Korupsi di Indonesia Tak Lagi Basa-basi

Notification

×

Iklan

Iklan

Korupsi di Indonesia Tak Lagi Basa-basi

Jumat, 03 September 2021 | 19:36 WIB Last Updated 2022-09-09T01:42:14Z


Oleh: Rut Sri Wahyuningsih,
Pegiat Institut Literasi dan Peradaban.


Dilansir dari Kompas.com, 6 Agustus 2021,  Mantan terpidana kasus korupsi Emir Moeis ditunjuk sebagai salah satu komisaris di PT Pupuk Iskandar Muda (PIM), yang menjadi  anak usaha PT Pupuk Indonesia (BUMN). Pengangkatan Emir Moeis terjadi pada tanggal 18 Febuari 2021 dan ditunjuk oleh para pemegang saham PT PIM.


Diketahui, Emir pernah terjerat kasus suap proyek pembangunan pembangkit listrik uap (PLTU) di Tarahan, Lampung pada 2004 saat menjadi anggota DPR. Ia divonis 3 tahun penjara dan denda Rp 150 juta karena terbukti menerima suap senilai 357.000 dollar AS pada 2014. Arya Sinulingga, staf khusus Menteri BUMN, belum memberikan respon apapun terkait alasan pengangkatan ini (kompas.com, 6/8/2021).


Pertanyaannya, mengapa pemerintah melakukan pelanggaran terhadap kebijakan yang pernah dibuatnya sendiri? Dalam Peraturan Menteri BUMN Nomor: PER-03/MBU/2012 Pasal 4, disebutkan sejumlah syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi anggota dewan komisaris, salah satunya adalah tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan negara dan/atau yang berkaitan dengan sektor keuangan dalam waktu lima tahun sebelum pencalonan. 


Lantas, tidakkah kebijakan ini berlaku pada kasus Emir ataukah Emir memiliki hak istimewa? Bukankah sebagai seorang komisaris harus memiliki integritas unggul dan trackrecord bersih, sebab ia adalah pemimpin perusahaan?


Anggota Komisi VI DPR Achmad Baidowi menyebut pengangkatan itu bermasalah dalam aspek kepantasan dan etis. “Secara aturan tidak ada yang dilanggar sepanjang haknya untuk menduduki jabatan tidak dicabut oleh pengadilan. Ataupun tidak melanggar UU maupun peraturan menteri. Namun, yang jadi persoalan adalah aspek kepantasan dan etis,” kata Baidowi. 


Menurutnya perlu adanya penjelasan dari Kementerian BUMN  kepada publik terkait penunjukan Emir Moeis tersebut. Masuknya eks koruptor sebagai komisaris BUMN menegaskan bahwa sistem ini sangat ramah terhadap koruptor. 


Asas manfaat sangat terasa kental pula, sosok Emir bisa jadi adalah tokoh penting bahkan kunci bagi pihak tertentu, baik partai maupun pemerintah sendiri.


Penunjukan Emir Moeis sebagai komisaris anak perusahaan BUMN menebalkan dugaan publik bila perusahaan pelat merah sebagai sapi perah politik. Apalagi pria yang memiliki nama lengkap Izedrik Emir Moeis merupakan politikus senior PDIP, parpol pengusung utama Joko Widodo-Ma’ruf Amin pada Pilpres 2019. 


Pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia dan Direktur Eksekutif Indonesia Political Review Ujang Komarudin menilai penunjukan Emir Moeis sarat akan kepentingan politik, terlebih dia merupakan eks napi korupsi. Sebab, kata dia, apabila Emir tidak diberi jabatan strategis, maka dikhawatirkan ia akan membocorkan kasus-kasus korupsi rekannya di PDIP hingga DPR. 


“Jadi pengangkatan Emir semacam hadiah politik agar bungkam (terkait) nama-nama orang yang terlibat,” kata Ujang (tirto.id,12/8/2021).


Manager Program Transparency International Indonesia (TII) Didi juga menyayangkan pemerintah tidak memiliki standar moral antikorupsi ketika mengangkat Emir Moeis sebagai komisaris. Dia kecewa dengan Erick Thohir yang membiarkan Emir sebagai Komisaris PT Pupuk Iskandar Muda. Catatan hitam yang dimiliki Emir Moeis tak membuat penguasa hari ini mempertimbangkannya kemudian mencari sosok yang lebih bersih. 


Didi mengatakan, Kementerian BUMN dapat menunjuk seorang komisaris yang berintegritas dan memiliki rekam jejak yang bagus, bukan malah politikus yang pernah menjadi napi korupsi. 


