Hijrah merupakan tradisi yang dipraktikkan para Rasul guna membebaskan umat manusia dari segala macam penindasan. Nabi Muhammad Saw meninggalkan Mekkah menuju Madinah, umpamanya, karena pada saat itu komunitas Islam acap kali diperlakukan tidak adil. Ada semacam penindasan sistemik yang dilakukan oleh pihak elitis kaum Quraisy. Dalam konteks bangsa Indonesia, perlakuan tidak adil itu bisa saja terjadi dalam bidang sosial, politik, ekonomi, dan budaya.
Pembebasan dan perubahan sebetulnya inti dari hijrah yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim as dari Kan’an menuju Madyan. Oleh Nabi Musa as dari Mesir menuju Palestina (Sina’i). Bahkan jika digusur pada konteks keindonesiaan tujuan dari peralihan masa orde baru ke masa reformasi pada tahun 1998, untuk melakukan perbaikan dan perubahan. Kendati jauh dari harapan, namun inti dari menggelindingnya roda reformasi adalah sebagai penghantar hijrahnya bangsa dari kondisi terburuk ke kondisi yang lebih baik.
Kesejatian hijrah
Pada tahun ini, kita semestinya melakukan aktivitas yang transformatif, konstruktif, dan integratif. Bukan malah dijadikan sebagai tahun membebaskan diri untuk melakukan makar, gaduh, dan menyebarkan “api konflik” di tubuh bangsa. Apalagi jika perubahan diri (self) dan bangsa untuk menjadi lebih baik tidak pernah terbersit sedikit pun dari locus kesadaran manusiawi kita tatkala tahun baru hijriyah berada dipenghujung mata.
Menyambut tahun baru Hijriyah pun tidak boleh berwujud utopis dan tidak latah (baca: ikut-ikutan) dipraktikkan oleh umat. Sementara itu semangat inti hijrahnya Nabi Saw untuk memindahkan ranah psikologis umat dari ketidaktentraman menuju kepada ketentraman hidup seakan mengendap. Secara kontekstual, hijrah harus difahami sebagai proses transformasi kondisi bangsa dari keterpurukan menuju kondisi yang lebih baik lagi. Hijrah juga tidak (hanya) harus difahami sebagai perpindahan fisik dari suatu daerah ke daerah yang lain. Melainkan usaha membebaskan bangsa dari keterpurukan sosial, ekonomi, politik, dan budaya juga bisa dikatakan hijrah.
Pandangan inilah yang selalu dikumandangkan mendiang Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyah dengan menyebutnya sebagai "hijrah sejati". Perpindahan dari nilai-nilai yang buruk menuju nilai yang berbasis etika-moral dan norma. Sebab, setiap perubahan tanpa dibarengi dengan etika-moral akan mengakibatkan hancurnya tatanan berbangsa dan bernegara. Bahkan, Allah tidak akan mengubah kondisi suatu bangsa jika saja setiap orang tidak melakukan usaha-usaha transformasi (Q.S. Ar-Ra’d, 13: 11).
Modal transformasi
Transformasi sosial adalah modal utama untuk mengintegrasi rasa persatuan bangsa yang saat ini kian tergerus pada jurang perpecahan. Perbedaan di tubuh bangsa jangan berubah menjadi pembedaan, karena pada dasarnya setiap umat terikat oleh rasa kemanusiaan yang sama. Tidak ada pembedaan. Yang ada adalah perbedaan yang mesti dipandang sebagai dinamika sosial. Bukan dengan hawa nafsu yang arogan, manifulatif dan memaksakan sehingga dapat membawa bangsa ke dalam kubangan lumpur perpecahan (disintegrasi).
Lantas pertanyaannya, mungkinkah bangsa kita akan mengalami perubahan manakala motif tersembunyi di jiwa dan hati kita berbentuk – meminjam istilah Erich Fromm – nekrofilia? Segala tindakan yang dideterminasi dorongan-dorongan destruktif.
