisa membuat wayang tapi hanya untuk hiasan.


"Kalau membuat wayang untuk dimainkan dalang bisa dihitung jari, mungkin di sekitar Bandung hanya ada 6 orang," tuturnya.


Maka dari itu, ia bertekad untuk terjun mengikuti jejak ayahnya untuk melestarikan seni budaya warisan para leluhur.


"Budaya harus diperjuangkan (jangan sampai hilang), maka saya terjun dan terus belajar, alhamdulillah sampai saat ini masih tetap (menggeluti wayang golek)," ucapnya. 


Penulis: Lutfi Ahmad Mauludin | Sumber: Tribun Jabar