“Padahal komisaris bertugas mengawasi antikorupsi, tapi malah mengangkat koruptor, jadi malah meragukan,” ujarnya.  


Kekhawatiran Didi adalah ketika Emir Moeis menjadi Komisaris akan memberikan nasihat dan pandangan supaya bisa memuluskan cara memenangkan tender, misalnya melakukan suap seperti yang pernah dirinya lakukan dan bahkan menghalalkan segala cara (Tirto.id, 12/8/2021).


Lembaga Survei Indonesia (LSI), merilis hasil survei nasional mengenai persepsi publik atas pengelolaan dan potensi korupsi sektor sumber daya alam. Hasilnya, 60 persen publik menilai tingkat korupsi di Indonesia meningkat dalam dua tahun terakhir. 


“Mayoritas publik nasional 60 persen menilai bahwa tingkat korupsi di Indonesia dalam dua tahun terakhir meningkat,” kata Direktur Eksekutif LSI Djayadi Hanan dalam konferensi pers secara daring (kompas.com, 8/8/2021). 


Hasil survei ini sudah menjelaskan bahwa korupsi terus menggurita di sistem sekuler. Dan sekaligus menjadi bukti bahwa masyarakatpun paham bahwa korupsi adalah problem besar bangsa. Rakyat terus menerus dipertontonkan drama kelicikan demi kelicikan penguasa di negeri ini saling tutupi masalah dan abai dengan penderitaan rakyat.


BUMN adalah badan usaha yang bergerak untuk kepentingan rakyat, ia diperintahkan negara mengurusi pemenuhan kebutuhan rakyat hingga kewajiban negara menjamin kesejahteraan rakyat bisa terlaksana dengan baik, bukan untuk segolongan kecil saja bahkan untuk politik balas Budi beberapa pihak saja. 


Hal ini jelas menyimpang dari tujuan didirikannya negara dan fungsi seorang p mimpin dalam Islam. Rasulullah bersabda,”Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari). Semua akan dipertanggungjawabkan pemimpin di hadapan Allah, jika ia lalai maka azab telah menanti.


Maka mutlak butuh sosok pemimpin yang paham betul akan tugasnya dan mampu memimpin secara profesionalitas. Membaca dari salah satu sahabat Rasulullah,  Miqdad , kita akan dapati ia adalah seorang  pemikir ulung, mempunyai pikiran cemerlang dan hati tulus. 


Semua itu tercermin pada ucapan berbobot dan prinsip-prinsip hidup yang lurus. Suatu waktu, Rasulullah SAW mengangkat Miqdad sebagai amir di suatu daerah. “Bagaimanakah pendapatmu tentang menjadi amir,” tanya Rasulullah, saat Miqdad baru saja kembali dari tugasnya.


Dengan jawaban yang jujur, Miqdad mengatakan bahwa dia tidak ingin meneruskan menjadi amir. Sebab, menurut dia dengan menjadi pemimpin kedudukannya berada di atas dari orang lain. Dia pun tak menghendaki hal itu.


”Anda telah menjadikanku menganggap diri berada di atas semua manusia. Demi yang telah mengutus Anda membawa kebenaran, sejak saat ini aku tidak berkeinginan lagi menjadi pemimpin sekalipun untuk dua orang untuk selama-lamanya,” ucap Miqdad. 


Untuk orang seprofesional Miqdad masih tak mampu meneruskan kepemimpinannya untuk waktu yang lama, bandingkan dengan hari ini pengangkat pemimpin yang itu mengurusi hajat hidup orang banyak bak kacang goreng.


Pantaslah jika negeri ini tak pernah menerima kebaikan dan keadilan, sebab dipimpin oleh orang yang tak paham untuk apa kepemimpinannya. Ini membuktikan kebutuhan kita kepada hijrah yang totalitas, mengganti sistem sekuler hari ini, dimana orang hanya mementingkan pendapat manusia lain yang lemah padahal untuk urusan maslahat manusia banyak, dengan sistem yang lebih baik, yang berasal dari Allah SWT yaitu sistem Islam. 


Dari apa yang telah Rasulullah contohkan,  sistem Islam  mampu tuntaskan mewabahnya korupsi dan menutup semua pintu terjadinya korupsi. Melalui aturan yang jelas, sanksi yang tegas jika ada pelanggaran dan adanya syarat mutlak bagi seseorang yang memimpin yaitu keimanan dan ketakwaan. Wallahu a’lam