Nilai etika transformasi yang terkandung dalam peristiwa hijrah sebagai tonggak penetapan hitungan tahun baru hijriyah juga sangat berkait erat dengan usaha transformasi sosial pada masa Nabi Saw. Untuk itu, penting kiranya bila kita merefleksi, menginternalisasi dan mentransformasikan peristiwa historik hijrahnya Nabi Saw hingga bisa dijadikan langkah kuratif untuk mengobati penyakit kronis bangsa ini. Sebab, pada peristiwa masa lalu (sejarah) terkandung nilai-nilai etis yang bisa dijadikan petunjuk bagi manusia yang menggunakan pikirannya (Q.S. Yusuf, 12:111).
Mungkin kegagalan kita pada tahun lalu bisa dijadikan warning up untuk memoles diri dengan kebiasaan (habitus) yang berdimensi kritis-transformatif. Untuk mengubah kondisi bangsa dari berjibunnya ketidakharmonisan relasi sosial, misalnya, menuju arah keharmonisan hingga secercah perubahan terakumulasi dalam semangat membangun bersama-sama. Sebuah modal utama untuk menggapai keadilan dan kesejahteraan di Negara yang digambarkan oleh Cak Nun sebagai tetesan Surga ini.
Itulah tahun baru yang transformatif. Aktivitas yang dilakukan bakal lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya. Pertanda bahwa segala perilaku kita pada tahun ke depan harus diterima disisi-Nya. Keegoisan yang tumbuh di jiwa pun mesti ditumpur-habiskan pada tahun baru. Alhasil, ketika keragaman kultur, agama, dan ideologi-keyakinan menggejala akan berubah menjadi keunikan yang diapresiasi secara konstruktif.
Sebab, keragaman adalah hukum alam (law of nature) yang digariskan Tuhan Yang Maha Esa. Tahun baru hijriyah sebetulnya titik awal (starting point) bagi umat Islam untuk mengganti aktus destruktif dengan aktivitas yang bisa merukunkan, menentramkan dan mendamaikan relasi sosial di tubuh bangsa.
Harus kontekstual
Maka, kontekstualisasi peristiwa hijrah di saat bangsa sedang oleng dengan ragam krisis adalah sebuah keniscayaan. Hijrah kontekstual adalah suatu masa di mana rasa kita mesti menyatu dengan penderitaan rakyat miskin, menghargai segala perbedaan, dan berusaha sekuat tenaga membangun kembali kedaulatan bangsa. Pejabat Negara harus belajar meninggalkan sikap-sikap individualistik, nihil empati, dan egoistik atau membebaskan diri dari nafsu libidal mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya.
Umat Islam pada tahun baru mesti berhubungan secara rukun dengan masyarakat tanpa terhijabi batas-batas religi, kultur, dan keyakinan. Maka, geliat agama transformatif untuk bangsa Indonesia mutlak diperlukan. Sebuah ajaran agama yang tidak hanya mengurusi relasi dirinya secara vertikal dengan Tuhan, melainkan bisa memijakkan ajaran-ajaran langit di muka bumi secara horizontal. Itulah inti dari penetapan tahun hijriyah (Islam) yang dicetuskan oleh Umar Bin Khattab, Ali Bin Abu Thalib, Musa Asy’ari, dan sahabat yang lainnya setelah melalui musyawarah.
Berkat usul dari Ali Bin Abu Thalib, para sahabat waktu itu memutuskan bahwa permulaan hitungan tahun hijriyah dimulai dari hijrahnya Nabi Muhammad Saw. Berhijrah dari Mekkah menuju Madinah agar bebas dari sistem yang menindas, kesengsaraan struktural, dan kekerasan-kekerasan fisik yang dilakukan kaum elit Quraisy saat itu. Hijrah yang dilakukan oleh Rasulullah juga tidak sekedar perpindahan secara geografis, melainkan perpindahan secara psikologis untuk membangkitkan diri di masa depan.
Oleh sebab itu, umat Islam semestinya menengok kembali peristiwa masa lalu dengan menggunakan paradigma kritis-transformatif sehingga melahirkan makna yang baru. Setelah itu, memproduksinya hingga melahirkan kerangka transformatif yang etis dan kontekstual sehingga mampu mengeluarkan bangsa dari keterpurukan. Sebab, hijrah yang sebenar-benarnya adalah perubahan dari kondisi terburuk menuju kondisi terbaik. Wallahua’lam